“Sssttt…!” Juna meminta teman-temannya untuk lebih mendekat. Sekilas posisi mereka mirip tim sepakbola tengah diskusi serius demi mencetak goal-goal kemenangan dengan volume suara yang nyaris seperti bisikan.
“Tapi kau yakin berani ke sana, Juna? Ingat legenda yang amat menakutkan itu!”
“Justru tempat itu yang akan kita datangi, Kul. Biar nanti aku sama Bimbim yang masuk lebih dahulu, dan kau jaga saja gerbang depan.”
“Tapi bagaimana cara kita melewati penjagaan sekuriti kompleks? Kudengar satpam di sana galak-galak, terutama menjelang pilkada seperti sekarang ini.”
“Kita pakai cara yang waktu itu aja, Wa. Masih ingat kan waktu kita menyamar jadi ‘Tim Pemburu Rayap’ di Kompleks Perumahan Pondok Indah yang mewah tapi bobrok itu? Yang rentan serangan rayap karena dibangun di bekas hutan karet hingga sisa akar rimbun menjadi sarang rayap abadi sebelum akhirnya menyerang segala bahan kayu yang ada di perumahan tersebut?
“Wah… Benar juga, Juna. Bukankah Pringgodanipun tadinya hutan belantara nan angker dan penuh raksasa? Yang buah kegilaan entah pengembang siluman mana malah dibabat habis dengan hanya mengandalkan HPH dari ‘Trah Sakti’ keturunan sang Jendral Senyum?”
“Sudah… Sudah… Tak usah bicarakan politik dululah, kita kan sekarang tengah menjadi lakon di kisah anak-anak. Gimana? Deal tekodil-kodil ga nih semuanya?”
“DEAAALLL!!!”
Bergegas empat sahabat membereskan barang bawaan, sebelum akhirnya Bima menyeletuk, “Siapa yang giliran bayar es cendol kali ini?”
Keheningan langsung mengepung. Semua mata berpandangan dengan tatap kosong bercampur nanar, sebelum akhirnya dengan meringis Juna mendekati sang penjaja es cendol.
“Ngggg… Anu, Bang Avy… Nnnggg… Kami Udin lagi yah kali ini…” ucap juna grogi kepada Begawan Vyasa yang kini lebih banyak mengenakan sarung dan kaus dalam merek “Swan” ketimbang jubah itu. Barangkali efek pemanasan global yang membuat cuaca selalu gerah tak peduli sedang musim apapun.