Mohon tunggu...
Ahmad effendi
Ahmad effendi Mohon Tunggu... insan dan penikmat seni - rupa,musik,tari,teater dan sastra/Berkesenian

Lahir di Kaki Gunung Cikuray Garut. Berkesenian sejak tahun 1995 sampai sekarang. Pendiri ekskul teater di dibeberapa disekolah wilayah Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Asa

2 Januari 2024   23:49 Diperbarui: 3 Januari 2024   00:04 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

SEBUAH PENGABDIAN

Ahmad Effendi

 

Entah yang keberapa kali suara alarm itu berdering dari gawai yang sudah mulai ketinggalan modelnya. Kembali suara alarm berdering begitu nyaring mengusik dan mengusir mimpiku. Mata begitu lengket susah terbuka. Terakhir kuingat setelah shalat subuh mencoba hanya sekedar rebahan istirahat sejenak istirahatkan mata dari cahaya leptopku. Dengan terpaksa aku bangun sambil mengucek-ngucek mata.

"Ya Alloh!" bertapa terkejutnya saat melihat jam yang sudah menunjukan pukul 08.00. Bangun terperanjat dan langsung melihat keluar jendela yang gordengnya sudah terbuka. Mataku terasa silau dan perih saat mentari menembus mata ini. Secepat kilat menyamber handuk yang menggantung di balik pintu dan langsung bergegas mandi. Setelah minum kopi yang sudah tersedia buatan istriku. Tak lupa menyulut sebatang rokok teman kopi hitamnya. Bangun pagi tak lengkap jika belum ada kopi dan sebatang rokok menemani sekalipun kutahu aku bakal telat telat beberapa menit dilokasi.

" Kenapa tidak bangunin?'

" Bukannya bilang tidak ngajar hari ini ? kan semaleman sudah membuat tugas buat anak-anak?' timpal istriku sambil menyisir  rambut jagoan kecilku.

Bergegas aku berangkat. Sesampainya di alamat yang sudah diberikannya aku mdelihat ke gedung itu. Kaki ragu-ragu untuk melangkah dari tempat parker. Kulihat jam tangan sudah menunjukan jam 08.30. Dengan ragu-ragu aku masuk dan bertanya kepada security yang dengan tegapnya tetapi ramah.

"Permisi,.. Apakah Pak Arman ada?"

"Pak Ahmad?' Dia balik bertanya

" Betul "

" Pak Arman sudah pergi keluar kota, tadi memang menunggu bapak. Tapi katanya terlalu lama menunggu. Pak Arman orangnya memang ontime pak" tambahnya lagi.

" Baik pak, terimaksih " sahutku sambil berlalu ke parkiran lagi.

Sejenak terdiam. Menghela nafas. Kuambil sebatang rokok dan kusulut. Terasa hambar tak seperti biasanya. Kunyalakan motor dan berlalu dari gedung yang cukup mewah itu.

*

" Kok sebentar, bukannya mau interview ?"

Aku tak menjawab. Hanya duduk. Istriku sepertinya memahami dan langsung masuk ke rumah membawakan teh hangat kebiasaan yang sudah difahaminya. Belum sempat mendarat di meja langsung ku sambar teh itu, sekalipun tak terasa haus hanya sekedar untuk membilas rasa kekecewaan pada diri sendiri yang tidak bisa tepat waktu. 

" Di tolak lagi?karena datang telat?" Tanya istriku sambil duduk di sampingku.

Aku hanya menghela nafas sambil menyulut kembali sebatang rokok.  Kepulan asap mengepul sedikit sedikit hilang bersamaan hilangnya kekesalan, kekecewaan dan kecamuk lainnya pada diri sendiri.

" Memangnya telat berapa menit?" Tanya istriku

Sebenarnya telat hanya 10 menit, tapi aku sadar bukan berapa lama telatnya tetapi masalah integritas dan tanggung jawab dan itulah kesalahn yang sering aku lakukan dan kini terjadi lagi.Nasi sudah menjadi bubur apa boleh buat. Cara terbaik bangkit dari sebuah kegagalan ya berdamai dengan diri sendiri. Aku ingat kata-kata dari Gus Miftah bahwa Kegagalan adalah cara Allah untuk mengatakan bersabarlah karena aku memiliki sesuatu yang lebih baik untukmu saat waktunya tiba. Mungkin ini bukan cara Alloh untuk merubah keadaan hidupku.

" Yasudah berarti bukan rezekinya. Lagian ngapain cari kerjaan lagi. nda apa-apa jadi guru honorer juga yang penting berkah. Sekalipun gajinya kadang suka telat toh masih hidup " timpal istriku dengan logat Jawanya yang medok.

Menjadi seorang guru selain panggilan hati juga harapan orang tuaku. Entah karena kedua orang tuaku juga seorang guru. Kalau bukan karena amanat dan pesan kedua orang tuaku sebenarnya aku sudah mau merubah haluan. Menjadi seorang guru honorer terlebih di zaman seperti ini memang cukup berat terlebih kebutuhan yang semakin banyak. Beruntung mempunyai istri dan keluarga yang begitu mendukung dan memperhatikan. Terlebih ibuku selalu menguatkan dan berpesan ketika aku pulang kampung. " Menjadi guru itu harus ikhlas". Lirihnya saat aku membasuh kedua kakinya sekaligus memohon maaf dan keberkahan dari ibuku.

"Terlepas dari keuntungan dan kelebihan yang akan didapatkan, menjadi guru itu sangatlah mulia dan bagus, jangan sampai dilepaskan dan ditinggalkan, InshaAlloh kalau sudah saatnya pasti kamu mendapatkan yang terbaik. Mamah selalu do'akan supaya kamu segera menjadi Pegawai Negeri seperti kakak-kakakmu. Disetiap selesai shalat mamah selalu do'akan kamu". Dengan lemah lembut sambil mengusap kepalaku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun