Kritik terhadap MAP muncul karena beberapa alasan:
Â
Ada kekhawatiran bahwa MAP tidak selalu efektif dalam menyelesaikan sengketa perpajakan secara adil dan cepat. Proses MAP dapat memakan waktu lama dan biaya yang besar, yang dapat menghambat subjek pajak dalam menyelesaikan masalah perpajakan mereka. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa MAP dapat dijadikan sebagai alat untuk menghindari pajak, bukan untuk menyelesaikan sengketa perpajakan secara adil.
Ada kekhawatiran bahwa MAP tidak selalu memperhatikan kepentingan negara berkembang. Dalam beberapa kasus, negara maju dapat memiliki posisi yang lebih kuat dalam negosiasi MAP, yang dapat mengakibatkan keputusan yang tidak adil bagi negara berkembang. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam penerapan P3B dan MAP.
- Ada kekhawatiran bahwa MAP tidak selalu transparan. Proses MAP dapat dianggap rumit dan tidak transparan, yang dapat membuat subjek pajak sulit untuk memahami bagaimana keputusan diambil. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan yang rendah terhadap proses MAP dan P3B secara keseluruhan. Â
Kesimpulan
MAP adalah alternatif yang efektif untuk menyelesaikan masalah perpajakan internasional, terutama yang melibatkan penetapan harga transfer. Struktur dan prosedur regulasi, khususnya di Indonesia, telah ditingkatkan untuk lebih mempromosikan resolusi yang dapat diterima bersama dan penghindaran pajak berganda yang optimal. Meskipun masih ada ruang untuk perbaikan, jelas dari keuntungan-keuntungan yang ada bahwa menggunakan metode penyelesaian sengketa alternatif sering kali lebih disukai. Dengan demikian, MAP menawarkan solusi yang lebih efisien dan efektif dalam menangani sengketa perpajakan internasional, memberikan manfaat yang signifikan bagi wajib pajak dan otoritas pajak di negara-negara yang terlibat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H