"Bangun, Gani."
Suara itu semakin mendesak, seperti teriakan seseorang yang putus asa. Gani merasakan sesuatu mengalir di dadanya, bukan lagi sekadar sakit, tapi kesedihan yang mendalam. Sesuatu yang pernah hilang darinya, namun apa?
Di saat ia mulai menelusuri ingatannya, tiba-tiba ia melihat motor itu lagi. Kali ini tidak melintas di jalan, melainkan di depannya, dalam ruangan klub yang gelap gulita. Motor hitam itu berhenti, dan rasa sakit di dadanya semakin tak tertahankan.
Gani mencoba mendekat, namun tubuhnya terasa kaku. Dan tepat ketika ia hampir menyentuh motor itu, suara itu kembali, kali ini terdengar di seluruh tubuhnya, menggema seperti petir.
"Bangun, Gani!"
Gani terperanjat. Seketika dunia di sekitarnya runtuh. Kegelapan itu mulai pudar, berganti dengan cahaya putih yang menyilaukan. Kakinya terasa berat, tubuhnya seakan ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Ia mencoba berteriak, namun suara tertahan di tenggorokannya.
Dan tiba-tiba, Gani melihat bayangan seorang wanita di tengah cahaya itu. Suaranya lirih namun penuh harap. Wanita itu, dengan suara yang kini terasa begitu akrab, mendekatinya. Mata Gani terbuka lebar. Ia tahu siapa wanita itu.
"Vanya..."
Di sebuah kamar rumah sakit yang hening, Vanya duduk di sisi ranjang suaminya. Air matanya telah kering, namun hatinya masih dipenuhi harapan. Tangan Gani yang terbaring koma digenggamnya erat.
"Bangun, sayang. Aku di sini, tolong bangun..."
Sudah seminggu sejak kecelakaan motor yang hampir merenggut nyawa Gani. Vanya tak pernah pergi dari sisinya. Dokter mengatakan Gani masih koma, namun Vanya tahu suaminya sedang berjuang di dalam sana, terjebak di antara kehidupan dan kematian.