Mohon tunggu...
Ahmad BurhanZulhazmi
Ahmad BurhanZulhazmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM : 55523110040 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Universitas : Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

K6 - Diskursus Kritik Mutual Agreement Procedure Tax Treaty

22 Oktober 2024   11:32 Diperbarui: 22 Oktober 2024   11:36 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam era globalisasi, bisnis semakin meluas melintasi batas negara, yang menyebabkan peningkatan sengketa perpajakan internasional. Sengketa ini sering kali melibatkan isu-isu kompleks yang memerlukan keahlian khusus dalam perpajakan internasional, terutama terkait perjanjian pajak atau tax treaty. Salah satu metode penyelesaian sengketa yang efektif adalah melalui Prosedur Persetujuan Bersama atau Mutual Agreement Procedure (MAP).

Apa itu Mutual Agreement Procedure (MAP)?

 

Mutual Agreement Procedure (MAP) adalah sebuah mekanisme yang sangat penting dalam dunia perpajakan internasional, dirancang untuk menyelesaikan sengketa yang muncul antara negara-negara yang memiliki perjanjian pajak. Dalam konteks globalisasi yang semakin meningkat, di mana bisnis dan individu sering kali beroperasi di berbagai negara, masalah perpajakan lintas batas menjadi semakin kompleks. MAP hadir sebagai solusi untuk mengatasi tantangan ini.

Pada dasarnya, MAP adalah prosedur yang memungkinkan otoritas pajak dari dua negara yang terlibat dalam sengketa perpajakan untuk berkomunikasi dan bernegosiasi secara langsung. Tujuan utama dari MAP adalah untuk menghindari pajak berganda, memastikan penerapan perjanjian pajak yang konsisten, dan menyelesaikan perbedaan interpretasi atau penerapan perjanjian pajak tersebut. Dengan kata lain, MAP berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan dua sistem perpajakan yang berbeda, membantu menciptakan kesepakatan yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Dasar hukum dari MAP umumnya diatur dalam Pasal 25 dari OECD Model Tax Convention, yang menjadi acuan bagi banyak negara dalam menyusun perjanjian pajak mereka. Di Indonesia, MAP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak, yang memberikan panduan tentang bagaimana prosedur ini harus dilaksanakan.

Proses MAP dimulai ketika seorang wajib pajak mengajukan permohonan kepada otoritas pajak di negara tempat mereka berdomisili. Permohonan ini kemudian dievaluasi oleh otoritas pajak untuk menentukan kelayakan kasus tersebut untuk diproses melalui MAP. Jika dianggap layak, otoritas pajak dari kedua negara akan berkomunikasi dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan mengenai masalah perpajakan yang dipermasalahkan.

Kasus-kasus yang dapat diajukan melalui MAP sangat beragam, termasuk isu transfer pricing, penentuan bentuk usaha tetap, karakterisasi penghasilan, dan penerapan withholding tax. Salah satu keuntungan utama dari MAP adalah kemampuannya untuk menghindari litigasi yang mahal dan memakan waktu. Proses ini memberikan kepastian hukum bagi wajib pajak, serta memungkinkan penyelesaian yang lebih fleksibel dan sesuai dengan kebutuhan kedua negara.

Namun, meskipun MAP menawarkan banyak keuntungan, ada juga tantangan yang harus dihadapi. Proses ini sering kali memakan waktu yang lama, dan tidak ada jaminan bahwa resolusi akan tercapai. Selain itu, MAP memerlukan kerjasama aktif dari otoritas pajak kedua negara, yang terkadang bisa menjadi kendala tersendiri.

Dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara, termasuk Indonesia, telah berupaya untuk meningkatkan kapasitas dan efisiensi proses MAP mereka. Salah satu inisiatif yang diambil adalah mengikuti rekomendasi dari BEPS Action 14, yang menekankan pentingnya memiliki sistem MAP yang efektif dan responsif. Hal ini menunjukkan komitmen negara-negara untuk memperbaiki mekanisme penyelesaian sengketa perpajakan internasional.

Mengapa MAP Menjadi Pilihan yang Baik untuk Penyelesaian Sengketa?

Sumber : Prof. Apollo
Sumber : Prof. Apollo
  1. Ditangani oleh Ahli: Salah satu keuntungan utama dari MAP adalah prosesnya ditangani oleh unit khusus di Direktorat Perpajakan Internasional dari Direktorat Jenderal Pajak (DGT). Hal ini memastikan bahwa fakta-fakta kasus dievaluasi oleh pejabat yang memiliki keahlian yang cukup di bidang pajak internasional untuk terlibat dalam diskusi yang positif dan produktif dengan Otoritas Berwenang dari negara lain.

  2. Solusi Win-Win yang Feasible: Berbeda dengan proses penyelesaian sengketa domestik yang sebagian besar menghasilkan hasil menang atau kalah bagi wajib pajak, MAP bertujuan untuk mencapai solusi yang dapat diterima bersama yang, sebisa mungkin, menghindari pajak berganda. Karena sifatnya sebagai negosiasi dan mediasi antara Otoritas Berwenang, hasilnya lebih mungkin menjadi solusi win-win, yang sangat penting untuk kasus penetapan harga transfer yang bukan merupakan ilmu pasti.

  3. Paralel dengan Saluran Sengketa Domestik: Pembaruan regulasi MAP terbaru dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan nomor7 tahun2021 juncto Peraturan Pemerintah Nomor55 tahun2022 telah menyelesaikan masalah yang tertunda mengenai proses paralel antara penyelesaian sengketa domestik dan MAP. Di bawah regulasi tersebut, hak wajib pajak untuk memilih satu atau kedua saluran dilindungi sebisa mungkin secara konstitusional. Dengan demikian, wajib pajak diberikan kebebasan untuk mengejar satu atau kedua jalur secara bersamaan, yang berpotensi mengarah pada resolusi sengketa yang lebih cepat dan lebih menguntungkan.

  4. Kemungkinan Penyesuaian yang Sesuai: Untuk kasus penetapan harga transfer, keuntungan yang sangat jelas dari MAP adalah kemungkinan untuk memberikan penyesuaian yang sesuai yang hampir mustahil di bawah jalur sengketa domestik. Misalnya, jika ada perusahaan (PT A) yang memiliki transaksi layanan intra-grup dengan afiliasinya (AA Ltd.) tetapi kemudian biaya transaksi tersebut disesuaikan oleh otoritas pajak dari100 menjadi60 karena analisis penetapan harga transfer, PT A atau AA Ltd. dapat meminta Otoritas Berwenang untuk mengevaluasi penyesuaian tersebut dan menyepakati jumlah tertentu yang berlaku secara konsisten di kedua negara. Dengan demikian, terdapat keseimbangan matematis antara biaya dan pendapatan di kedua negara yang menghindari pajak berganda secara ekonomi.

  5. Kerahasiaan: Salah satu keuntungan dari menggunakan MAP adalah kerahasiaan. Proses ini terjadi secara pribadi antara wajib pajak dan Otoritas Berwenang dari negara-negara yang terlibat, berbeda dengan proses keberatan dan banding yang biasanya berlangsung di pengadilan publik. Ini menjamin bahwa spesifik dari kasus tersebut tetap rahasia, yang sangat penting bagi perusahaan yang sangat menghargai reputasi mereka dan ingin menjaga informasi sensitif tidak terungkap kepada publik.

 

Bagaimana Penerapan MAP dalam Konteks Perjanjian Pajak Internasional?

Sumber : Prof. Apollo
Sumber : Prof. Apollo

MAP didasarkan pada Pasal25 dari Model Konvensi Pajak OECD tentang Pendapatan dan Modal serta Model Perserikatan Bangsa-Bangsa. Indonesia, seperti kebanyakan negara lainnya, telah mengadopsi model konvensi pajak ini dalam perjanjian pajaknya, menjadikan MAP sebagai opsi yang tersedia untuk menyelesaikan sengketa terkait implementasinya. Untuk memastikan penerapan MAP, Indonesia telah mengintegrasikan proses ini ke dalam undang-undangnya, seperti yang dapat diamati dalam Peraturan Pemerintah Nomor74 tahun2011. Lebih lanjut, untuk menetapkan protokol yang lebih efisien dan efektif dalam melaksanakan MAP, Indonesia memberlakukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor240 tahun2014, yang kemudian diperbaiki oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor49 tahun2019, sehingga prosedurnya lebih sejalan dengan praktik terbaik internasional.

Peningkatan kerangka regulasi ini sejalan dengan peningkatan unit pemerintah yang ditugaskan untuk mengelola proses ini. Pada awal2016, Menteri Keuangan membentuk unit eksklusif dan berdedikasi untuk mengelola MAP. Tim khusus ini terdiri dari sejumlah besar analis pajak internasional, banyak di antaranya telah menerima pendidikan mereka dari universitas asing ternama yang mengkhususkan diri dalam studi pajak internasional. Ini menunjukkan dedikasi Indonesia untuk terus meningkatkan dan menyempurnakan sistem MAP-nya dengan tujuan memaksimalkan efektivitasnya dalam menyelesaikan sengketa terkait pajak internasional dan meminimalkan pajak berganda.

Selain itu, kualitas proses MAP dievaluasi secara terbuka oleh mekanisme tinjauan sejawat yang diamanatkan oleh Laporan Akhir Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) Action14. Menurut laporan tinjauan resmi, Indonesia ditemukan telah memenuhi sebagian besar elemen yang diperlukan oleh Standar Minimum Action14 selama tinjauan Tahap1. Di mana terdapat kesenjangan dalam kepatuhan, Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya. Pada Tahap2, meskipun beberapa kekhawatiran baru muncul, Indonesia secara efektif menangani sejumlah besar kekurangan yang sebelumnya diidentifikasi.

Kritik terhadap MAP muncul karena beberapa alasan:
 

  1. Ada kekhawatiran bahwa MAP tidak selalu efektif dalam menyelesaikan sengketa perpajakan secara adil dan cepat. Proses MAP dapat memakan waktu lama dan biaya yang besar, yang dapat menghambat subjek pajak dalam menyelesaikan masalah perpajakan mereka. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa MAP dapat dijadikan sebagai alat untuk menghindari pajak, bukan untuk menyelesaikan sengketa perpajakan secara adil.

  2. Ada kekhawatiran bahwa MAP tidak selalu memperhatikan kepentingan negara berkembang. Dalam beberapa kasus, negara maju dapat memiliki posisi yang lebih kuat dalam negosiasi MAP, yang dapat mengakibatkan keputusan yang tidak adil bagi negara berkembang. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam penerapan P3B dan MAP.

  3. Ada kekhawatiran bahwa MAP tidak selalu transparan. Proses MAP dapat dianggap rumit dan tidak transparan, yang dapat membuat subjek pajak sulit untuk memahami bagaimana keputusan diambil. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan yang rendah terhadap proses MAP dan P3B secara keseluruhan.  

Kesimpulan
MAP adalah alternatif yang efektif untuk menyelesaikan masalah perpajakan internasional, terutama yang melibatkan penetapan harga transfer. Struktur dan prosedur regulasi, khususnya di Indonesia, telah ditingkatkan untuk lebih mempromosikan resolusi yang dapat diterima bersama dan penghindaran pajak berganda yang optimal. Meskipun masih ada ruang untuk perbaikan, jelas dari keuntungan-keuntungan yang ada bahwa menggunakan metode penyelesaian sengketa alternatif sering kali lebih disukai. Dengan demikian, MAP menawarkan solusi yang lebih efisien dan efektif dalam menangani sengketa perpajakan internasional, memberikan manfaat yang signifikan bagi wajib pajak dan otoritas pajak di negara-negara yang terlibat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun