“Kita telah sampai” ucap si butir kilau, merenggutku dari pusat pusaran angan. Sesosok jangkung berdiri di samping dengan tebar senyum setengah khas miliknya. Senyum yang terkesan amat patah buah hantaman dunia.
“Bay!”
Aku terguguk di dekap hangatnya. Dadaku gemuruh penuh festival rindu
“Jangan pergi, Bay…”
“Aku memang tak pernah beranjak kemana-mana, Ra.”
“Jangan pernah lagi ada perpisahan untukku, Bay…”
Bay memetik ujung daguku, mengusap kristal cair yang menggelayuti pipiku dengan punggung jemarinya.
“Aslinya perpisahan tak pernah ada, Ra. Semuanya tak lebih sekedar serangkai tunggu, yang menyelusup di antara jarak dan waktu, memberi kita perjumpaan sesekali di kini serta nanti…”
Belum lagi aku berhasil mencerna untai kata yang disusupkan Bay ke telingaku dengan amat dekat, ketika sebuah gapura tertangkap sudut mataku.
Tangisku pecah. Aku benar-benar butuh sesuatu, yang mampu untuk menuntunku mengurai setiap helai rindu, dan menjadikanku terjebak selamanya di sini.
***