Layar masa lalu itu tertutup dengan kedatangan suamiku. Wajahnya yang lelah namun selalu tampak adem muncul di hadapanku.
“Assalamu ’alaikum,” ucap cinta berpostur jangkung itu seperti biasa, lengkap dengan senyum anehnya yang entah mengapa terkesan agak patah itu. Selalu seperti itu dari dulu.
Kujawab salam dan kucium tangan cinta itu dengan takdzim. Dan setelah beberapa saat dia menghirup teh tawar hangat yang kuhidangkan, kuceritakan semua tentang Bapak.
Seperti biasa suamiku tak langsung menjawab. Ditatapnya aku lekat-lekat hingga rikuh, sebelum akhirnya kembali menyeruput teh hangat dengan gaya khas.
”Bukankah Allah Maha Pemaaf, Dek?”
“Iya, Kak, aku tahu. Tapi...” kata-kataku tersekat di tenggorokan, sadar bahwa tak pantas bagiku mempertahankan ego tentang luka masa lalu. Hanya saja aku merasa cuma manusia biasa, yang masih lagi baru memaknai semua kehidupan dengan cara yang lebih hanif.
Suamiku tersenyum mahfum memandangku yang sibuk berperang dengan diri sendiri. Disesapnya lagi teh hangat tawar itu dengan keteguhan seorang penikmat teh sejati, seteguh keyakinannya bahwa aku akan mengambil langkah terbaik dan paling logis dari segala hikmah kejadian, karena dia memang telah kenal watak istrinya. Aku.
Masih dengan hati yang penuh gemuruh, esok petangnya kembali aku duduk di teras ditemani kumpulan cerpen 'Katakan Cinta' kesayanganku, menunggu kepulangan suami dari kantor. Sayup-sayup terdengar suara qori’ melantunkan ayat-ayat suci. Dan entah mengapa, setiap kali mendengarnya, aku seperti merasa deja vu. Déjà vu pada dimensi ketika semuanya belum air mata, belum luka yang menganga juga belum ketidakpuasan akan keburukan yang pernah ditorehkan Bapak pada keluarga. Serasa ada yang menyesak di dadaku, dengan bara panasnya yang selalu berhasil menghasut sudut mataku untuk tergenang air.
Saat seperti inilah yang paling aku takuti, mengeja benak dengan rangkaian masa lalu layaknya pita film bisu. Tentang seorang suami yang memutuskan untuk pindah ke kota lain secara tiba-tiba, meninggalkan sang istri dalam ketidakpahaman tentang apa sebenarnya yang tengah terjadi.
Ketiga anaknya dibawa serta. Juga pembantunya, gadis muda berusia sebaya dengan putra sulungnya, yang semakin menambah kejanggalan karena sebelumnya tak ada pertengkaran juga tak ada masalah.
Tak lama berselang datang utusan untuk menyita rumah. Pedih rasa hati sang istri mengetahui rumah yang dibangun bersama, dengan segala jalin kenangan di dalamnya, telah dijual tanpa sepengetahuannya. Dan yang lebih pedih lagi, dimanakah ia harus tinggal?