Mohon tunggu...
Ahmad Aprizal
Ahmad Aprizal Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilkada Serentak

13 September 2016   21:58 Diperbarui: 29 September 2016   19:23 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pilkada serentak tahun 2015 sempat membuat polemik karena di beberapa wilayah hanya terdapat satu pasang calon kepala daerah, atau calon tunggal. Namun Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk memperbolehkan pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal. Mahkamah Konstitusi beralasan, jika pilkada ditunda karena kurangnya calon, maka akan menghapus hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Mahkamah juga menilai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang pilkada juga tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat-syarat calon tidak terpenuhi.

Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal, surat suara akan dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu pasangan calon kepala daerah, dengan pilihan "Setuju" atau "Tidak Setuju" dibagian bawahnya. Apabila pilihan "Setuju" memperoleh suara terbanyak, maka calon tunggal ditetapkan sebagai kepala daerah yang sah. Namun jika pilihan "Tidak Setuju" memperoleh suara terbayak, maka pemilihan ditunda hingga pilkada selanjutnya.

Berbagai analis menyatakan bahwa pilkada serentak memiliki manfaat, diantaranya:

  • Efisiensi anggaran
  • Efektivitas lembaga pemilihan umum
  • Sarana menggerakkan kader partai politik secara luas dan gencar.
  • Mencegah kutu loncat (gagal di satu wilayah, menyeberang ke wilayah lain) seperti Rieke Dyah Pitaloka (gagal di Jakarta dan Jawa Barat, jadi bakal calon di Depok)dan Andre Taulany (gagal di Tangerang Selatan, jadi bakal calon di Depok)
  • Perencanaan pembangunan lebih sinergi antara pemerintah DATI II, DATI I, dan pemerintah pusat

Bahaya Pilkada Serentak

Pelaksanaan pilkada serentak alternatif pertama (Pilkada Serentak 2015 dan Pilkada Serentak 2017) memang bisa menghemat biaya Rp 15–20 triliun dalam kurun limatahun. Sebuah penghematan sangat signifikan dari anggaran pelaksanaan pilkada yang selama ini dibebankan kepada APBD. Penghematan itu terjadi karena penyederhanaanmomen pilkada (dari pilkada gubernur dan pilkada bupati/walikota dijadikan dalam satupilkada), karena ongkos membayar petugas pemilu yang menelan sampai 65% anggaran pilkada yang selama ini dihitung berdasarkan momen pemilu, bukan volume pemilu.

Namun pelaksanaan Pilkada Serentak 2015 dan Pilkada Serentak 2017 tersebut tidak menghitung potensi kekerasan dan kerusuhan yang diakibatkan dari pengaturan waktu pelaksanaan pilkada seperti itu. Sebagaimana dicatat oleh Kemendagri, sejak pilkada diselenggarakan pertama kali pada 5 Juni 2005 hingga kini, terjadi 25 kerusuhan di 10 provinsi. 

Pilkada juga telah menyebabkan terjadinya aksi kekerasan yang menewaskan 59 orang dan mencederai 230 orang. Kekerasan dan kerusuhan pilkada telah merusak 279 rumah tinggal, 30 kantor pemerintah daerah, 10 kantor KPU daerah, dll.Potensi kekerasan dan kerusuhan dalam Pilkada Serentak 2015 dan Pilkada Serentak 2017 sesungguhnya lebih besar daripada potensi pilkada yang diselenggarakan berserakan waktunya. 

Hal itu terjadi karena potensi konflik antara pasangan calon bersama pendukungnya tidak diimbangi oleh kekuatan aparat keamanan.Ketegangan dan potensi konflik antar pendukung pasangan calon dalam dua pilkadaserentak sangat tinggi, karena masing-masing memperebutkan satu kursi. Pasangan calon akan melakukan apa saja demi meraih kursi tersebut, dengan memanfaatkan isuagama, etnis, klan, kedaerahan dan uang. Memang dalam dua pilkada serantak tersebut, terdapat dua kursi yang diperebutkan (kursi gubernur dan bupati/walikota).

Tetapi karena tidak terjadi koalisi pendukung pasangan calon yang sama antara pilkada gubernur dan pilkada kabupaten/kota, maka masing-masing pasangan calon dan pendukungnya cenderung mengerucut untuk berebut satu kursi.Celakanya, pada situasi seperti itu, aparat keamanan tidak memiliki kekuatan yangcukup untuk mengantisipasinya. Dalam pilkada yang berserakan waktunya, kekurangan aparat keamanan di daerah yang sedang melaksanakan pilkada, bisa dibantu dari daerah lain yang tidak melaksanakan pilkada. 

Sedangkan dalam dua pilkada serentak, semua aparat keamanan sepenuhnya konsentrasi di masing-masing daerah, yang secara rasio jumlahnya tidak sebanding dengan ketegangan dan potensi konflik. Pada titik inilah pengaturan dua pilkada serentak bisa menjadi blunder, menciptakan kekerasan dan kerusuhan yang lebih besar, sehingga penghematan biaya jadi tidak ada artinya.Dua pilkada serentak juga menimbulkan kebingungan pemilih yang luar biasa, sehingga bisa meningkatkan potensi kekerasan dan kerusuhan. 

Pemilih bingung karena koalisi partai politik pendukung pasangan calon tidak jelas. Misalanya, pada pemilihan gubernur Partai A dan Partai B, berkoalisi dengan Partai C dan Partai D untuk mengusung pacangan calon gubernur, tetapi pada pemilihan bupati/walikota Partai A berkoalisi dengan Partai C dan Partai E, sehingga pendukung Partai A dan partai-partai lainnya dibingungkan oleh pilihan politik partainya. 

Partai politik tidak menyadari,bahwa ini merupakan benih-benih ketidak percayaan pendukung kepada partai politik.Anehnya, partai politik justru membenarkan kebingungan tersebut dengan dalih bahwa pemilihan pejabat eksekutif memang tidak harus sama dengan pemilihan anggota legislatif. Itu artinya, partai politik dengan sengaja memisahkan hasil pemilu eksekutifdengan pemilu legislatif, sehingga menciptakan pemerintahan yang tidak kongruen: pejabat eksekutif tidak berasal dari partai yang menguasai kursi legislatif. Di sinilah sumber bencana itu: pemerintahan tidak efektif, politik transaksional, dan korupsi.

Efektivitas Horisontal dan Vertikal

Soal efektivitas pemerintahan di negeri ini sesungguhnya meliputi dua dimensi. Pertama, masalah horisontal. Di sini, presiden, gubernur dan bupati/walikota, tidakmendapat dukungan DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, karena presiden,gubernur dan bupati/walikota bukan berasal dari partai politik atau koalisi partai politik yang menguasai kursi DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Jika pun ada koalisi pendukung sifatnya sangat lemah karena proses berkoalisi sangat pendek

sehingga tidak menghasilkan kesamaan “ideologi”, atau setidaknya kesamaan platform politik.Kedua, masalah vertikal. Di sini, antara presiden, gubernur dan bupati/walikota tidak berasal dari partai politik atau koalisi partai politik yang sama, sehingga kebijakan Presiden sering tidak nyambung dengan kebijakan gubernur dan bupati/walikota, dankebijakan gubernur tidak sejalan dengan kebijakan bupati/walikota. Padahal Indonesia menganut negara kesatuan, bukan federal. 

Dalam situasi seperti ini, garis-garis hirarki dan koordinasi pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah tidak berjalan baik,sehingga pemerintahan tidak efektif. Hal itu tidak hanya menciptakan pemborosan anggaran tetapi juga membuka peluang penyalahgunaan anggaran.Masalah efektivitas pemerintahan secara horisontal dan vertikal itulah yang mestinya jadi isu utama pembahasan RUU Pilkada, sehingga pilkada menghasilkan pemerintahan efektif. 

Sebab, apalah artinya demokrasi, apalah artinya pemilu bebas, jika gagal menghasilkalkan pemerintahan efektif, jika hanya menghasilkan pemerintahah korup? Disinilah rekayasa pemilu melaui pengaturan waktu pelaksanaan bisa dimaksimalkan,dengan pertanyaan sederhana: bagaimana mengatur jadwal pemilu agar berpotensibesar menghasilkan pemerintahan yang kongruen? Itu artinya pengaturan pilkada tidakbisa dilepaskan dengan pengautran pemilu legisaltif dan pemilu presiden. Jadi, yang kita butuhkan bukan sekadar pilkada serentak, tapi pemilu serentak.

Pemilu Legislatif dan Eksekutif

Secara akademis, konsep pemilu serentak hanya berlaku dalam sistem pemerintahan presidensial. Inti konsep itu adalah menggabungkan pelaksanaan pemilu legislatif danpemilu eksekutif dalam satu hari H pemilihan. Tujuannya untuk menciptakan pemerintahan hasil pemilu yang kongruen. 

Maksudnya, terpilihnya pejabat eksekutif yang mendapatkan dukungan legislatif sehingga pemerintahan stabil dan efektif.Dalam sistem pemerintahan parlementer, tidak perlu pemilu serentak, karena sekali pemilu, sudah memilih anggota legislatif sekaligus pejabat eksekutif. Sebab, partai politik atau koalisi partai politik yang menang pemilu atau menguasai mayoritas kursi parlemen, berhak menunjuk perdana menteri beserta pejabat eksekutif lainnya.

Meskipun sistem pemerintahan presidensial menerapkan periode kekuasaan pasti (fixsystem), dan sistem pemerintahan parlementer sewaktu-waktu bisa bubar akibat eksekutif tidak lagi mendapat dukungan parlemen, namun sejarah menunjukkan justru sistem pemerintahan parlementer lebih stabil dan efektif daripada sistem pemerintahan presidensial. Sebabnya jelas, eksekutif mendapat dukungan legislatif.Stabilitas dan efektivitas pemerintahan pascapemilu inilah yang menjadi dasarpelaksanaan pemilu serentak (Mark Pyane dkk, 2002). 

Konsep dan desain ini lahir berdasarkan pengalaman negara-negara Amerika Latin yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, tetapi justru pemerintahan tidak stabil akibat pertikaian antara presiden terpilih dengan parlemen yang mayoritas anggotanya tidak berasal daripartai presiden atau partai koalisi pendukung presiden.Pemilu serentak mulai diterapkan di Brasil sejak awal 1994 dan berhasil menstabilkan dan mengefektifkan pemerintahan, sehingga dalam kurun 15 tahun kemudian, Brasil menjadi kekuatan ekonomi dunia. 

Sukses Brasil kemudian diiukuti oleh negara-negaralain di kawasan itu, sehingga pemilu serentak berhasil mematahkan tesis ScotMainwaring (1993), bahwa sistem pemerintahan presidensial tidak kompatibel dengan sistem multipartai dengan pemilu proporsionalnya.Mengapa pemilu serentak yang menggabungkan pemilu legislatif dan pemilu eksekutif berhasil menciptakan legislatif dan eksekutif yang kongruen? Shugart (1996) bilang,pemilu serentak menimbulkan coattail effect, di mana keterpilihan calon presiden akan mempengaruhi keterpilihan calon anggota legislatif. Maksudnya, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.

Pemilu Nasional dan Daerah

Pertanyaannya adalah pemilu serentak seperti apa yang dapat memenuhi kebutuhan pemerintahan efektif dalam konteks NKRI? Dalam pembahasan RUU Pilkada, DPR danpemerintah mengajukan alternatif Pemilu Serentak 2019. Itu artinya pemilu serentakakan dilaksanakan dalam waktu (kurang lebih bersamaan) dengan pemilu legisaltif danpemilu presiden. 

Dalam hal ini ada dua kemungkinan: pertama, pilkada dibarengkan waktu pelaksanaanya dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden; kedua, pilkada serentak dilakukan setelah pemilu legisaltif dan pemilu presiden, pada tahun yang sama.Jika pilihan pertama dilakukan, maka pemilih akan menghadapi problem besar dalam memberikan suara karena begitu banyak calon anggota legisaltif dan calon pejabat eksekutif yang harus dipilih. Dalam pemilihan seperti ini, pengaruh pemilihan pejabatnasional bisa merusak pemilihan pejabat daerah, sehingga pemilih tidak bisa memilihsecara tepat pejabat daerah yang dibutuhkannya. 

Pemilu total nasional ini juga akan menyulitkan KPU dan jajarannya karena begitu besar dan berat beban manajemen yang harus ditanggung. Bagi partai politik, pemilu total nasional juga menghadapi problem tersendiri karena mereka super sibuk untuk harus menyiapkan sekian ratus ribu calon,sehingga proses seleksi calon tidak maksimal.Sementara itu, jika pilihan kedua yang dilakukan (pemilu legislatif, pemilu presiden, lalu pilkada serentak) sudah pasti pemilih akan mengalami kejenuhan, sehingga angka partisipasi pemilih pada pilkada turun drastis. Dalam model penyelenggaraan seperti ini pemilu presiden bisa mempengaruhi pilkada serentak, tetapi akan menghasilkan kebingungan pemilih, karena pasangan calon kepala daerah tidak diajukan oleh partai-partai yang mengajukan pasangan calon presiden. Di sisi lain, partai tidak didorong untuk meningkatkan kinerjanya sepanjang tahun, karena mereka baru menemui pemili hsetiap lima tahun sekali menjelang pemilu. Pola kerja partai politik yang demikian tidak akan pernah mendewasakan partai sebagai kekuatan demokrasi.Memperhatikan dampak buruk pemilu total nasional dan pemilu berurutan (legislatif,presiden dan pilkada), maka penjadwalan pemilu yang paling tepat untuk memenuhi kebutuhan demokrasi politik NKRI adalah pemilu nasional dan pemilu daerah. 

Pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD serta presiden dan wakil presiden, dalam waktu bersamaan; sedangkan pemilu daerah adalah pemilu untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten kota, serta gubernur dan wakil gubernur, dan bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikota.

Berikut beberapa kelebihan pemilu nasional dan pemilu daerah dibandingkan dengan model pemilu serentak lainnya.Pertama, keterpilihan presiden dalam pemilu nasional akan mempengaruhi hasil pemilu legislatif, sehingga hasil pemilu mempunyai kecenderungan besar pasangan calon presiden terpilih akan diikuti oleh penguasaan kursi legislatif. Dengan demikian terciptapemerintahan yang konruen, sehingga pemerintahan nasional pun efektif.Kedua, koalisi partai politik yang mendukung pasangan calon presiden terpilih,cenderung mempertahankan koalisinya untuk berlaga dalam pemilu daerah. 

Akibatnya, jika kinerja pemerintahan nasional bagus, maka pemerintahan daerah akan dipimpin oleh pasangan calon yang didukung oleh kolaisi partai politik yang mengusai pemerintahan nasional. Dengan demikian kebijakan pemerintah nasional bisa berjalan ditingkat daerah, garis hirarki dan koordinasi pemerintahan berjalan mulus.Ketiga, pemilu nasional dan pemilu daerah memungkin pemilih untuk bersikap rasional.

Hal ini terjadi, di satu pihak karena jumlah calon sedikit sehingga pemilih bias menimbang dengan matang calon yang akan diplihnya; di lain pihak, juga disebabkan oleh koalisi partai yang jelas dan konsisten. Pemilu nasional dan pemilu daerah juga mendorong partai politik untuk terus meningkatkan kinerjanya karena partai politik harus menghadapi ujian pemili dua kali dalam lima tahun. Pemilu nasional dan pemilu daerah secara manajemen juga lebih mudah dikelola oleh KPU dan penyelenggara.

Pilkada Serentak Langkah Antara

Dengan tetap berpegang pada pencapaian tujuan meningkatkan efektivitas pemerintahan nasional, provinsi maupun kabupaten/kota, dan dengan memperhatikan dampak buruk dari beberap model pengaturan jadwal pemilu, maka penyederhanaan waktu penyelenggaraan pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu daerah menjadi keharusan. 

Oleh karena itu, pembahasan RUU Pilkada harus mengarahkan jadwal pengaturan pilkada harus menuju jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.Jika demikian maka Pilkada 2015 bisa diundur pada Pilkada Serentak 2016, lalu pilkada-pilkada yang terjadi pada 2017 dan 2019 calon terpilihnya diikat dengan ketentuan bahwa masa jabatannya akan berakhir pada 2021, sehingga tahun itu sudah bisa diselenggarakan pemilu daerah: memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dan gubernur serta bupati/walikota. Selanjutnya pada pada 2019 bisadiselenggarakan pemilu nasional untuk memilih DPR, DPD dan presiden. Pada pemilu kali ini tidak perlu memilih anggota DPRD provinsi dan kabupaten/kota karena pemilihan mereka diundur pada 2021.Yang sering jadi pertanyaan adalah bagaimana mengisi jabatan kepala daerah yang kosong selama satu tahun di ratusan daerah karena Pilkada 2015 diundur ke Pilkada Serentak 2016? Win-win solution: angkat semua sekda menjadi pejabat sementara .

 

 

 

Referensi

 

Ali,Ariffudin.2012.Pilkada Serentak.From https://arifuddinali.blogspot.co.id/2012/08/pilkada-serentak.html#.V9gOmflEnDc 

 

Arkanudin,Ari.2014.KONSENTRASI STUDI POLITIK DAN PEMERINTAHAN DALAM ISLAM PROGAM MAGISTER HUKUM ISLAM
             UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA. From http://laliumah.blogspot.co.id/2014/05/contoh-proposal-tesis-tentang-sistem.html

 

Didik Supriyanto.2015.Pilkada Serentak Menuju Pemilu Serentak.From http://www.academia.edu/5587451/PILKADA_SERENTAK_MENUJU_PEMILU_SERENTAK_Oleh_Didik_Supriyanto_Ketua_Perludem

 

Wikipedia.2016.Pilkada Serentak.From https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia

 

Wiratraman,R.Herlambang Perdana.2008.Pemilihan Umum.From https://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/herlambang-sistem-pemilu.pdf

 

 

Nama            :  Ahmad Aprizal

NIM               : 07041281621073

Pembina      : Nur Aslamiah Supli,BIAM,M.Sc

Jurusan       : Ilmu Hubungan Internasional

Kelas            : A

Kampus      : Universitas Sriwijaya (Indralaya)

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun