Mohon tunggu...
ahmad Farzah
ahmad Farzah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ahmad Farzah Putra (43223010158) Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mercu Buana, Dengan nama dosen Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Penerapan Penyebab Kasus Korupsi di Indonesia Pendekatan Robert Klitigaard dan Jack Bologna

17 November 2024   16:32 Diperbarui: 17 November 2024   16:32 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prof Dr Apollo
Prof Dr Apollo

PENDAHLUAN

Korupsi merupakan salah satu masalah yang terus menghantui perjalanan pembangunan di Indonesia. Praktik korupsi tidak hanya menimbulkan kerugian finansial yang sangat besar bagi negara, tetapi juga menyebabkan dampak sistemik terhadap kehidupan masyarakat, seperti merosotnya kepercayaan publik terhadap institusi pemerintah, meningkatnya ketimpangan sosial, dan terkendalanya pembangunan ekonomi. Fenomena ini telah menjadi perhatian luas baik di tingkat nasional maupun internasional, mengingat korupsi tidak hanya mencakup tindakan yang dilakukan secara individual, tetapi juga melibatkan berbagai aspek sistemik yang memfasilitasi praktik-praktik tidak etis dalam struktur pemerintahan dan masyarakat.

Untuk memahami akar permasalahan korupsi, berbagai teori dan pendekatan telah dikembangkan oleh para akademisi dan praktisi. Salah satu pendekatan yang sangat dikenal adalah model yang dikembangkan oleh Robert Klitgaard, seorang ekonom dan ahli tata kelola pemerintahan. Dalam modelnya yang dikenal sebagai rumus C = M + D - A (Corruption = Monopoly + Discretion - Accountability), Klitgaard menjelaskan bahwa korupsi akan berkembang ketika terdapat monopoli kekuasaan (monopoly), kebebasan bertindak tanpa pengawasan (discretion), dan kurangnya akuntabilitas (accountability). Teori ini memberikan pandangan penting bahwa korupsi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga terkait dengan struktur sistem yang memungkinkan praktik korupsi terjadi.

Di sisi lain, pendekatan lain yang relevan untuk memahami penyebab korupsi adalah teori yang dikembangkan oleh Jack Bologna melalui fraud triangle. Pendekatan ini menyoroti tiga elemen utama yang memungkinkan tindakan korupsi terjadi, yaitu motivasi (motivation), kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Bologna menegaskan bahwa korupsi muncul ketika seseorang memiliki tekanan atau dorongan tertentu untuk melakukan kecurangan, menemukan celah dalam sistem yang memberikan peluang untuk melakukannya, dan memiliki justifikasi moral untuk tindakan tersebut. Pendekatan ini memberikan perspektif mikro yang lebih berfokus pada dinamika individu dalam konteks sosial dan organisasi.

Meskipun kedua pendekatan ini memiliki fokus yang berbeda, keduanya memberikan pemahaman yang saling melengkapi dalam mengungkap penyebab korupsi. Dengan memadukan pandangan dari Klitgaard yang bersifat sistemik dan Bologna yang bersifat individual, analisis yang lebih komprehensif dapat dilakukan untuk memahami mengapa korupsi begitu sulit diberantas di Indonesia. Penerapan teori-teori ini dalam konteks Indonesia akan memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana elemen-elemen sistemik dan individu saling berinteraksi untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi korupsi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor penyebab kasus korupsi di Indonesia dengan pendekatan teori Robert Klitgaard dan Jack Bologna. Fokusnya adalah pada bagaimana kedua pendekatan ini dapat diterapkan secara simultan untuk menganalisis dan memberikan solusi terhadap masalah korupsi di Indonesia. Dengan demikian, karya ilmiah ini tidak hanya berupaya memberikan kontribusi akademis melalui eksplorasi teori-teori korupsi, tetapi juga menawarkan perspektif yang relevan untuk merancang strategi pencegahan dan pemberantasan korupsi secara efektif.

Melalui analisis ini, diharapkan masyarakat dan pemangku kebijakan dapat lebih memahami bahwa korupsi tidak hanya dapat diatasi melalui upaya pemberantasan, tetapi juga melalui penguatan sistem tata kelola yang baik, peningkatan akuntabilitas, serta pemberdayaan masyarakat untuk menciptakan budaya antikorupsi. Tulisan ini menjadi langkah awal untuk mengintegrasikan teori dan praktik dalam menjawab tantangan korupsi yang semakin kompleks di Indonesia.

Penyebab Korupsi berdasarkan teori Robert Klitigard

Korupsi adalah salah satu masalah struktural yang menghambat pembangunan dan tata kelola pemerintahan yang baik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Dalam upaya memahami fenomena ini, Robert Klitgaard, seorang pakar tata kelola pemerintahan, mengembangkan model analisis korupsi yang dirumuskan dalam persamaan:

C=M+DAC = M + D - AC=M+DA

Dalam rumus ini, C merujuk pada korupsi (corruption), yang dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu monopoli kekuasaan (monopoly), kebebasan bertindak tanpa pengawasan (discretion), dan kurangnya akuntabilitas (accountability). Teori Klitgaard memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk menjelaskan bagaimana interaksi antara faktor-faktor tersebut dapat menciptakan kondisi yang mendukung munculnya praktik korupsi.

Monopoli Kekuasaan (Monopoly)

Monopoli kekuasaan terjadi ketika individu atau kelompok tertentu memiliki kendali eksklusif atas sumber daya atau keputusan penting tanpa adanya pesaing. Dalam konteks tata kelola pemerintahan, monopoli kekuasaan sering muncul ketika pejabat memiliki otoritas tunggal dalam hal perizinan, penentuan kebijakan, atau pengelolaan anggaran. Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang tinggi dari masyarakat atau pihak lain terhadap pemegang kekuasaan.

Di Indonesia, monopoli kekuasaan sering ditemukan dalam proses pengadaan barang dan jasa atau pemberian izin usaha. Misalnya, dalam sektor pemerintahan daerah, kepala daerah memiliki wewenang tunggal dalam menentukan pengalokasian anggaran pembangunan. Ketika tidak ada mekanisme kontrol yang cukup untuk membatasi monopoli tersebut, peluang untuk menyalahgunakan wewenang menjadi semakin besar.

Kebebasan Bertindak (Discretion)

Faktor kebebasan bertindak merujuk pada sejauh mana pejabat publik memiliki kewenangan untuk membuat keputusan tanpa pembatasan atau aturan yang jelas. Semakin besar diskresi yang dimiliki oleh pejabat, semakin tinggi peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Di Indonesia, kebebasan bertindak ini sering muncul dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang besar. Misalnya, dalam pembangunan infrastruktur, pejabat dengan diskresi tinggi dapat menentukan kontraktor atau penyedia jasa tanpa melalui proses lelang yang transparan. Hal ini memberikan peluang bagi praktik kolusi, nepotisme, dan suap.

Kurangnya Akuntabilitas (Accountability)

Akuntabilitas adalah kemampuan untuk memastikan bahwa individu atau lembaga bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ketika akuntabilitas lemah, pejabat publik tidak merasa perlu untuk mempertanggungjawabkan keputusan atau tindakan mereka, sehingga mendorong terjadinya korupsi.

Kurangnya akuntabilitas di Indonesia terlihat dari lemahnya mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal. Sebagai contoh, laporan pertanggungjawaban anggaran seringkali tidak diaudit secara menyeluruh atau hasil audit tidak diikuti dengan tindakan hukum yang tegas. Kondisi ini menciptakan iklim impunitas, di mana pelaku korupsi merasa aman dari sanksi.

Interaksi Antar Komponen

Ketiga elemen dalam teori Klitgaard ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling berinteraksi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korupsi. Monopoli kekuasaan memberikan akses yang eksklusif kepada sumber daya, kebebasan bertindak tanpa pengawasan memungkinkan penyalahgunaan kekuasaan, dan kurangnya akuntabilitas memastikan bahwa pelaku korupsi tidak mendapat konsekuensi yang berarti.

Sebagai ilustrasi, dalam sistem pengadaan barang dan jasa di Indonesia, pejabat dengan monopoli kekuasaan memiliki kebebasan untuk menentukan pemenang tender. Ketika akuntabilitas lemah, pengawasan terhadap proses ini menjadi minim, sehingga mendorong praktik korupsi seperti suap dan penggelembungan harga.

Relevansi Teori Klitgaard di Indonesia

Teori Klitgaard memberikan pemahaman mendalam tentang penyebab korupsi di Indonesia, terutama dalam konteks sistem pemerintahan yang kompleks dan sering kali tidak transparan. Untuk mengatasi masalah ini, pendekatan yang direkomendasikan oleh Klitgaard mencakup upaya untuk:

  • Mengurangi Monopoli Kekuasaan dengan menciptakan sistem yang kompetitif dalam pelayanan publik dan pengadaan barang serta jasa.
  • Membatasi Kebebasan Bertindak melalui regulasi yang jelas dan pembentukan standar operasional prosedur yang ketat.
  • Meningkatkan Akuntabilitas melalui transparansi, pelaporan publik, dan penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku korupsi.

Penerapan teori Klitgaard dalam konteks Indonesia menjadi langkah penting untuk mengidentifikasi dan mengatasi akar masalah korupsi. Dengan pendekatan yang sistematis ini, diharapkan tata kelola pemerintahan di Indonesia dapat lebih transparan, efektif, dan bebas dari praktik korupsi.

Apa Penyebab Korupsi Berdasarkan GONE Theory

Korupsi merupakan salah satu persoalan krusial yang dihadapi hampir di seluruh negara, termasuk Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merusak integritas sistem pemerintahan tetapi juga menghambat pertumbuhan ekonomi dan menciptakan ketidakadilan sosial. Untuk memahami penyebab korupsi secara mendalam, berbagai teori telah dikembangkan. Salah satu teori yang cukup populer adalah GONE Theory, yang mengidentifikasi empat faktor utama yang memotivasi perilaku koruptif, yaitu Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (pengungkapan atau risiko tertangkap).

Teori ini memberikan pendekatan komprehensif untuk menganalisis mengapa individu terlibat dalam tindakan korupsi dengan mempertimbangkan aspek psikologis, sistemik, dan struktural. Berikut adalah penjelasan lebih mendalam mengenai masing-masing elemen dalam GONE Theory dan relevansinya dalam konteks Indonesia.

  • 1. Greed (Keserakahan)

Greed atau keserakahan merupakan salah satu faktor utama yang mendorong individu untuk melakukan korupsi. Keserakahan mengacu pada keinginan berlebihan untuk memperoleh keuntungan pribadi di luar kebutuhan dasar. Motivasi ini sering kali mendorong seseorang untuk melanggar batas moral, etika, bahkan hukum.

Di Indonesia, keserakahan menjadi salah satu penyebab utama banyaknya kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sebagai contoh, sejumlah kepala daerah yang terlibat dalam kasus korupsi tetap melakukan tindakan tersebut meskipun telah mendapatkan gaji dan fasilitas yang memadai. Mereka sering kali menginginkan lebih banyak kekayaan atau kekuasaan untuk memenuhi ambisi pribadi.

Keserakahan ini juga dapat dilihat pada kasus-kasus penggelembungan anggaran atau manipulasi dana bantuan sosial. Pelaku korupsi yang didorong oleh keserakahan sering kali tidak mempertimbangkan dampak negatif dari tindakan mereka terhadap masyarakat luas, termasuk meningkatnya kemiskinan dan ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah.

  • 2. Opportunity (Kesempatan)

Kesempatan merupakan faktor kedua dalam GONE Theory yang menjelaskan bahwa tindakan korupsi terjadi karena adanya peluang yang memungkinkan individu untuk melakukannya. Kesempatan ini sering kali muncul akibat kelemahan dalam sistem, seperti kurangnya pengawasan, minimnya transparansi, atau celah dalam peraturan yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku korupsi.

Di Indonesia, birokrasi yang kompleks dan prosedur yang panjang sering kali menciptakan peluang bagi pejabat publik untuk melakukan korupsi. Sebagai contoh, proses pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan memberikan ruang bagi praktik kolusi antara penyedia barang dan pejabat pemerintah. Dalam banyak kasus, kesempatan untuk melakukan korupsi ini diperparah oleh kurangnya kontrol internal dan eksternal yang efektif.

Selain itu, lemahnya penerapan teknologi dalam sistem administrasi publik juga menjadi faktor yang memperbesar kesempatan untuk korupsi. Sistem manual yang digunakan dalam pengelolaan anggaran atau pemberian izin, misalnya, memungkinkan terjadinya manipulasi data dan praktik suap yang sulit terdeteksi.

  • 3. Need (Kebutuhan)

Kebutuhan adalah elemen dalam GONE Theory yang menjelaskan bahwa individu terlibat dalam korupsi karena adanya tekanan atau kebutuhan tertentu. Berbeda dengan keserakahan yang didorong oleh ambisi berlebihan, kebutuhan sering kali muncul dari tekanan eksternal, seperti kesulitan ekonomi, utang, atau tuntutan sosial.

Di Indonesia, fenomena ini sering terjadi pada pegawai negeri sipil (PNS) dengan gaji rendah. Dalam beberapa kasus, mereka merasa terpaksa menerima suap atau gratifikasi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti pendidikan anak, biaya kesehatan, atau kebutuhan mendesak lainnya.

Kebutuhan juga dapat dipengaruhi oleh tekanan budaya atau sosial. Sebagai contoh, dalam budaya tertentu di Indonesia, pejabat publik sering kali menghadapi tuntutan untuk menunjukkan status sosial yang tinggi, seperti mengadakan pesta besar atau memberikan hadiah kepada keluarga besar. Ketika gaji resmi tidak cukup untuk memenuhi tuntutan tersebut, mereka mungkin merasa terpaksa mencari cara lain, termasuk melakukan korupsi.

  • 4. Exposure (Pengungkapan atau Risiko Tertangkap)

Faktor terakhir dalam GONE Theory adalah exposure atau risiko tertangkap. Teori ini menjelaskan bahwa individu cenderung melakukan korupsi jika mereka merasa bahwa risiko tertangkap atau dihukum sangat rendah. Sebaliknya, jika risiko pengungkapan tinggi, tindakan korupsi cenderung menurun.

Di Indonesia, lemahnya penegakan hukum sering kali menjadi salah satu alasan mengapa korupsi terus terjadi. Banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi atau tokoh politik yang berakhir dengan hukuman ringan atau bahkan tidak diproses secara hukum. Hal ini menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah tindakan yang aman dan tidak memiliki konsekuensi serius.

Ketidakpastian dalam penegakan hukum juga memperburuk masalah ini. Misalnya, proses hukum yang berlarut-larut atau intervensi politik dalam penyelesaian kasus korupsi membuat pelaku merasa bahwa mereka dapat menghindari hukuman. Akibatnya, tingkat korupsi tetap tinggi karena tidak ada efek jera yang signifikan.

Interaksi Antar Faktor dalam GONE Theory

Keempat elemen dalam GONE Theory saling berkaitan dan bekerja secara sinergis dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi korupsi. Sebagai contoh, seorang pejabat yang didorong oleh keserakahan (greed) atau kebutuhan mendesak (need) mungkin akan memanfaatkan celah dalam sistem pengawasan (opportunity) untuk melakukan tindakan koruptif. Jika risiko tertangkap (exposure) dianggap rendah, maka kemungkinan besar tindakan tersebut akan dilakukan.

Sebagai ilustrasi, kasus korupsi dalam pengadaan alat kesehatan di Indonesia sering kali melibatkan kombinasi dari faktor-faktor ini. Pejabat yang merasa membutuhkan tambahan penghasilan (need) memanfaatkan celah dalam prosedur pengadaan yang tidak transparan (opportunity) untuk menerima suap. Ketika mereka merasa bahwa hukuman yang akan mereka terima ringan atau dapat dihindari (exposure), tindakan korupsi menjadi lebih mudah dilakukan.

Relevansi GONE Theory dalam Konteks Indonesia

GONE Theory sangat relevan untuk memahami penyebab korupsi di Indonesia. Teori ini memberikan pandangan holistik yang mencakup faktor individu (greed dan need) serta faktor sistemik (opportunity dan exposure). Dengan memahami interaksi antara faktor-faktor ini, upaya pemberantasan korupsi dapat dilakukan secara lebih efektif.

Untuk mengurangi tingkat korupsi, strategi yang dapat diambil meliputi:

  1. Mengurangi Keserakahan (Greed): Meningkatkan pendidikan etika dan moral bagi pejabat publik.
  2. Meminimalkan Kesempatan (Opportunity): Memperkuat sistem pengawasan, meningkatkan transparansi, dan mengadopsi teknologi digital dalam tata kelola pemerintahan.
  3. Mengatasi Tekanan Kebutuhan (Need): Meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri dan memberikan insentif yang adil.
  4. Meningkatkan Risiko Pengungkapan (Exposure): Memperkuat penegakan hukum, mempercepat proses penyelesaian kasus korupsi, dan memberikan hukuman yang tegas.

Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan korupsi di Indonesia dapat ditekan secara signifikan, menciptakan pemerintahan yang lebih bersih dan terpercaya.

Korupsi adalah ancaman multidimensi yang tidak hanya merugikan ekonomi suatu negara, tetapi juga merusak tatanan sosial, politik, dan moral masyarakat. Fenomena ini telah menjadi masalah sistemik di berbagai negara, termasuk Indonesia, yang mencatat banyak kasus korupsi baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan pemahaman mendalam mengenai penyebab korupsi, upaya pencegahan dan pemberantasan dapat dilakukan secara lebih terstruktur dan efektif. Salah satu pendekatan yang relevan adalah GONE Theory, yang menjelaskan korupsi melalui empat elemen utama: Greed (keserakahan), Opportunity (kesempatan), Need (kebutuhan), dan Exposure (risiko tertangkap).

Teori ini memberikan pandangan holistik yang menghubungkan motivasi individu dengan kelemahan sistem. Keserakahan (greed) menyoroti dorongan individu untuk memperoleh keuntungan pribadi yang berlebihan, sedangkan kebutuhan (need) menggambarkan tekanan atau kondisi yang mendorong seseorang melakukan tindakan koruptif. Di sisi lain, kesempatan (opportunity) dan rendahnya risiko tertangkap (exposure) mencerminkan lemahnya tata kelola dan penegakan hukum yang membuka ruang bagi terjadinya korupsi.

Dalam konteks Indonesia, keempat elemen ini saling berinteraksi dan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi praktik korupsi. Misalnya, birokrasi yang berbelit-belit dan minim transparansi memberikan peluang bagi pejabat publik untuk menyalahgunakan wewenang. Tekanan sosial-ekonomi atau gaya hidup mewah dapat mendorong seseorang melakukan korupsi meskipun mereka memahami risikonya. Di sisi lain, lemahnya sistem pengawasan dan ringan atau tidak konsistennya hukuman bagi pelaku korupsi semakin memperkuat keberanian untuk melakukan tindakan tersebut.

Untuk mengatasi masalah ini, strategi pemberantasan korupsi harus mencakup perbaikan di berbagai tingkatan. Pada tingkat individu, diperlukan pendidikan moral dan antikorupsi untuk mengurangi dorongan keserakahan dan meningkatkan kesadaran etika. Pendidikan ini harus dimulai sejak dini dan berlanjut dalam bentuk pelatihan integritas bagi pegawai negeri maupun sektor swasta. Pada tingkat sistem, diperlukan reformasi birokrasi yang menekankan transparansi, efisiensi, dan pengurangan interaksi langsung antara pejabat publik dan masyarakat melalui digitalisasi pelayanan.

Salah satu aspek penting dalam GONE Theory adalah risiko tertangkap (exposure), yang menunjukkan bahwa efek jera dapat diperkuat melalui penegakan hukum yang tegas dan konsisten. Peningkatan pengawasan, audit, dan investigasi berbasis teknologi dapat membantu mendeteksi potensi pelanggaran lebih awal. Selain itu, hukuman yang berat bagi pelaku korupsi, tanpa pandang bulu, akan menciptakan persepsi bahwa korupsi adalah tindakan yang memiliki konsekuensi serius.

Namun, pemberantasan korupsi tidak dapat hanya mengandalkan pendekatan hukum atau teknis semata. Budaya korupsi yang telah mengakar membutuhkan perubahan paradigma di masyarakat. Ini mencakup penguatan nilai-nilai kejujuran, tanggung jawab, dan solidaritas, yang dapat dilakukan melalui pendidikan formal maupun informal. Peran media dan masyarakat sipil juga sangat penting dalam mendorong transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik dalam pengawasan kinerja pemerintah.

Selain itu, upaya kolektif dari berbagai pihak diperlukan untuk menciptakan tata kelola yang bersih. Pemerintah, sektor swasta, organisasi masyarakat sipil, dan individu memiliki tanggung jawab bersama untuk memberantas korupsi. Kerja sama internasional juga penting, terutama dalam menangani korupsi lintas negara, seperti penghindaran pajak dan pencucian uang.

Meskipun tantangan yang dihadapi Indonesia dalam memberantas korupsi sangat besar, harapan untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan transparan tetap ada. GONE Theory memberikan landasan teoretis yang kuat untuk memahami dan mengatasi akar masalah korupsi. Dengan mengurangi keserakahan, mempersempit peluang, mengurangi tekanan kebutuhan, dan meningkatkan risiko pengungkapan, praktik korupsi dapat ditekan secara signifikan.

Sebagai kesimpulan, korupsi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga refleksi dari kelemahan sistem dan budaya. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan

menyeluruh yang mencakup reformasi sistemik, penegakan hukum yang tegas, dan perubahan budaya. Dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga internasional, Indonesia dapat bergerak menuju pemerintahan yang lebih bersih, efektif, dan terpercaya. Ini bukan hanya sebuah harapan, tetapi juga sebuah keharusan untuk memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang.

Daftar Pustaka

Bologna, Jack. Fraud Auditing and Forensic Accounting. New York: John Wiley & Sons, 1993.

Klitgaard, Robert. Controlling Corruption. Berkeley: University of California Press, 1988.

Transparency International. "Corruption Perceptions Index 2022." https://www.transparency.org.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Laporan Tahunan KPK 2022." Jakarta: KPK, 2022.

Prabowo, Hermanto S. "A Better Defense Mechanism against Corruption in Indonesia." Journal of Financial Crime, Vol. 27, No. 2, 2020, pp. 461--474.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun