Malam turun dengan sunyi di rumah tua yang berada di tepi kota. Angin mendesir pelan di luar jendela, membuat tirai-tirai tipis menari dalam keheningan. Di kamar sempitnya, Raka berbaring sambil menatap langit-langit, merasa seolah dunia telah meninggalkannya. Ia baru saja pulang dari sekolah, dan hari itu adalah hari yang sama seperti kemarin---penuh cemoohan dari teman-temannya, penuh ketidakberdayaan yang menyesakkan.
Raka merasa kecil, tak terlihat, dan itu membuatnya semakin terpuruk dalam kesendiriannya. Namun, malam itu, sesuatu yang tak biasa terjadi. Saat cahaya lampu kecil di sudut kamar memancarkan bayangannya ke dinding, ia melihat bayangan itu bergerak... dan berbicara!
"Kenapa kau selalu lari dari kenyataan?" suara itu rendah, namun jelas terdengar di tengah kesunyian malam.
Raka tersentak. Ia menatap ke arah dinding, tempat bayangannya tampak lebih besar dari biasanya, seolah hidup. "Siapa... siapa kau?"
"Aku adalah dirimu, bagian yang selalu kau abaikan," jawab bayangan itu, suaranya penuh ketenangan yang aneh.
Raka merasa bulu kuduknya meremang. Ia mengusap matanya, berpikir ini hanya mimpi buruk. Tapi bayangan itu tetap ada, menatapnya tanpa henti. "Apa yang kau inginkan dariku?" tanya Raka dengan suara yang nyaris berbisik.
Bayangan itu tertawa kecil, namun tawa itu terdengar pahit. "Bukan aku yang menginginkan sesuatu darimu. Kau yang menginginkan sesuatu dariku, tapi kau tak pernah mengakuinya."
Raka menggelengkan kepala, bingung. "Aku tak mengerti."
Bayangan itu bergerak, mendekat, meski tubuh Raka tetap tak berubah. "Kau menghindari kebenaran. Kau menghindari rasa takutmu. Kau menghindari semua yang ada dalam dirimu, seolah itu bukan masalahmu."
Raka mengalihkan pandangannya, menelan ludah dengan susah payah. Selama ini, ia berpikir bahwa yang terjadi padanya hanyalah akibat dari dunia di sekitarnya. Ia dijauhi teman-temannya karena mereka tak menyukainya. Ia tak pernah berhasil dalam apapun karena nasib buruk yang terus menghantuinya. Namun, suara bayangan itu kini memaksanya untuk memandang ke arah yang lain---ke dalam dirinya sendiri.
"Kau takut menghadapi mereka, bukan?" lanjut bayangan itu. "Takut jika kau mengutarakan isi hatimu, mereka akan menertawakanmu lebih keras. Kau takut mengambil risiko, karena kau tak ingin gagal lebih dalam."
Raka mengepalkan tangannya. "Itu tidak benar!" serunya, tapi suaranya terdengar lemah, nyaris tenggelam oleh ketakutan yang ia sembunyikan.
"Benarkah?" tanya bayangan itu dengan nada menantang. "Kenapa setiap kali kau dihina, kau hanya diam?"
Raka tak menjawab. Kata-kata itu menghujam tepat di pusat keraguannya, menggali luka-luka yang selama ini ia tutupi dengan topeng kebisuan. Ia selalu merasa dunia tidak adil, namun ia tak pernah berani melawan. Ia takut. Takut ditolak, takut dihakimi, takut gagal.
"Kebenarannya," kata bayangan itu lagi, "bukan tentang bagaimana mereka memperlakukanmu. Tapi tentang bagaimana kau memperlakukan dirimu sendiri."
Raka memandang bayangannya dengan tatapan kosong. Untuk pertama kalinya, ia merasa seolah seluruh beban yang ia rasakan bukan hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam dirinya. Ia yang selama ini mengunci diri dalam rasa takut, membiarkan cemoohan itu menenggelamkannya lebih dalam. Ia yang terus menerus merendahkan dirinya sendiri, seolah-olah ia memang pantas mendapatkan semua penderitaan itu.
"Apa yang harus aku lakukan?" suaranya lirih, hampir patah.
Bayangan itu terdiam sejenak sebelum menjawab, "Hadapi dirimu. Terimalah bahwa kau punya kelemahan, dan itu bukanlah akhir. Keberanian bukan berarti tak memiliki rasa takut, tapi memilih untuk tetap melangkah meski kau takut."
Raka duduk diam, merenungi kata-kata bayangan itu.
Keesokan harinya, di sekolah, terjadi kehebohan. Murid-murid berlarian. Semua ketakutan ketika melihat bayangan Raka setinggi raksasa!
TAMAT
"Bertemanlah dengan bayanganmu dan hidupmu akan lebih mudah." - Robert Jabert
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H