DISKURSUS METODE ANALISIS WACANA DESKURSIF DAN ANALISIS WACANA KRITIS PADA TREATY SHOPPING DAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA
Treaty shopping merupakan praktik manipulasi hukum yang biasa dilakukan oleh perusahaan multinasional untuk memperoleh keuntungan dari fasilitas yang diatur dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda. Fasilitas ini biasanya mencakup penurunan tarif pemotongan pajak, seperti pajak dividen, bunga, atau royalti. Praktik ini dilakukan oleh subjek pajak yang sebenarnya tidak memenuhi syarat untuk mendapatkan manfaat tersebut, misalnya dengan mendirikan entitas di negara pihak ketiga yang memiliki perjanjian pajak yang lebih menguntungkan.
Tujuan utama dari praktik treaty shopping adalah untuk mengurangi beban pajak secara signifikan dengan memanfaatkan celah dalam perjanjian pajak internasional. Praktik ini merugikan negara asal karena pendapatan pajak yang seharusnya diterima berpindah ke negara lain dengan tarif pajak lebih rendah atau bahkan nol. Oleh karena itu, treaty shopping sering dianggap sebagai bentuk penghindaran pajak yang tidak sejalan dengan tujuan P3B itu sendiri.
Padahal P3B muncul sebagai respons terhadap benturan yurisdiksi perpajakan yang sering terjadi antara dua negara yang terlibat dalam hubungan ekonomi. Negara yang memiliki modal (negara sumber investasi) dan negara penerima modal (negara tujuan investasi) sering kali mengenakan pajak atas penghasilan yang sama, yang mengakibatkan double taxation atau pajak berganda. Untuk menghindari situasi ini, serta untuk mencegah penghindaran pajak (tax evasion), maka disusunlah pengaturan dalam bentuk perjanjian antarnegara. Perjanjian ini bertujuan untuk mengatur pembagian hak pemajakan yang adil dan mendorong kerja sama ekonomi antarnegara. Adanya P3B diharapkan dapat menciptakan keadilan dalam pembagian hak pemajakan, mendorong investasi lintas negara, serta mencegah praktik pengelakan pajak (tax evasion). Namun, dalam praktiknya, P3B malah sering kali disalahgunakan oleh wajib pajak melalui skema treaty shopping. Skema ini memungkinkan wajib pajak yang sebenarnya tidak berhak mendapatkan fasilitas pajak, seperti penurunan tarif withholding tax, untuk memanfaatkan celah hukum dalam perjanjian tersebut demi mengurangi beban pajak.
Praktik treaty shopping dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan P3B (treaty abuse) karena bertentangan dengan tujuan utama P3B sebagaimana telah dijelaskan diatas, yaitu untuk menghindari pajak berganda dan mencegah penghindaran pajak. Dengan memanfaatkan pasal-pasal tertentu dalam P3B secara tidak sesuai, subjek pajak dapat mengurangi beban pajaknya secara signifikan tanpa memenuhi syarat yang seharusnya. Oleh karena itu, meskipun P3B bertujuan untuk mendukung hubungan ekonomi yang adil, penyalahgunaan seperti treaty shopping justru merugikan negara-negara yang menjadi pihak dalam perjanjian karena mengurangi potensi penerimaan pajak mereka.
Paul-Michel Foucault
Praktik treaty shopping dalam penghindaran pajak dapat dianalisis melalui kerangka pemikiran Michel Foucault. Paul-Michel Foucault (15 Oktober 1926 -- 25 Juni 1984) atau lebih dikenal sebagai Michel Foucault adalah seorang filsuf Prancis, sejarawan ide, ahli teori sosial, ahli bahasa, dan kritikus sastra. Dimana Teori-teorinya membahas hubungan antara kekuasaan dan pengetahuan, dan bagaimana mereka digunakan untuk membentuk kontrol sosial melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Menurut Foucault, kekuasaan dan pengetahuan saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan, pengetahuan memberikan legitimasi kepada kekuasaan, sementara kekuasaan menciptakan dan menyebarkan pengetahuan yang menguntungkan pihak tertentu. Dalam konteks treaty shopping, perusahaan multinasional menggunakan pengetahuan yang mendalam tentang perjanjian pajak internasional (P3B) untuk memanfaatkan celah-celah hukum yang ada. Melalui akses terhadap konsultan, pengacara, dan ahli pajak internasional lainnya, mereka membangun kekuatan untuk mendominasi dan mengeksploitasi sistem perpajakan global dengan membentuk Lembaga-lembaga atau perusahaan di berbagai negara demi melancarkan tujuan mereka yang pada hakikatnya adalah memaksimalkan laba usaha.
Praktik treaty shopping juga dapat kita pahami dengan Analisis Wacana Kritis (AWK) yang digagas oleh Foucault. Dalam analisis wacana, Michel Foucault menekankan pentingnya melihat hubungan antara kekuasaan, pengetahuan, dan praktik sosial. Pendekatan ini relevan untuk memahami bagaimana treaty shopping dan penghindaran pajak berganda diartikulasikan dan dilegitimasi dalam konteks perpajakan internasional. AWK menyoroti aspek kekuasaan di balik pembentukan wacana, sementara AWD berfokus pada cara wacana ini berfungsi dalam membentuk realitas sosial. Dengan memanfaatkan metode arkeologi dan genealogi, kedua metode tersebut disebut "Wacana Kritis".
Melalui pendekatan arkeologi, kita dapat menggali struktur pengetahuan atau episteme yang mendasari praktik treaty shopping. Treaty shopping terjadi karena ada episteme tertentu yang membentuk cara berpikir tentang perjanjian pajak internasional. Misalnya:
- Perjanjian pajak internasional sering dibangun atas dasar wacana teknis yang terlihat netral, seperti "menghindari pajak berganda" atau "mendorong investasi asing".
- Namun, jika dianalisis lebih dalam, terdapat asumsi-asumsi tersembunyi yang mendukung kepentingan perusahaan multinasional. Pendekatan arkeologi mengungkap bagaimana episteme ini dibentuk pada periode tertentu dan bagaimana ia memengaruhi kebijakan perpajakan.
Sementara itu, pendekatan genealogi memperluas analisis dengan menyoroti bagaimana hubungan kekuasaan memengaruhi pembentukan wacana ini. Genealogi membantu menjelaskan:
- Motif tersembunyi: Praktik treaty shopping tidak hanya soal efisiensi pajak, tetapi juga soal bagaimana perusahaan multinasional menggunakan kekuasaan mereka untuk memengaruhi perjanjian pajak yang menguntungkan mereka.
- Struktur kekuasaan: Negara-negara maju dan perusahaan multinasional sering kali memiliki kendali lebih besar dalam merancang perjanjian pajak. Mereka menggunakan modal simbolik (seperti keahlian teknis) untuk menciptakan wacana yang mendukung kepentingan mereka, sementara negara-negara berkembang cenderung berada dalam posisi yang lebih lemah.
- Dampak historis: Genealogi menelusuri bagaimana praktik seperti treaty shopping muncul, berkembang, dan menjadi "sah" dalam sistem perpajakan internasional.
Dalam konteks treaty shopping, metode arkeologi mengungkap bagaimana wacana teknis perpajakan internasional dibangun sehingga praktik ini dianggap sebagai strategi bisnis yang sah. Wacana tersebut, yang terlihat netral, sebenarnya dibentuk untuk mendukung kepentingan perusahaan multinasional dengan menekankan efisiensi pajak dan investasi asing. Di sisi lain, metode genealogi mengungkapkan kekuatan tersembunyi di balik wacana ini, yaitu dominasi aktor-aktor kuat seperti perusahaan multinasional dan negara maju yang memanfaatkan kekuasaan mereka untuk membentuk sistem perpajakan internasional yang menguntungkan posisi mereka.
Dengan menggabungkan kedua metode tersebut, dapat dipahami bahwa treaty shopping bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga hasil dari hubungan kekuasaan, pengetahuan, dan wacana yang tidak seimbang. Praktik ini dilegitimasi melalui konstruksi wacana yang mencerminkan kepentingan aktor-aktor dominan dalam arena global, sering kali merugikan negara-negara berkembang yang kehilangan potensi pendapatan pajak untuk pembangunan.
Pierre Flix Bourdieu
Sejalan dengan Michel Foucault, Kekuasaan untuk mendominasi sebagaimana dimaksud juga dapat dipahami menggunakan kerangka pemikiran Pierre Flix Bourdieu, Sama halnya dengan Michel Foucault. Bourdieu merupakan seorang sosiolog dan filsuf asal Prancis yang terkenal dengan teori-teorinya mengenai struktur sosial, kekuasaan, dan budaya. Bourdieu mengembangkan konsep Habitus, Kapital, dan Arena, yang memberikan wawasan lebih dalam mengenai bagaimana struktur sosial dan bagaimana individu atau kelompok beroperasi dalam struktur sosial tersebut.
Hubungan antara Habitus, Arena, dan kapital ini dapat membantu menjelaskan dinamika yang terjadi dalam fenomena Treaty shopping, yang sering digunakan oleh perusahaan multinasional untuk meminimalkan pajak dengan mengalihkan laba mereka ke anak perusahaan yang didirikan di negara dengan tarif pajak rendah. Dalam kasus Treaty Shopping, habitus perusahaan multinasional yang mengarah pada praktik penghindaran pajak mencerminkan kebiasaan dan strategi yang sudah terinternalisasi dalam struktur korporasi mereka. Habitus ini mungkin terbentuk dari pengalaman dalam dunia bisnis internasional, di mana penghindaran pajak dan pengoptimalan modal adalah norma yang dapat diterima dalam strategi perusahaan global. Kebiasaan atau disposisi ini mendorong keputusan-keputusan yang mengarah pada praktik treaty shopping sebagai cara untuk memindahkan keuntungan dan mengurangi kewajiban pajak mereka.
Sedangkan dalam konteks treaty shopping, arena dapat dipahami sebagai ruang sosial di mana kekuatan yang mendominasi pasar global dapat beroperasi untuk memanfaatkan sistem perpajakan internasional demi keuntungan mereka. Pierre Bourdieu juga menggambarkan arena sebagai medan persaingan yang diatur oleh aturan tertentu, Dalam arena perpajakan internasional, perusahaan multinasional yang memiliki kekuasaan dan pengetahuan mampu mendikte jalannya permainan.
Bourdieu memperkaya analisis tentang arena, yaitu tempat di mana praktik treaty shopping terjadi. Arena ini menggambarkan dinamika kekuasaan, di mana pihak-pihak yang memiliki lebih banyak kapital baik berupa kapital ekonomi (uang dan aset), kapital sosial (jaringan atau hubungan), maupun kapital simbolik (reputasi atau keahlian) akan lebih dominan dan berkuasa.
Menurut Foucault, pengetahuan teknis tentang perpajakan internasional tidaklah netral, tetapi merupakan bagian dari kekuasaan. Pengetahuan ini menjadi kapital simbolik yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk melegitimasi praktik treaty shopping. Dengan modal ini, mereka dapat menyatakan bahwa tindakan mereka sah atau wajar meskipun praktik tersebut sebenarnya memperburuk ketimpangan ekonomi global.
Dengan menggabungkan pandangan Bourdieu dan Foucault, kita dapat memahami bahwa treaty shopping bukan hanya soal teknis perpajakan, tetapi juga hasil dari interaksi yang kompleks antara kekuasaan, pengetahuan, kapital, dan struktur sosial dalam arena global. Perspektif Bourdieu melengkapi analisis Foucault dengan menunjukkan bahwa kelompok elite dalam struktur sosial dan distribusi kapital memainkan peran penting dalam melanggengkan praktik ini.
Madness and Civilization (1960)
Selain itu, dalam karyanya, Madness and Civilization (1960), Michel Foucault menjelaskan bahwa konsep "kegilaan" adalah konstruksi sosial yang diciptakan oleh kelompok elite dalam masyarakat untuk mendefinisikan dan mengontrol individu yang dianggap tidak sesuai dengan norma mereka. Kelompok elite sebagaimana dimaksud dalam hal ini adalah perusahaan multinational atau institusi lainnya, yang menggunakan kategori ini sebagai alat kekuasaan untuk mengecualikan pihak-pihak yang tidak diinginkan, sehingga menciptakan struktur sosial yang menguntungkan bagi mereka. Proses ini melibatkan pembentukan simbol-simbol dan wacana yang dilegitimasi secara ilmiah yang disusun sedemikian rupa agar diterima oleh masyarakat umum.
Kelompok elite dan dominan, seperti negara maju dan perusahaan multinasional, membangun wacana perpajakan internasional melalui peraturan, simbol-simbol teknis dan konsep-konsep yang terkesan netral, seperti "efisiensi pajak" atau "penghindaran pajak yang sah." Simbol-simbol ini tidak hanya dilegitimasi melalui bahasa hukum dan ekonomi, tetapi juga diproduksi secara sistematis oleh institusi internasional, firma hukum, dan konsultan pajak global. Akibatnya, praktik treaty shopping tersebut dapat diterima sebagai bagian integral dari sistem perpajakan global, tanpa dipertanyakan secara kritis oleh masyarakat luas atau negara-negara yang dirugikan akibat praktik tersebut.
Persis seperti dalam analisis Foucault terhadap kategori "kegilaan," kelompok yang kurang memiliki kekuasaan dan pengetahuan, dalam hal ini adalah negara-negara berkembang tidak diberi ruang untuk mengajukan narasi tandingan. Negara-negara ini sering kali tidak memiliki kapasitas politik, ekonomi, maupun hukum untuk menantang konstruksi wacana tersebut. Dengan demikian, sistem perpajakan internasional yang ada menciptakan struktur yang memarginalkan mereka, menjadikan treaty shopping sebagai praktik yang memperbesar kesenjangan ekonomi global.
Lebih jauh lagi, legitimasi treaty shopping juga diperkuat melalui sistem hukum internasional yang bias terhadap kepentingan aktor dominan. Perjanjian pajak bilateral, misalnya, sering kali dirancang untuk menarik investasi asing langsung, tetapi pada akhirnya memberikan lebih banyak keuntungan kepada perusahaan multinasional daripada negara tuan rumah. Hal ini mengingatkan kita pada bagaimana kategori "gila" digunakan untuk mendisiplinkan individu agar sesuai dengan norma kelompok elite, sementara treaty shopping mendisiplinkan negara-negara berkembang untuk menerima kerugian demi mendapatkan "manfaat" investasi asing.
Dalam konteks treaty shopping, wacana perpajakan internasional dapat dipahami sebagai konstruksi kekuasaan yang dirancang oleh kelompok dominan, seperti negara maju dan perusahaan multinasional, untuk melegitimasi praktik ini sebagai strategi bisnis yang sah. Dengan menggunakan simbol teknis dan narasi yang terkesan netral, mereka menciptakan sistem perpajakan yang menguntungkan posisi mereka, sambil memarginalkan negara-negara berkembang yang kehilangan potensi pendapatan pajak. Sebagaimana kategori "kegilaan" dalam analisis Foucault, treaty shopping adalah hasil dari hubungan kekuasaan yang menormalisasi ketidakadilan struktural. Oleh karena itu, penting untuk mengkritisi wacana ini dan membangun narasi alternatif yang lebih adil dan inklusif bagi semua pihak dalam arena global.
Terima Kasih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H