Urusan sapu-menyapu dan mengelap selesai sekitar pukul sebelas menjelang siang, dilanjutkan dengan membantu mencuci sayuran serta membuat susu kedelai untuk di jual hingga pukul dua sore. Setelahnya, mencuci mangkok kemudian menjadi rutinitasku. Mulai dari yang berukuran sebesar mata sapi hingga yang beratnya kutaksir tak kurang dari dua kilogram. Dan jumlah mangkuk yang harus kucuci kembali membuatku terharu, mengingat banyaknya yang sepertinya tak jauh dari bilangan ribuan.
Pukul setengah empat sore aku mendapat istirahat selama setengah jam, untuk kemudian melanjutkan pekerjaan hingga pukul sebelas malam, membuatku bertanya-tanya sendiri, akankah aku mampu bertahan menjalani beban kerja seperti ini selama tiga tahun?
Kembali aku menangis. Tangis seorang pekerja wanita di negeri asing, yang baru saja menginjak usia Sembilan belas tahun. Dorongan perasaan untuk menyerah dan pulang ke tanah air begitu menggebu, karena setidaknya di kampung halamanku, aku masih bisa menjadi orang bebas, walau mungkin dengan kehidupan pas-pasan khas orang desa. Tapi semua telah terlanjur, membuatku dengan amat terpaksa mencoba untuk tetap bertahan, dan membuktikan bahwa aku bukanlah wanita lemah.
***
Memasuki hari kedua, seluruh tubuhku sakit semua. Jangankan untuk bekerja, bangkit dari tempat tidurpun aku tak mampu.
Mengetahui keadaan sakitku, majikan langsung menelepon agensiku, yang datang tak lama kemudian: Hanya untuk memarahiku!
Dengan mimik penuh emosi, agensiku mengatakan bahwa jika aku sakit, maka mereka akan memulangkanku. Dan aku harus menanggung seluruh biaya operasional yang jumlah totalnya mencapai puluhan juta rupiah.
Tak ada yang dapat kulakukan saat itu selain meminta maaf kepada majikan dan agensiku, sambil diam-diam menahan perasaan pilu yang entah dari mana datangnya langsung menyelusup tiba-tiba ke pucuk hati terdalamku, dan berjanji akan bekerja sebaik mungkin di restoran ini.
Kupaksa badan untuk bergerak, serta kembali mengulangi ritme kerja yang kemarin dengan tubuh luluh-lantak. Tanganku terasa kebal, semua persendian yang ada di sekujur tubuhku amat ngilu. Tapi aku tetap menguatkan diri. Aku harus bisa, tekadku. Dan kembali butir-butir bening luruh di pipiku saat menyapu dan mengelap meja restoran, yang dengan amat segera kuseka ketika ada yang memergokinya.
***
juga, untuk sebuah cita