C=M+DAC = M + D - AC=M+DA
Dalam rumus ini, C merujuk pada korupsi (corruption), yang dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu monopoli kekuasaan (monopoly), kebebasan bertindak tanpa pengawasan (discretion), dan kurangnya akuntabilitas (accountability). Teori Klitgaard memberikan kerangka kerja yang sistematis untuk menjelaskan bagaimana interaksi antara faktor-faktor tersebut dapat menciptakan kondisi yang mendukung munculnya praktik korupsi.
Monopoli Kekuasaan (Monopoly)
Monopoli kekuasaan terjadi ketika individu atau kelompok tertentu memiliki kendali eksklusif atas sumber daya atau keputusan penting tanpa adanya pesaing. Dalam konteks tata kelola pemerintahan, monopoli kekuasaan sering muncul ketika pejabat memiliki otoritas tunggal dalam hal perizinan, penentuan kebijakan, atau pengelolaan anggaran. Kondisi ini menciptakan ketergantungan yang tinggi dari masyarakat atau pihak lain terhadap pemegang kekuasaan.
Di Indonesia, monopoli kekuasaan sering ditemukan dalam proses pengadaan barang dan jasa atau pemberian izin usaha. Misalnya, dalam sektor pemerintahan daerah, kepala daerah memiliki wewenang tunggal dalam menentukan pengalokasian anggaran pembangunan. Ketika tidak ada mekanisme kontrol yang cukup untuk membatasi monopoli tersebut, peluang untuk menyalahgunakan wewenang menjadi semakin besar.
Kebebasan Bertindak (Discretion)
Faktor kebebasan bertindak merujuk pada sejauh mana pejabat publik memiliki kewenangan untuk membuat keputusan tanpa pembatasan atau aturan yang jelas. Semakin besar diskresi yang dimiliki oleh pejabat, semakin tinggi peluang terjadinya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Di Indonesia, kebebasan bertindak ini sering muncul dalam pelaksanaan proyek-proyek pemerintah yang besar. Misalnya, dalam pembangunan infrastruktur, pejabat dengan diskresi tinggi dapat menentukan kontraktor atau penyedia jasa tanpa melalui proses lelang yang transparan. Hal ini memberikan peluang bagi praktik kolusi, nepotisme, dan suap.
Kurangnya Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah kemampuan untuk memastikan bahwa individu atau lembaga bertanggung jawab atas tindakan mereka. Ketika akuntabilitas lemah, pejabat publik tidak merasa perlu untuk mempertanggungjawabkan keputusan atau tindakan mereka, sehingga mendorong terjadinya korupsi.
Kurangnya akuntabilitas di Indonesia terlihat dari lemahnya mekanisme pengawasan, baik internal maupun eksternal. Sebagai contoh, laporan pertanggungjawaban anggaran seringkali tidak diaudit secara menyeluruh atau hasil audit tidak diikuti dengan tindakan hukum yang tegas. Kondisi ini menciptakan iklim impunitas, di mana pelaku korupsi merasa aman dari sanksi.