Mohon tunggu...
Ahmad Faisal
Ahmad Faisal Mohon Tunggu... Penulis - Indonesian Writter

Political Science FISIP Unsoed Alumnus. I like reading, writting, football, and coffee.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

"A Quarter Life Crisis", Lebih dari Sekadar Perkara Menikah

30 Juli 2018   22:07 Diperbarui: 31 Juli 2018   13:49 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

A Quarter Life Crisis, atau seseorang yang mulai memasuki usia ke-25 dalam hidupnya di muka bumi ini tentunya akan menjadi pengalaman yang wajib dilewati. Di usia tersebut, bagi seorang laki-laki sudah ideal untuk menikah, paling tidak menurut versi pemerintah dalam mengatur angka laju pertumbuhan penduduk warganya. 

Usia 25 tahun juga menjadi ajang pertanyaan bagi diri setiap orang, sudah sampai mana pencapaian hidupnya. Mengenai target kehidupan, apa saja yang sudah digapai, cita-cita mana yang belum dicapai, dan tentu saja kapan menikah?.

Saya rasa, usia kita yang semakin beranjak dewasa di usia 25 tahun bukan hanya soal urusan menikah. Menikah bagi anak muda memang menjadi isu yang terus menerus akan viral di era internet seperti ini. 

Di zaman yang sudah melek pendidikan seperti sekarang ini, setidaknya orang memutuskan menikah tidak lagi selepas lulus bangku SD, ya setidaknya selesai lulus SMA atau kuliah. Itu juga masih terbatas di perempuan karena posisinya yang cenderung pasif. Kalau laki-laki, setidaknya harus memiliki penghasilan dulu kan kalau mau melamar anak orang.

Tren Menikah Muda

Jika momen lebaran tiba, satu undangan selain undangan halal bi halal adalah undangan pernikahan dari teman. Scroll timeline media sosial juga isinya update feed mengenai momen-momen pernikahan, baik di-upload sendiri atau meng-upload momen pernikahan orang lain (teman/kerabat/saudara). 

Memang menjadi momen bahagia bagi orang yang melaksanakan dan juga kita yang menyaksikan. Namun, bagi beberapa orang yang melihat, justru momen bahagia tersebut bersanding dengan perasaan galau, yaitu ketika posisinya masih belum menikah. 

Nampaknya, perkara menikah seolah menjadi isu yang selalu hangat bagi orang yang belum sampai ke pelaminan. Yang belum punya pasangan galau, khawatir karena belum menemukan pasangan. 

Yang sudah punya kekasih hati juga galau menentukan kapan menikah, apalagi kalau sudah 'ditodong' oleh si perempuan maupun orang tuanya, makin galau tentunya kan. Di saat seperti inilah orang yang belum punya pasangan terkadang merasa menang karena belum ada tekanan, setidaknya bisa fokus mencari dulu yang cocok.

Di blog anak muda banyak tulisan yang mengulas mengenai menikah di usia muda. Kalau saya sih, sependapat dengan usia menikah yang ideal. Usia minimal 25 tahun bagi laki-laki dan usia minimal 23 tahun untuk perempuan. Pada usia tersebut, menurut saya, setidaknya orang sudah melewati beberapa tahapan, seperti sudah lulus pendidikan (minimal sarjana), sudah mulai bekerja, sudah pernah jatuh cinta (hehe). 

Sebenarnya, di usia minimal untuk menikah tersebut seseorang lebih siap karena paling tidak sudah pernah memiliki banyak kenalan, teman, atau bahkan pernah punya teman dekat. Bahasa anak gaul nya, ya itu, sudah pernah jatuh cinta. Ketika kita mengenal lebih banyak orang/teman, kita akan lebih punya pengalaman dengan perasaan. Kita bisa lebih menghargai perasaan orang lain. 

Orang lain di sini bukan selalu soal pacar, bisa teman kuliah/sekolah, teman main, sahabat, rekan kerja, dan lain sebagainya. Sehingga, dengan adanya adaptasi perasaan tersebut, ketika menikah kita tidak terlalu 'baper-an'. Secara positif, nantinya kita akan lebih bisa menjaga dan menghargai perasaan pasangan kita. Isitilah nya, tidak posesif terhadap pasangan. Kira-kira begitu.

Tren menikah muda tidak bisa hanya dilihat dari satu perspektif saja. Orang biasanya hanya melihat dari segi agama seperti yang biasa dilihat di tayangan ustad-ustad kekinian di media sosial. Saya rasa, alasan untuk menghindari zina tidak hanya selesai dengan menikah. Kalau saya tidak salah baca, jika kita belum mampu untuk menikah, hendaklah kita berpuasa. 

Memang urusan yang satu ini kontekstual dan debatable. Tergantung kita melihat dari perspektif mana. Saya tidak melarang dan bukannya tidak setuju dengan orang yang menikah muda. Hanya memberi perspektif lain soal menikah di usia muda. Karena menikah bukan hanya soal faktor biologis, menikah juga soal kehidupan. Maka dari itu, tidak bisa kita generalisir persoalan menikah. Toh, setiap orang juga berbeda-beda dalam merencanakan menikah.

Bagi yang sudah siap secara mental, penghasilan, dan niat, silahkan saja. Khususnya bagi laki-laki yang merasa sudah waktu nya untuk menikah. Bagi perempuan, bersabar jika pasangan yang anda kasihi masih berjuang dalam memperjuangkan Anda. 

Jangan hanya karena teman-teman wanita sudah pada menikah lebih dulu, kemudian jadi menekan pasangan Anda supaya minta cepat-cepat di lamar. Bagi yang jomblo, bersabar adalah cara terbaik sembari menyiapkan segalanya. 

Seperti kata orang kebanyakan, menikah itu tidak mahal, yang mahal adalah gengsi nya. Yang belum punya pasangan tenang saja, karena menjadi menjadi single adalah pilihan, sedangkan jomblo adalah nasib, Kata Ridwan Kamil. 

Gerbang Awal Kemandirian

Ketika memasuki usia 25 tahun, kita akan masuk ke dalam fase kehidupan di mana kita harus mulai bisa mandiri dalam berbagai aspek. Kemandirian ekonomi tentu menjadi hal yang utama karena menjadi modal dalam keberlanjutan kehidupan kita ke depan. 

Setidaknya, kita sudah punya penghasilan dan rutinitas harian dalam mencari nafkah. Perkara besaran penghasilan adalah soal cara pandang tiap orang. Menjadi kaya adalah impian, tapi yang paling penting adalah menjadi bahagia. 

Kalau terlalu ambisius untuk kaya, biasanya orang lupa akan hakikat hidup. Tidak peduli cara apa yang digunakan. Itu tidak baik, bisa-bisa lupa bahwa kita adalah makhluk beragama yang mempunyai Tuhan. Segala sesuatu yang berlebihan tidak baik, bukan? Termasuk ambisi. 

Selain dalam hal ekonomi, kematangan mental juga menjadi sorotan. Banyak orang tua yang sifatnya masih kekanak-kanakan. Ini adalah faktor budaya dan karakter. Setidaknya, kalau sebelum menikah kita sudah matang secara mental, nantinya kita bisa dingin dalam menyikapi masalah yang dihadapi pada saat sudah berkeluarga. 

Selain dua hal tadi, menurut saya, di usia 25 tahun kita juga harus punya kematangan religi. Ini adalah hubungan antara diri kita dengan Tuhan. Saya rasa ini penting, karena orang tentu saja suka dengan kesetiaan. 

Menikah dengan orang yang benar-benar kita cintai seutuh nya dalam balutan agama. Sebagai orang yang Bertuhan, kita akan selalu melibatkan Tuhan. Nyatanya, gelar keagamaan yang melekat pada seseorang juga belum menjamin orang itu setia. 

Sebagai manusia, kita perlu meminta ketetapan hati pada Yang Maha Kuasa, agar hati kita tertambat hanya pada satu orang kekasih. Banyak orang berpoligami dan dibahas dalam berbagai macam sudut pandang. Tapi, sepertinya perempuan lebih suka kalau kekasihnya setia kan? 

Jadikan saja usia 25 tahun sebagai gerbang awal kemandirian. Artinya, kita sebagai orang yang yang memiliki usia seperempat abad akan menjadi pribadi yang benar-benar bisa terlepas dari belenggu ekonomi orang tua. 

Minimal penghasilan sudah ada, beberapa pencapaian yang menjadi target bisa tercapai, memiliki kesehatan yang baik, itu saja sudah cukup. Karena ketika kita bisa mandiri, di situ lah sebenarnya kita sudah siap meminang kekasih hati.

Perkara-perkara Lain Selain Menikah

Terus terang, saya tidak terlalu suka dengan (maaf) perempuan yang sering mengumbar ambisinya untuk menikah. Sebenarnya wajar saja ketika seseorang, khususnya perempuan mengumbar-umbar rencana nya untuk menikah. Biasanya dimulai dari meng-upload foto calon suami, memasang status yang berisi quotes tentang menikah, atau dengan simpel nya menulis status H- (min) berapa hari menuju halal. Ini bukannya mendiskreditkan perempuan, tetapi hanya lelaki melow yang berlaku seperti itu, kalau pun ada.

Saya lebih respect dengan orang yang kalem-kalem penuh kejutan, gitu. Diam dalam persiapan matang menuju halal. Memang, semua tergantung level ke-alay-an masing-masing orang. Sejauh mana seseorang sudah melewati masa alay nya. Ini yang hampir setiap orang miliki. Pernah mencoba melihat status FB masing-masing pada saat pertama kali membuat akun? 

Ya kira-kira 5-10 tahun yang lalu. Pastinya ada status-status alay kan. Nah itu lah salah satu fase anak muda. Poinnya adalah, masa itu sudah terlewati, gitu. Masa sudah satu dekade masih sama alay nya. Itu yang terkadang orang tidak sadari. 

Sebenarnya masih alay, hanya media nya saja yang berbeda, tetapi sama-sama media sosial. Pernah ilfil sama orang yang suka screenshoot percakapan dengan orang lain, lalu di-share melalui status Whatsapp, bukan? Bisa lah teman-teman menilai sendiri.

Maksud saya, masih banyak perkara yang lebih bisa kita nikmati selain hanya memikirkan soal menikah. Biasanya, laki-laki itu akan memandang perempuan yang berbeda dengan perempuan lainnya. Dalam artian sifat, sikap, dan visi nya ke depan. Itulah yang akan dipertimbangkan laki-laki karena mencari isteri itu bukan seperti mencari pacar yang barangkali bisa putus nyambung hubungannya. Tapi, mencari isteri adalah mencari ibu bagi generasi penerus nya kelak. 

Perkara-perkara yang bisa kita lakukan, yang lebih produktif beberapa diantaranya adalah memfokuskan diri sedang dalam masa perjuangan apa kita hari ini. Misalnya, orang yang sedang berjuang menyusun tesis agar bisa mendapatkan gelar master, tentu lah fokuskan ke tesisnya.

Buat tesis terbaik sebelum menikah. Agar bisa diceritakan dan barangkali bisa untuk bahan cerita kepada isteri dan anak nya kelak. Bagi yang sudah bekerja bersukurlah karena salah satu step kehidupan yang wajib dilalui saat ini sudah kita capai. 

Tinggal persiapkan kemapanan ekonomi agar kelak bisa mapan berkeluarga. Hal lain yang bisa kita lakukan, misalnya,mengembangkan hobi menjadi sesuatu hal yang produktif, kalau bisa malah justru menghasilkan. Itu akan memiliki nilai positif selagi usia kita berada di dalam tahap krisis seperempat abad. Hobi yang kemudian bisa menghasilkan nilai ekonomi tentu saja akan menyenangkan. 

Karena A quarter Life Crisis bukan hanya soal perkara menikah saja. Akhirnya, saya mengutip kalimat Sujiwo Tedjo, 

"Bahwa menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu dapat berencana menikah dengan siapa, tapi tak bisa kamu rencanakan cintamu untuk siapa. Bahwa yang membekas dari lilin bukan leleh nya, melainkan wajahmu sebelum gelap".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun