“Kau mau meracuni Bapak, ya?! Kalau saja Sumi tidak memberitahu Bapak tentang kelakuanmu itu, mungkin sekarang Bapak hanya tinggal nama…!!!” damprat Bapak dengan nada keras dan menyakitkan.
Aku hanya diam, sambil membayangkan wajah Sumi pembantu di rumah kami itu tertawa penuh kemenangan. Aku yakin bahwa dia amat senang saat ini, karena dia tahu Bapak akan menendangku keluar dari rumah.
Dan memang itulah yang terjadi. Tanpa banyak kata, aku pergi dari rumah terkutuk itu dengan hanya membawa karung sebagai tempat barang-barangku. Tanpa tangis, juga tanpa rengekan.
Sebagai dara tanggung kelas 1 SMP, harga diriku telah tinggi. Pantang bagiku meminta maaf atas sesuatu yang tidak aku lakukan. Tapi sebenci apapun pada Bapak, tak pernah terpikir olehku untuk membunuhnya. Jadi kuputuskan untuk pergi tanpa pembelaan diri, tak peduli meski saat itu malam telah larut. Aku hanya berpikir, biar kelak waktu yang menjelaskan semuanya. Termasuk kelicikan Sumi. Aku tak ada minat untuk berbuih kata menjelaskan semuanya.
Dan aku adalah anak terakhir, yang akhirnya diusir pula oleh Bapak.
*****
“Tolong angkat teleponnya, Nak, Bapak ingin ngobrol sebentar. Ini penting!”
Aku tercenung membaca pesan singkat di layar hape. Bapak ternyata tidak berubah. Tiada angin juga hujan, tiba-tiba beliau menghubungiku… dengan tanpa rasa bersalah sedikit pun!
Kupencet tombol delete lalu kuletakkan kembali hape di meja. Kebetulan aku lupa membawa membawanya saat ke kantor tadi.
Tak kurang ada enam puluh tiga panggilan tak terjawab serta lima pesan singkat yang menanti untuk kubaca. Semuanya dari Bapak. Berisi kerinduan beliau terhadap kami, anak-anak yang telah diusirnya dulu.
Bapak bilang sudah beberapa hari ini bermimpi tentang Mas Ari, Mbak Janti, dan aku. Bapak ingin sekali mengunjungi kami. Tapi karena istri mudanya tengah sakit keras, Bapak tidak tega meninggalkannya. Bapak ingin kamilah yang datang berkunjung. Fuihhh...! Siapa yang sudi datang ke sana?
Layar masa lalu itu tertutup dengan kedatangan suamiku. Wajahnya yang lelah namun selalu tampak adem muncul di hadapanku.
“Assalamu ’alaikum,” ucap cinta berpostur jangkung itu seperti biasa, lengkap dengan senyum anehnya yang entah mengapa terkesan agak patah itu. Selalu seperti itu dari dulu.
Kujawab salam dan kucium tangan cinta itu dengan takdzim. Dan setelah beberapa saat dia menghirup teh tawar hangat yang kuhidangkan, kuceritakan semua tentang Bapak.
Seperti biasa suamiku tak langsung menjawab. Ditatapnya aku lekat-lekat hingga rikuh, sebelum akhirnya kembali menyeruput teh hangat dengan gaya khas.
”Bukankah Allah Maha Pemaaf, Dek?”
“Iya, Kak, aku tahu. Tapi...” kata-kataku tersekat di tenggorokan, sadar bahwa tak pantas bagiku mempertahankan ego tentang luka masa lalu. Hanya saja aku merasa cuma manusia biasa, yang masih lagi baru memaknai semua kehidupan dengan cara yang lebih hanif.
Suamiku tersenyum mahfum memandangku yang sibuk berperang dengan diri sendiri. Disesapnya lagi teh hangat tawar itu dengan keteguhan seorang penikmat teh sejati, seteguh keyakinannya bahwa aku akan mengambil langkah terbaik dan paling logis dari segala hikmah kejadian, karena dia memang telah kenal watak istrinya. Aku.
Masih dengan hati yang penuh gemuruh, esok petangnya kembali aku duduk di teras ditemani kumpulan cerpen 'Katakan Cinta' kesayanganku, menunggu kepulangan suami dari kantor. Sayup-sayup terdengar suara qori’ melantunkan ayat-ayat suci. Dan entah mengapa, setiap kali mendengarnya, aku seperti merasa deja vu. Déjà vu pada dimensi ketika semuanya belum air mata, belum luka yang menganga juga belum ketidakpuasan akan keburukan yang pernah ditorehkan Bapak pada keluarga. Serasa ada yang menyesak di dadaku, dengan bara panasnya yang selalu berhasil menghasut sudut mataku untuk tergenang air.
Saat seperti inilah yang paling aku takuti, mengeja benak dengan rangkaian masa lalu layaknya pita film bisu. Tentang seorang suami yang memutuskan untuk pindah ke kota lain secara tiba-tiba, meninggalkan sang istri dalam ketidakpahaman tentang apa sebenarnya yang tengah terjadi.
Ketiga anaknya dibawa serta. Juga pembantunya, gadis muda berusia sebaya dengan putra sulungnya, yang semakin menambah kejanggalan karena sebelumnya tak ada pertengkaran juga tak ada masalah.
Tak lama berselang datang utusan untuk menyita rumah. Pedih rasa hati sang istri mengetahui rumah yang dibangun bersama, dengan segala jalin kenangan di dalamnya, telah dijual tanpa sepengetahuannya. Dan yang lebih pedih lagi, dimanakah ia harus tinggal?
”Bagaimana caranya menghilangkan kebencian yang terlanjur mengarat di hati, Kak?” tanyaku pilu, masih melalui secangkir teh hangat tawar yang sama seperti setiap petang yang kami lalui.
“Munculkanlah ingatan-ingatan yang menyenangkan bersama beliau, Dek. Dan bila itupun tak mempan, jadikanlah pengalamanmu selama ini sebagai pengingat, bahwa dengan perantara kesalahan beliaulah kamu bisa menjadi seperti sekarang ini, termasuk juga bisa bertemu lalu bersanding dengan kakak.”
Aku menghirup napas panjang dan mengeluarkannya dalam sekali hembus. Berat rasanya menghilangkan ganjalan ini. Wajah Ibu dan Bapak bergiliran mencuat serta pantul-memantul dari balik bilik benak. Lalu ingatan itu muncul. Ingatan tentang Bapak yang tak bosan berkisah tentang Mahabharata dan Ramayana, lengkap dengan pesan moral khas beliau yang amat sesuai dengan nalar kanak-kanakku waktu kejadiannya.
Dan ladzimnya perkara apapun jika mulai mencuat ke permukaan, beberapa kenangan menyenangkan susul-menyusul tanpa henti. Masa ketika Bapak dan Ibu memperkenalkan buku bacaan pada kami semua, hingga bila ada buku bacaan terbaru yang dibawa Ibu sepulang mengajar, kami tiga bersaudara harus antri membacanya. Walau yang paling sial tentu saja aku. Sebab sebagai anggota keluarga termuda menjadikanku otomatis sebagai pihak yang mendapat jatah paling akhir untuk membacanya.
Tanpa sadar aku tersenyum mengingat kenangan-kenangan itu. Benar apa yang dikatakan suamiku. Dengan menghadirkan ingatan yang menyenangkanlah niscaya hati akan turut tersenyum.
*****
Jum’at malam kuutarakan niatku mengunjungi Bapak, karena aku merasa sudah siap menemui beliau. Apapun yang terjadi, beliau memang tetap dan selalu bapakku.
Suamiku tersenyum hangat mendengar keputusanku. Diusapnya rambutku dengan lembut, sambil tak henti-hentinya mengucap syukur kepada-Nya. Ketidaksertaan suamiku karena tugas kantor yang menumpuk tak menyurutkan langkahku menuju kediaman Bapak.
Aku berangkat dengan penerbangan paling pagi, yang dilanjutkan dengan perjalanan darat sebab kota tempat bapak tinggal terletak agak di pelosok. Rasanya lama sekali perjalanan ini, yang makin bertambah lama dengan suguhan kemacetan di beberapa ruas jalan. Ternyata tak hanya Jakarta yang mengenal kata macet. Fiuhh...
Pukul 12.00 siang aku tiba di rumah Bapak. Beliau terlihat sepuh dengan rambut yang putih kusam serta beberapa gigi yang tak lagi lengkap.
Ada kejut, senang juga haru memancar dari wajah Bapak. Segera kucium tangan beliau dengan perasaan yang seperti dulu, membuat kami tak mampu berkata apapun selain menerjemahkannya ke dalam bahasa airmata.
“Maafkan Bapak, Nak. Selama ini Bapak khilaf. Bapak bukanlah ayah yang baik bagi kalian,” ucap Bapak di sela isaknya, yang lekas kutampik dengan gelengan kepala berulang-ulang.
Aku tak tahu kenapa melakukan itu. Bukankah hal ini yang selalu aku impikan? Bapak meminta maaf pada anak-anaknya dan juga ibu, atas perlakuannya selama ini? Namun melihat beliau menangis saja hatiku terasa teriris.
Tanpa bapak mengatakan apapun aku sudah paham kehidupan beliau sekarang. Rumah kecil dengan dinding berjamur, hawa ruangan yang pengap dan lembab serta kasur dipan yang tak lagi empuk. Dadaku menyesak saat mengetahui, betapa Bapak yang dulu bergelimang harta, harus bekerja serabutan hanya demi makan sehari-hari. Kadang menjadi tukang sayur keliling, tak jarang masih butuh ditambah dengan berjualan bensin eceran di pinggir jalan.
Tak terasa kami ngobrol hingga sore hari, sampai akhirnya aku pamit untuk mengunjungi ibu di kota lain, sekaligus pulang ke rumah suami.
Bapak sepertinya berat melepasku pergi. Namun karena liburku memang amat terbatas, akhirnya beliau melepas kepergianku walau dengan enggan yang sangat.
Sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar rupiah untuk membantu biaya rumah sakit istri Bapak, yang langsung membuat beliau terdiam.
“Bapak tadi bercerita tentang Sumi bukan untuk meminta bantuan uang, Nak.”
“Saya paham, Pak. Dan itu bukanlah apa-apa, hanya salah satu bentuk bakti saya pada orangtua. Karena saya merasa selama ini telah melupakan Bapak. Maafkan saya, Pak, karena nilainya memang tidak seberapa.”
Kembali setitik air menetes di sudut mata Bapak.
“Terima kasih, Nak. Bapak hanya bisa mendoakan semoga kalian selalu dilimpahi keberkahan. Salam buat ibu juga kakak-kakakmu.”
Aku mengangguk pelan. Kucium tangannya sekali lagi sambil menitip salam untuk istri beliau.
Dua jam berikutnya, aku telah sampai di kediaman ibu. Beliau menyambutku dengan penuh welas asih. Kucium tangan sepuh yang wajahnya masih memancarkan sisa kecantikan masa lalu itu, untuk setelahnya kami berpelukan cukup lama.
“Bagaimana pertemuanmu dengan Bapak?”
“Alhamdulillah, Allah melancarkan semuanya, Bu. Ternyata dengan memaafkan, hati kita menjadi ringan,” ucapku.
Ibu mengangguk dan tersenyum.
”Awalnya memang terasa berat, Nak, namun setelah dilakukan, kelak hati akan mengikhlas dengan sendirinya.”
Aku mengamini pendapat Ibu. Awalnya memang amat berat juga menyakitkan, terutama saat harus berkelahi ego pribadi, meredam nafsu amarah juga membunuh dendam yang terekam dari pahit kenangan. Namun setelah semua dikalahkan, akan muncul ketenangan. Dan ketenangan itulah yang semoga mampu menuntun untuk lebih mendekat pada-Nya.
Kuhabiskan malam dengan berbincang sepuasnya bersama ibu. Jika tidak mengingat besok harus berangkat pagi, ingin rasanya menemani beliau berbincang hingga esok.
Bersamaan dengan fajar yang menyeruak di kaki langit paling Timur pulau Jawa, aku pulang. Aku rindu suamiku. Ingin rasanya segera sampai dan menceritakan semuanya. Karena buah trik jitunyalah akhirnya aku bisa mengambil keputusan ini.
Sambil tersenyum kubayangkan kami telah berada di teras saat senja. Bersama segelas teh hangat tawar, tentu saja! Atau, bisa jadi gelas itu akan bertambah menjadi dua.
Membayangkan semuanya membuatku tersenyum.
ThornVille, 06 Juni 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H