tok.. tok.. tok...
"Lisa!"
"Iya tungu!" berlari kecil menuju pintu
Aku kira yang datang Kevin, ternyata Gilsa. Aku bertemu dengan dia pertama kali waktu SMP. Teman nongkrong yang sampai saat ini masih setia menemani. Gilsa orangnya pendiam sangat tertutup tapi sangat cerdas. Setiap aku tanya sesuatu yang sedang viral dia selalu bisa menjawabnya bersamaan dengan bukti yang dia bisa tunjukkan. Suatu malam aku pernah tidak sengaja bertemu dengannya di hotel bilangan Darmawangsa bersama laki-laki yang aku pikir itu bapaknya.Â
Untung saja dia tidak melihatku karena waktu itu aku menuju rumah menggunakan taksi. Entah apa yang aku pikirkan saat itu. Aku yang sudah berteman bertahun-tahun, baru malam itu melihatnya berpakaian yang nyaris telanjang. Aku tetap berpikir positif sampai suatu ketika aku melihat dus kondom yang tersimpan di dalam tas kecilnya.
Aku harap apa yang aku pikirkan tentang Gilsa tidak tepat. Tidak mungkin dia menjual dirinya semudah itu. Dia bertubuh sintal, tinggi, dan berkulit putih. Rasanya tak mungkinlah dia melakukan hal itu. Lagi pula dia juga punya pacar. Pacarnya lumayan tampan dan juga mapan tapi berbahaya. Alvin pacar Gilsa pernah mengajakku untuk ikut jalan-jalan ke Makasar tapi Gilsa tidak boleh sampai tau. Aku langsung tolak ajakkan itu saat itu juga. Memangnya aku cewek macam apa dia coba-coba memainkan sahabatku sendiri.Â
Gila betul memang si Alvin, tak hanya sekali dua kali dia mencoba untuk mengajakku pergi berdua tapi hampir setiap minggu dia mengajakku untuk pergi berdua. Aku tak pernah menceritakan soal ini ke Kevin, aku takut dia akan merasa tidak tenang yang penting aku tidak macem-macem, aku bisa menjaga diriku sendiri dengan baik.
Alvin bukan satu-satunya orang yang pernah mengajakku untuk jalan berdua atau bahasa kerennya itu berkencan. Sebelumnya, atasanku di kantor juga beberapa kali merayuku untuk dinikahinya tapi dia tidak pernah berani kalau aku ajak bicara langsung ke keluarga besarku.Â
Ada lagi si Dito teman kantorku, dia genit dan aku membencinya kadang ia pura-pura memberikan sesuatu untukku padahal dia ingin menggenggam tanganku. Dasar laki-laki modus. Entah kenapa laki-laki terlalu mudah untuk menebar janji bahkan tak pikir-pikir untuk mengeluarkan uang banyak hanya untuk mengajakku kencan. Aku tidak paham jalan pikir laki-laki karena selama tidak ada yang seperti Kevin aku rasa tidak ada yang bisa merebut cintaku walau separuh.
Aku baru saja mendapat telpon dari Gilsa, kalau dia ingin dijemput. Kebetulan hari ini aku bisa pulang agak cepat yang biasanya aku pulang kerja pukul 20.00, sekarang bisa 18.30. Mungkin senang sekali ya rasanya kalau waktu kerjaku bisa sesuai dengan yang tertulis dikontrak kerja, yaitu delapan jam sehari libur dua hari. "Walah dalah, aku kerja nyaris seperti satpam kantor dua belas jam" Gilsa baru saja mengirimkan lokasinya lewat chat whatsapp, aku bergegas langsung menjemput Gilsa.
"Lhooo, ini kok apartemen ya ternyata"