"Kau takut menghadapi mereka, bukan?" lanjut bayangan itu. "Takut jika kau mengutarakan isi hatimu, mereka akan menertawakanmu lebih keras. Kau takut mengambil risiko, karena kau tak ingin gagal lebih dalam."
Raka mengepalkan tangannya. "Itu tidak benar!" serunya, tapi suaranya terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh ketakutan yang ia sembunyikan.
"Benarkah?" tanya bayangan itu dengan nada menantang. "Kenapa setiap kali kau dihina, kau hanya diam?"
Raka tak menjawab. Kata-kata itu menghujam tepat di pusat keraguannya, menggali luka-luka yang selama ini ia tutupi dengan topeng kebisuan. Ia selalu merasa dunia tidak adil, namun ia tak pernah berani melawan. Ia takut. Takut ditolak, takut dihakimi, takut gagal.
"Kebenarannya," kata bayangan itu lagi, "bukan tentang bagaimana mereka memperlakukanmu. Tapi tentang bagaimana kau memperlakukan dirimu sendiri."
Raka memandang bayangannya dengan tatapan kosong. Untuk pertama kalinya, ia merasa seolah seluruh beban yang ia rasakan bukan hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam dirinya. Ia yang selama ini mengunci diri dalam rasa takut, membiarkan cemoohan itu menenggelamkannya lebih dalam. Ia yang terus menerus merendahkan dirinya sendiri, seolah-olah ia memang pantas mendapatkan semua penderitaan itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" suaranya lirih, hampir patah.
Bayangan itu terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hadapi dirimu. Terimalah bahwa kau punya kelemahan, dan itu bukanlah akhir. Keberanian bukan berarti tak memiliki rasa takut, tapi memilih untuk tetap melangkah meski kau takut."
Raka duduk diam, merenungi kata-kata bayangan itu.
Keesokan harinya, di sekolah, terjadi kehebohan. Murid-murid berlarian. Semua ketakutan ketika melihat bayangan Raka setinggi raksasa!
TAMAT