Tapi dengan sama bergegasnya semua judul tadi kembali dicoret. Juna merasa semua judul barusan terlalu surealis, sementara keinginannya membuat karya bagus tentu saja tak boleh jauh-jauh dari kisah keseharian, yang digarap dengan penuh hikmah. Walau memang hikmah ala dirinya sendiri tentu saja, yang kadang jika tengah mancing di Kawah Candradimuka Juna suka berpikir bahwa dirinya tak lebih dari remaja kenthir yang gemar bergaya absurd sambil gembelengan bareng teman.
Ah, teman! Buru-buru Juna meraih smartphone dan memencet beberapa nomor.
“Halo… ! Kul! Bilang sama Wawa kita bertemu setengah jam lagi di warung es cendol samping SMP Hastinapura, yah. Jangan lupa ajak juga si Bimbim… Kita akan ngebekpeker ke tempat yang asyik banget nih… !”
Dan sebelum suara di seberang menjawab, Juna langsung mematikan smartphonenya lalu mulai berkemas.
Tak lama berselang Juna telah ‘siap tempur’ dengan kemeja hitam lengan panjang yang digulung sebatas bahu, carrier serta tak lupa busur dan beberapa batang anak panah bersimbol hati nemplok dengan luwes di pundak hingga menambah kegagahannya.
***
Sambil menyeruput es cendol Juna asyik menjelaskan rencana petualang tersebut kepada sahabat-sahabat terbaiknya.
“Kamu yakin benda tersebut bisa mengabulkan keinginan dan cita-cita kita, Juna?” tanya Nakula dan Sadewa sama antusiasnya. Sementara Bima meyedot es cendol lebih lahap pertanda hatinya yang amat tertarik.
“Entahlah, Kul, Wawa… Tapi dari kitab lain yang digubah oleh Empu Vyasa ke-19, saya menemukan kisahnya, yang bahkan telah dilengkapi peta pula,” bisik Juna sambil memberi isyarat kepada Bima.
Bima mengeluarkan secarik kertas daur ulang dari kantung celana kargo lalu membeberkannya di tengah meja.
“Hah! Perumahan Pringgodani Indah?! Gila kau, Juna…!!!” tanpa sadar Nakula dan Sadewa berteriak bersamaan. Kaget. Agaknya sebagai anak kembar mereka berdua memang telah sangat teruji kekompakannya dalam menyikapi kejadian apapun.