“Maafkan Bapak, Nak. Selama ini Bapak khilaf. Bapak bukanlah ayah yang baik bagi kalian,” ucap Bapak di sela isaknya, yang lekas kutampik dengan gelengan kepala berulang-ulang.
Aku tak tahu kenapa melakukan itu. Bukankah hal ini yang selalu aku impikan? Bapak meminta maaf pada anak-anaknya dan juga ibu, atas perlakuannya selama ini? Namun melihat beliau menangis saja hatiku terasa teriris.
Tanpa bapak mengatakan apapun aku sudah paham kehidupan beliau sekarang. Rumah kecil dengan dinding berjamur, hawa ruangan yang pengap dan lembab serta kasur dipan yang tak lagi empuk. Dadaku menyesak saat mengetahui, betapa Bapak yang dulu bergelimang harta, harus bekerja serabutan hanya demi makan sehari-hari. Kadang menjadi tukang sayur keliling, tak jarang masih butuh ditambah dengan berjualan bensin eceran di pinggir jalan.
Tak terasa kami ngobrol hingga sore hari, sampai akhirnya aku pamit untuk mengunjungi ibu di kota lain, sekaligus pulang ke rumah suami.
Bapak sepertinya berat melepasku pergi. Namun karena liburku memang amat terbatas, akhirnya beliau melepas kepergianku walau dengan enggan yang sangat.
Sebelum pergi, kuselipkan beberapa lembar rupiah untuk membantu biaya rumah sakit istri Bapak, yang langsung membuat beliau terdiam.
“Bapak tadi bercerita tentang Sumi bukan untuk meminta bantuan uang, Nak.”
“Saya paham, Pak. Dan itu bukanlah apa-apa, hanya salah satu bentuk bakti saya pada orangtua. Karena saya merasa selama ini telah melupakan Bapak. Maafkan saya, Pak, karena nilainya memang tidak seberapa.”
Kembali setitik air menetes di sudut mata Bapak.
“Terima kasih, Nak. Bapak hanya bisa mendoakan semoga kalian selalu dilimpahi keberkahan. Salam buat ibu juga kakak-kakakmu.”
Aku mengangguk pelan. Kucium tangannya sekali lagi sambil menitip salam untuk istri beliau.