Fragmen tersendiri dari “Dongeng untuk Jokowi The Series”.
***
Cerita sebelumnya:
Kuhirup napas dalam-dalam secara amat perlahan, sebelum akhirnya mulai mengetik laporan, ditujukan kepada Yang Terhormat Bapak Presiden. Sebuah laporan paling singkat yang pernah ada dalam sejarah penasehat kepresidenan.
“Tepat saat kaki mereka berhenti berlari, semesta hening.”
Tapi baru saja aku hendak memasukan laporan super ringkas tersebut ke dalam amplop resmi kenegaraan, ketika sebuah ingatan kembali merenggutku dari kesadaran akan kekinian, dan membawaku pada kembara peristiwa sebelumnya.
Apakah hidup memang melulu terkesan tak adil? Atau justru di sanalah logika proses keadilan Tuhan menyinggasana, hingga Dia ciptakan setiap diri berbeda dengan yang lainnya, dengan tempaan pengalaman yang juga tak pernah sama, demi peran yang kelak juga berbeda, sesuai dengan gurat nasib serta gores takdir terbesar yang harus dijalani? (Dongeng untuk Jokowi #4)
***
pagi ini, aku melihatmu masih mengulum sisa kelam malam
menuntaskan keluh-peluh yang terkisah buah rindu yang terpendam
pada ayun lembut dedaunan kau berdansa, pejamkan mata
tanpa hasrat melepas peluk yang menangkup entah berapa rahasia
tidakkah kau rasa, pinggang yang kau peluk tak berusuk?
aku melihatmu...
seperti tarian waktu nan enggan dihentikan
meliuk di antara sederet kisah yang menyerpih
memusing bagai gasing
hingga aku tak mampu melihat wujudmu lagi...
(‘Mu’ Lilik Fatimah feat Bay)
“Kopi satu, Mbak. Dikocok, jangan diaduk” pintaku meniru polah James Bond dengan gaya yang amat meyakinkan.
Namun alih-alih tersenyum, Mbak penjaga warteg seberang Kawasan Muara Baru-Pasar Ikan itu menatapku dengan pandang nanar, sambil sesekali melirik curiga seakan aku adalah satu dari sekian biang terjadinya penggusuran di wilayah ini yang tengah menyamar.
Belum sempat kuseruput kopi kocok bertabur tatap nanar tersebut, ketika pahaku tak henti bergetar.
Kurogoh hape di saku celana dengan malas, sebelum akhirnya malah khusyuk memencet deretan tuts yang ada.
Bay, Royal ikut kegusur, ga? Kalo engga ya cap cus, deh…
Pesan dari CintaWP sontak membuat jidatku mengernyit, tak menyangka jika gadis bule ini paham juga lokalisasi kumuh dekat wilayah yang tengah gencar disorot media.
Dini hari aja seperti biasa, Bay, Waktu Indonesia Bagian Ngepet Mejret, Sekalian nunggu Dwi Grepong ganti shift jaga lilin…
Kali ini dari Nudia Mikhayla, mengingatkan sahut-sahutan penuh gizi namun kaya satir serta tak jarang berbalur lendir dari sosok cantik pemilik otak dua ton ini dengan Kong Ragil sang dedengkot Planet Kenthir, waktu menjotos klenik tentang “Salah Kaprah Artikel Spektakuler, Viral, Ratusan Ribu Pembaca”
Masih kuingat kalimat tegas Kong Ragil, saat membungkam Gion Wagiyono tentang faktor penting yang dapat memicu suatu artikel mampu menjadi viral.
“Faktor Proximity tanpa uraian memadai serta tanpa bukti uji coba yang sukses tak lebih dari sekedar bahasa lain dari faktor hoki/mujur… Bedanya hanya yang satu menggunakan bahasa intelek sementara yang lainnya memakai bahasa sehari-hari.”
Tapi belum tuntas kembara khayal kusesap, ketika seseorang menghampir tiba-tiba seraya menyodorkan beberapa gepokan bergambar cawet.
-Disempakmu Aku Mengetuk, Aku Tak Bisa Berpaling
- Ku Basuh Bekas Sempak Mu di Sempak Ku dengan Sempak Nya
- Musyawarah Sempak di Negeri Tanpa Rasa Malu dan Tanpa Kemaluan
“Ini semua karya Arke SPOG, Nus?” tanyaku pada ANhasANhisANhus yang jiwanya terpecah sembilan dan terus saja pecah walau selalu dibreidel. Benar-benar jiwa yang lebih bandel dari Voldemort karena ANhus melakukan semuanya tanpa bantuan sebuah horcrux-pun.
ANhus mengangguk disela kehiperaktifannya merauk segala gorengan di baskom, yang setelah sukses mentransfer semua nyamikan berminyak tersebut ke rongga mulut sekaligus barulah bertanya, “Piye kabare Papua, Bay?”
“Baik, Nus, tapi ga makmur…” jawabku dengan tatap menetap pada kumcer, esai serta puisi yang penuh pergulatan sempak bernuansa satir getir yang amat nyinyir itu. Agak terkejut juga mengetahui bahwa bahkan benda sepele serupa sempakpun, siapa sangka bisa menjadi amat bernilai: Ketika berada di tangan orang yang tepat. Benar-benar tak ada yang boleh dianggap remeh dari kehidupan!
Tapi belum lagi aku puas membolak-balik masterpieces di tangan, ketika lontaran pernyataan ANhus selanjutnya membuatku terperangah.
“Wong kenthir iku kan gak perlu makmur tho, Bay? Lha nek bangsa iki isih podho kenthir, yo mungkin cukup ngene iki sing diwenehi Gusti Allah.”
Keherananku semakin berlanjut saat sosok ‘tak biasa’ secara tampang maupun gaya ini buru-buru menyeret ke sudut paling pojok di ruang pikiran, melanjutkan solilokui dengan rentetan mitraliur kata yang, tetap saja terasa agak aneh buatku. Barangkali perbedaan bahasa memang selalu manjur menyajikan rasa yang berbeda, walau dengan tema percakapan yang sebenarnya cuma itu-itu juga.
“Koon pengin bukti tah, Bay? Akeh wong podho sholat, ning yo uwakeh wong muslim sing gak sholat. Sing sholat yo sempet-sempete mikir donya, padahal jelas-jelas Gusti Allah nduk ngarepe. Opo gak kenthir ngunu kui, Bay? Jelas-jelas diajak Gusti Allah ayo menuju kebahagiaan pas adzan malah dicuekin. Opo gak kuenthir, Bay? Wis jelas-jelas Gusti Allah nyipratke surga nduk Indonesia, ning malah podho golek surga liyane. Lan sing luwih penting, jarene ngaku hanya pada Allah tempat bergantung dan memohon pertolongan, ning kenyataane malah luwih wedi karo bos, pimpinan, termasuk berharap terlalu banyak pada presiden dan admin. Opo jenenge ngunu iku nek gak kenthir, Bay? Dan Maha Benar Allah selalu menepati janji-Nya.”
“Wah yo gak iso ngunu, Nus. Jangan bawa-bawa agama. Iki perlu penjelasan sing ilmiah!” serobotku dengan gaya kompor meleduk, sebab kapan lagi bisa ‘bermain’ ala peyang-penjol di kota besar? ^_
“Istighfar, Bay!” sahut ANhus dengan intonasi yang agak tajam. Juga dengan mimik wajah yang super serius. Sepertinya pancinganku berhasil.
“Iku malah luwih edan maneh, Bay. Rumangsamu sing ngatur donya iki sapa? Opo maneh cuman ngatur nasibe aku, sampeyan lan bangsa iki. Memang menungso dipercaya Gusti Allah kanggo mengelola, tapi yo iku menungso podho edan, kedanan, sombong, trus lali. Padahal pesene Allah kanggo menungso iku jelas banget. Lha nek trus aku sampeyan kongkon ora nggowo-nggowo agama iku logikane piye?” ANhus balik bertanya.
“Lho, kan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubahnya tho, Nus?” tangkisku, yang segera membuat ANhus mrepet campur ndleming.
“Iku juga edan, Bay. Menungso salah mengartikan. Memahami ayat sepotong-sepotong. Trus Sampeyan ngartekno ayat iku bahwa menungso kudu berusaha merubah nasibe sendiri ngunu, tah, Bay? Yo kenthir iku jenenge, Bay. Nduk ayat iku Gusti Allah ngomong karo menungso perkara logika proses. Gak mungkin dalam sekejap seluruh masyarakat Negeri Bayangan sugih kabeh tanpa kaum itu berusaha dulu, walaupun itu sangat mudah dilakukan oleh Allah. Dan betapa Allah Maha Pengasih dan Penyayang karena sudah banyak menunjukkan keajaiban-keajaiban di tingkat individu, dan memperingatkan bangsa ini dengan berbagai kejadian yang menurut manusia dianggap bencana itu. Trus nek ono sing protes, lho Amerika kok iso maju koyo ngono, padahal iso dikatakan Amerika menjalankan negaranya tanpa landasan agama? Iku tambah kenthir maneh, Bay! Rumangsane nduk Amerika gak ono wong keluwen, tah? Rumangsane nduk Amerika gak ono maling? Podho ae, Bay!”
“Sing mbedakke, Amerika sebagai negara ngerti arah lan cita-citane trus langkah-langkahe tepat. Nek Negeri Bayangan aku gak yakin sebagai negara dhewe ngerti cita-cita negara lan gak konsisten pisan. Pasca reformasi, para aktivis politik, pelacur dunia politik lan buruh politik cuman mikir untuk periode lima tahunan. Sing paling kenthir, kabeh duwe kelakuan sama. Mereka berebut menjatuhkan penindas, untuk ganti menindas meski iku gak disadari. Mereka kadung percaya pada mekanisme pemerintah dan oposisi untuk perebutan kekuasaan.”
“Lha terus kudune yoopo, Nus?” tanyaku sambil senyum-senyum geli akan semangat sosok ghoib yang satu ini.
“Yo iku mau, kekenthiran nasional iku kudu segera disembuhkan sehingga menjadi sebuah Kewarasan Nasional. Terserah bagaimana Sampeyan mengartikannya, Bay!”
Tanpa sadar kami berdua telah menjadi tontonan orang. Dan sebelum ANhus kembali ndleming, kutarik dia masuk ke angkot 08 jurusan Kota.
“Koon ngangkot, Bay? Penasehat Presiden? Masa jab…”
Segera kubekap ANhus agar informasi tak bocor seperti kasus intel kemarin yang kenthir memposting jabatan intelnya di akun sosial. Benar-benar lambe yang gemar njeplak tanpa lihat kiri-kanan, gerutuku dalam hati.
“Orang miskin harus tahu diri, jangan belagu!” kukutip judul postingan perlit Ayahanda Tjiptadinata Effendi teranyar buat ANhus sambil menekan sederet tombol di hape.
“Halo, Pebrianov, Kau ganti kelaminlah segera jadi penulis fiksi, masa depanmu cerah di sana. Terutama mengingat Kau tak butuh menjual karya demi selesap asap dapur, hingga menjadikan karyamu 'penuh gigi' dan tak muat lagi untuk dikunyah2 si ompong ini... ^_”
Kembali sederet angka kupencet. Sebuah suara serak-serak bikin eneg terdengar menyahut.
“Mbah Peyang, kita ketemu di Rumah Abu Hoa Kiauw Kung Hwee depan Stasiun Kota. Ajak juga juragan keris plus-plus Jati King of Habul dan kakak kelasnya yang betah banget di Jerman ngulas liga bundles itu. Juga MJK yang kini asyik meracik gabungan segala penampakan fiksi di k dengan amat seru. Saya agak khawatir beliyo terpengaruh aura ngocolnya Ando Ajo yang ngeberanakin Istana Langit Timur itu… ”
“Halo, Sol, kebeneran saya butuh pakar mantan buat urusan penting nih, jangan lupa ajak Aji yang kabarnya pernah dendam cinta membara ditolak ukhti jama’ah itu, yah... Salah dia kenapa ga konsultasi sama Gatot Swandito. Kan apa-apa dah ada pakarnya… :P ”
Khusus untuk Desol, kusebut nama tempat pertemuan tadi dengan sebutan yang berbeda dengan lating kawak sebelumnya, yaitu Rumah Abu Setia Budi Dharma. Karena jika nama lamanya yang kusebut, aku khawatir penulis sadis ini tak paham.
“Urusan kenegaraan po, Bay?” antusias ANhus dengan jakun naik-turun penuh hasrat. Agaknya sosok yang satu ini termasuk penggila teori konspirasi bin gatuksisasi.
“Yang ini lebih serius, Nus. Mmmh… urusan cinta…” sahutku malu-malu, membuat anti tetanus ini segera menepuk jidatnya sambil teriak “Halaaahhh…!!!” keras-keras.
“Ah, Peyan mah gitu orangnya, Nus. Kan tahu sendiri kalo aku ga paham seupilpun soal wanita…” bisikku agak memelas, yang akhirnya membuat ANhus terenyuh juga.
Kuangsurkan hape ke ANhus, dengan sebuah postingan manis terpampang di layarnya.
“Baru satu kumpulan cerpen Anton Chekov yang saya baca, tapi rasanya seperti tertampar berkali-kali setiap membaca cerita demi cerita. Pertanyaan yang menggantung kemudian adalah, bisakah saya membuat cerita yang amat "mengganggu" pikiran seperti itu?
Selama ini saya selalu tertarik dengan cerita-cerita psikopat, thriller dan sejenisnya, namun sekarang saya baru menyadari, ternyata cerita "biasa" yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pun menarik untuk dibaca (juga digoreng sesuai selera saya sendiri).
*Untuk teman hidupku, semoga kau tak bosan-bosannya mendorongku untuk tetap menulis dan menulis. Na.”
“Aku kudu piye jal, Nus?”
“Ngopi ndhisik ae, Bay, ben ra edyan!” sahut ANhus menyebalkan, membuat postingan ini terpaksa bersambung ke judul selanjutnya: “Rumah Abu Kenangan”.
***
Bodhidharma pernah mengatakan, jika kita menggunakan pikiran untuk mempelajari kenyataaan, maka kita tak akan mengerti apakah semua hanya piikiran kita sendiri atau justru kenyataan. Tapi jika kita tidak menggunakan pikiran, niscaya kita akan mengerti keduanya.
Jujur, aku tak begitu paham makna kalimat tersebut. Juga amat enggan untuk memaknainya. Aku hanya berharap, akan tiba masanya kelak, kubuat kau mau tak mau memasuki pikiranku, yang di dalamnya telah kuciptakan kenyataan bagimu. Uhuk! ^_
Secangkir Kopi Suwung, mundhut sethithik kalih curhat colongan saking blogipun Cak Ndlahom, kaliewusongo.
*Buat Nindy Prismahita, salam kenal dari Bay… ^_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H