Tentang Hawa yang diyakini sebagai tulang rusuk Adam padahal tidak ada ayat yang secara langsung bilang Hawa itu tulang rusuk Adam. Itulah pertama kalinya ia mendapat surat ancaman ketika menafsirkan yang berbeda terkait tulang rusuk itu. Menurutnya cerita sedetail itu pengaruh dari israiliyat yang berasal dari teks yahudi dan nasrani. Berangkat dari sinilah Amina menegaskan mengapa pentingnya membaca atau menafsirkan al-Quran dengan pisau analisis gender.
Amina juga menegaskan pentingnya seorang mufassir memahami cara pandang dunia, weltanschauung atau worldview. Kemudian banyak tafsir tekstual yang bersifat atomistik,yaitu penafsiran dilakukan ayat per-ayat dan tidak tematik, sehingga pembahasannya terkesan parsial. Dan banyak pula tafsir yang ditulis hanya oleh kaum laki-laki, makanya kebanyakan ide serta visi misi perempuan tidak banyak tersebar luas ke dalam penafsiran.
Menurut Wadud, Ulama ataupun penafsiran klasik seperti selalu didewakan dan mutlak kebenarannya. Makanya, ketika ada penafsiran yang berani berbeda dari tafsir klasik sering dituduh sebagai Kafir, murtad, dan liberal. Apalagi ketika yang berbeda itu ialah Ulama perempuan, yang notabenenya mayoritas perempuan selalu dijatuhkan dalam hal literasi dan dipandang rendah di beberapa negara.
Sejatinya al-Quran dan as-Sunnah, memberikan mandat yang universal terhadap laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pada faktanya perempuan tidak banyak berperan dalam membentuk paradigma keislaman. Contohnya hadis menuntut ilmu wajib bagi setiap setiap muslim. Kata muslim disini bersifat universal dan mencakup juga untuk muslimah.
Pembelaan perempuan terkadang dianggap tidak ortodoks, inilah gunanya feminis muslim ingin mengembalikan status penafsiran al-Quran ini terhadap manusia yang aslinya kesulitan juga untuk memahami dan menerapkan pesan sesungguhnya yang dimaksudkan Allah.
Terlebih faktanya laki-laki juga ada kurangnya juga dan jangan sampai diperlakukan sebagai ‘dewa’ yang tidak ada salahnya. Ketika wacana islam dibentuk, laki-laki selalu mendominasi, padahal harusnya juga melibatkan wanita dalam diskusi tersebut. Sehingga terkesan laki-laki itu menjadi ‘hakim’ yang memutuskan apa yang seharusnya manusiawi atau tidak dan pencapaian terhadap nilai-nilai kebenaran itu hanya berlaku kepada konstruk kepada laki-laki, namun laki-laki itu akhirnya ada kurangnya juga.
Ayat al-Qur’an yang berbicara bahwa manusia mempunyai tugas sebagai khalifah di bumi, cenderung diartikan sebagai laki-laki.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: