Mohon tunggu...
Ahmad Benny
Ahmad Benny Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru dan Pujangga bebas

Single, pujangga bebas, penikmat kopi, dan penggemar sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Runtuh Sunyi Gamelan Nyai Bandinah

8 Januari 2019   16:35 Diperbarui: 8 Januari 2019   16:54 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lelaki itu merasa dirinya terlalu cepat menjadi tua. Rambutnya yang memutih senantiasa kulit mengkeriput lalu terlihat ompong.  Seorang penabuh gamelan yang merasa tua, entah karena zaman yang semakin menua ataukah pengabdi seni yang mulai menghilang ditelan zaman. Hikmat cerita sepasang sejoli yang diujung tanduk. Luka sepenggal kata yang tergores disetiap keduanya. Cinta hanya sebuah persinggahan dalam garis kehidupan.  Benih-benih cinta seorang lelaki dibatas usia muda yang mendambakan seorang gadis berparas jelita yang tak sanggup diutarakannnya.

Di awali kata sapa "hei...." kepada gadis jelita yang terpana merona. Seorang pemuda dibatas usia muda,  mencoba menancapkan panah cupid [1] yang baru saja ia curi kepada sang gadis di hadapan, tanpa busur dan langsung tertancap ke sukma. Sambil dihidupkannya sebatang rokok  dan kemudian dihembuskannya, wusss.... sekali lagi bunyinya dan asap pun mengepul menyebar tak karuan arah, begitulah kiranya perasaan yang dideranya.  

Cupid pun terhenyak membisu lalu berkata "busurku adalah keputusan tajam untuk memilah rasa, dan kini tlah dicuri.... aku takkan bertanggung jawab atas akibatnya!!!". Rupanya kekesalan pun tampak di raut wajah sang malaikat cinta, dan berubah merah berapi karena kesal lalu pergi menghilang meningalkannya.

Titik  waktu menjelma, masa dimana seorang pemuda berhasil melemahkan benteng rasa cinta terhadap lawan jenis. Pemuda yang sudah mendekati batas umur seorang pemuda yang menginginkan mempersunting gadis yang terpaut jauh dari umurnya. Lelaki itu bernama Ki Hadi yang bersama angan terbang ke pelosok sebagai penabuh gamelan yang disebut Nayaga [2]. Istrinya bernama Nyai Bandinah, seorang Pesinden [3] utama yang berhasil dipersunting.

Nyai Bandinah pernah dalam sebuah lakon pentas wayang mengatakan pada suaminya, ia terlalu tua untuk menjadi seorang Nayaga kembali, dengan kulit yang semakin menua dan rambut yang semakin memutih. 20 tahun sudah Ki Hadi dan Nyai Bandinah menjalin hubungan rumah tangga, dengan tanpa dikaruniai seorang anak. Begitulah Nyai Bandinah yang tetap setia menemani Ki Hadi  sebagai seorang istri yang setia.

Burung perkutut di teras rumah yang terkurung dalam kandang bernyanyi seolah-olah tak ada permasalahan yang mengganggu. Angin bertiup lirih bersenandung, menggoyangkan rimbun pohon dan menerbangkan dedaunan.  Pagi itu hening sunyi khas suasana rumah di pedesaan. Dengan tenang Ki Hadi duduk di teras rumah sembari memanggil istrinya untuk menemaninya menikmati pagi, sambil mengepalkan tangan dan mulai terlihat urat-urat kecil ditangan yang menegang dengan kulit  keriput. Kepada Istrinya Ki Hadi berseloroh "nduk, istriku... pekerjaan ini sungguh mulia namun melelahkan. Aku sangat lelah dan ingin sekali aku ber-istirahat" ucap Ki Hadi, sambil merenggangkan tubuhnya ke-kanan dan ke-kiri.

"Istriku, teringat dulu pada saat pertama kali kita bertemu di pagelaran wayang, kita masih hijau pada saat berkenalan lalu bertatap wajah dan pada saat itu pula aku masih terlihat muda dan engkau pun masi ranum seperti bunga mawar yang baru merekah indah" ucap Ki Hadi.

"Ada apa toh Mas, Kok tumben sekali Kangmas mengingat kembali masa-masa itu??"  tanya Nyai Bandinah dengan serius.

Nyai Bandinah sembari memperhatikan tubuh suaminya gemetar seolah menggigil, dari tadi ia memperhatikan suaminya dengan penuh cemas.

Ki Hadi lalu memeluk istrinya dengan rapat lalu mencium keningnya dan membelai rambutnya dengan mesra, lalu berkata "nduk, istriku... baiknya kita memikirkan kemungkinan terburuk..."

"Ada apa toh mas?" tanya Si Nyai dengan penuh keheranan.

"T'lah lama aku igin mengutarakan hal ini kepadamu, wahai istriku" ucap Ki Hadi.

"Baiklah mas, katakanlah apa yang seharusnya ingin engkau katakan, aku akan mendengarkan nya, sebab itulah bentuk bakti istri kepada suami" sergah Nyai.

"Sejujurnya aku menginginkan keturunan, sebab kita tlah lama menjalin kisah dan kasih percintaan, dan aku ingin kau mengerti". Ucap Ki Hadi.

Tubuhnya perlahan gemetar, linu lirih seperti kesemutan menjalar disekujur tubuhnya, kini Nyai Bandinah merasakan getaran yang amat terasa hebat. Getar disekujur tubuh tatkala berusaha menahan gempuran airmata yang melabrak kelopak matanya.

"Mas, apakah engkau menyesal menikahiku?" tanya Nyai kepada suaminya.

"Nduk, istriku yang ku cinta, sesunggunhnya aku tiada menyesali untuk memilihmu sebagai pasangan ku, namun aku sungguh menginginkan keturunan untuk melanjutkan garis hidup keluarga kita kelak." Ucap Ki Hadi.

Seketika rumah itu terasa panas, entah karena suasana kaget yang diterima ataupun sebab lain hawa panas kekesalan bercampur kesedihan.

Bila Nyai perasaan Nyai menjadi kalut, itu bukan karena ucapan Ki Hadi yang menginginkan keturunan, tapi karena perasaan yang tak mungkin mampu dilaksanankannya.

"Ini menyulitkan, tapi aku hanya mampu berhenti pada keinginan saja, takkan sanggup aku untuk mengutarakannya" ucap Nyai Bandinah dengan terbata-bata.

Sejenak Ki Hadi perlahan berdiri lalu berjalan ke arah jendela. Tubuhnya kaku tak bergerak lalu terduduk terpaku matanya mnengadah ke langit rumah yang penuh dengan kelatu bergantungan.

Daun berguguran angin menderai masuk ke selasar rumah hingga merangsek  bertaburan, disusul bunga ilalang yang seolah tak ingin terlupa.

Langit tak sebenderang ketika engkau datang memanggil, burung-burung berteriak bersautan tak seindah biasanya seolah menyadari bahwa hari tak lagi sama.

Siang mulai rubuh, ketika waktu yang pucat terpaku dipecah teriakan, seruan, jeritan tangis dari sang Nyai, nafasnya memburu, air mata yang tak lagi terbendung, lalu ia menjerit sejadi-jadinya melihat keadaan suaminya yang menjadi kaku dengan mata tertutup memejam pasrah.

***benny

 -20 november 2018-

 [1] dewa cinta Romawi. Sebutan lainnya bagi dewa ini adalah Amor. Sebagai Amor, ia digambarkan sebagai anak kecil bersayap yang nakal, serta membawa busur dan panah, yang dapat membuat manusia maupun dewa jatuh cinta. [2] Nayaga : sekumpulan orang yang memiliki keterampilan khusus menabuh gamelan, terutama dalam mengiringi Dalang dalam pementasan wayang.  [3] Pesinden : wanita yang bernyanyi mengiringi gamelan.  

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun