"T'lah lama aku igin mengutarakan hal ini kepadamu, wahai istriku" ucap Ki Hadi.
"Baiklah mas, katakanlah apa yang seharusnya ingin engkau katakan, aku akan mendengarkan nya, sebab itulah bentuk bakti istri kepada suami" sergah Nyai.
"Sejujurnya aku menginginkan keturunan, sebab kita tlah lama menjalin kisah dan kasih percintaan, dan aku ingin kau mengerti". Ucap Ki Hadi.
Tubuhnya perlahan gemetar, linu lirih seperti kesemutan menjalar disekujur tubuhnya, kini Nyai Bandinah merasakan getaran yang amat terasa hebat. Getar disekujur tubuh tatkala berusaha menahan gempuran airmata yang melabrak kelopak matanya.
"Mas, apakah engkau menyesal menikahiku?" tanya Nyai kepada suaminya.
"Nduk, istriku yang ku cinta, sesunggunhnya aku tiada menyesali untuk memilihmu sebagai pasangan ku, namun aku sungguh menginginkan keturunan untuk melanjutkan garis hidup keluarga kita kelak." Ucap Ki Hadi.
Seketika rumah itu terasa panas, entah karena suasana kaget yang diterima ataupun sebab lain hawa panas kekesalan bercampur kesedihan.
Bila Nyai perasaan Nyai menjadi kalut, itu bukan karena ucapan Ki Hadi yang menginginkan keturunan, tapi karena perasaan yang tak mungkin mampu dilaksanankannya.
"Ini menyulitkan, tapi aku hanya mampu berhenti pada keinginan saja, takkan sanggup aku untuk mengutarakannya" ucap Nyai Bandinah dengan terbata-bata.
Sejenak Ki Hadi perlahan berdiri lalu berjalan ke arah jendela. Tubuhnya kaku tak bergerak lalu terduduk terpaku matanya mnengadah ke langit rumah yang penuh dengan kelatu bergantungan.
Daun berguguran angin menderai masuk ke selasar rumah hingga merangsek  bertaburan, disusul bunga ilalang yang seolah tak ingin terlupa.