“Jika hanya untuk mampu menjadi penulis hebat, harusnya kamu tak perlu menempuh bahaya seperti itu, Juna, melainkan cukup memberitahu abangmu ini.” ucap Yudistira masih dengan beberapa kekeh kecil berlompatan dari bibirnya.
Tapi Juna tak menanggapi ucapan abangnya itu. Dirinya sibuk membacai satu persatu buku kiat menulis milik abangnya itu. Kiat Cepat Merakit Karya Sastra Terhebat, Mahir Menulis-Tartil Berfiksi, Lancar Mengarang dalam 30 Detik, dan lain-lain yang amat menggugah selera dan cita-citanya, membuat Yudistira menggeleng-geleng kepala sambil kembali berlalu.
Hanya dalam waktu satu minggu seluruh buku tentang tulis-menulis telah habis dibacanya, membuat Juna merasa bahwa dirinya seakan telah menjadi pribadi yang amat mumpuni dalam bidang karang-mengarang.
Tapi tak selamanya teori dapat akur ketika bersanding dengan praktek!
Bulan pertama Juna langsung menyadari, bahwa semua keyakinan tentang kehebatannya dalam hal karang-mengarang ternyata hanya sekedar ilusi pengetahuan. Tak satupun karya utuh yang berhasil Juna buat dalam tempo sebulan itu, yang kembali berlanjut dengan bulan-bulan berikutnya hingga hitungan berganti menjadi tahun.
Menginjak waktu sepuluh tahun barulah Juna berhasil menyelesaikan karya pertamanya, yang itupun dia buat dengan terus mempertahankan mental sebaja mungkin, dengan tampolan perasaan rendah diri akan kemampuannya.
Penyebabnya sederhana saja, Juna merasa tidak pernah bisa fokus dalam meraih cita-citanya karena dua benda milik dara jelita yang dipungutnya saat petualangan mencari sempak terlarang dulu. Sebuah senjata lengkung sejenis bumerang dengan inisial ‘n’ di bagian tengah, serta sejenis pisau dapur bercap ‘garpu’ dengan huruf ‘i’ si salah satu sisinya, yang sepertinya merupakan senjata khas berlatar tempat tinggal masing-masing pemiliknya.
Benar kata Guru Durna, bahwa memang tak akan ada yang mampu diraih, jika kita tak memiliki fokus sedikitpun terhadap apapun yang kita ingini, tak peduli sehebat apapun keinginan serta sebanyak apapun latihan yang kita lakukan, bathin Juna penuh dengan kemasygulan.
Dibuatnya beberapa corat-coret untuk Yudistira, sebelum akhirnya Juna melakukan pengembaraan ke banyak tempat, hanya demi mencari tahu siapa gerangan dua dara jelita yang dulu pernah menolongnya tersebut.
Pada akhirnya Juna tak pernah berhasil menjadi penulis hebat. Barangkali memang takdirnya yang justru menjadi bahan tulisan buah pengembaraannya mencari sosok-sosok wanita yang paling berkesan dalam hidupnya tersebut, setelah sebelumnya begitu banyak petualangan merah-jambu dilewatinya dengan penuh warna serta membuat hidupnya semarak juga riuh.
Dan catatan terakhirnya tentang ‘Legenda Sempak Terlarang’ yang ditinggalkan untuk Kakaknya, entah bagaimana kejadiannya kemudian justru tercatat dalam Kitab Sukasoma karangan Mpu Karuhun, yang kelak dipopulerkan oleh salah satu tokoh terpenting dalam sejarah sebuah negeri.