Cukup lama juga saya tidak menulis selain fiksi di Kompasiana. Tapi barangkali memang sudah takdir, ndilalah kanal NT kembali berubah aturannya menjadi berdasarkan jumlah hit, membuat saya selaku salah satu fiksianer merasa Kompasiana sudah tak lagi ramah bagi pegiat fiksi.
Akhirnya dengan berat hati saya memutuskan untuk menendang diri sendiri keluar dari Kompasiana, karena tanpa kanal NT, Yang Mulia Admin Kanal Fiksi akan langsung menjadi ‘tuhan’ yang menentukan hidup matinya karya yang tidak di highlight, tanpa ada lagi satupun peluang yang bisa digali fiksianer agar karyanya lebih terbaca –dan kemudian mendapat umpan balik- selain benar-benar hanya lewat.
Kali ini saya kembali membuat tulisan tentang Jokowi, setelah sebelumnya di masa awal pemerintahan beliau saya gemar menelurkan artikel sejenis “Kecerdasan Jokowi Menentang Panasbung” dan “Jokowi Merekrut Orang Gila Agar Bisa Tetap Waras” yang laris manis hingga di-share ratusan ribu kali.
Mengapa saya kembali menulis tentang Jokowi? Tentu saja tak lain dan tak bukan karena ‘Prestasi Maha Dahsyat’ dari sinetron terbaru yang diperankankan oleh Yang Mulia MKD, yang kebetulan berlatar belakang dunia hukum –sesuatu yang amat jarang digarap oleh dunia persinetronan Indonesia karena diduga ‘tak sesuai selera pasar’ namun di tangan MKD justru terbukti ‘amat digandrungi pasar’.
Tapi mengenai sinetron ajaib tersebut, biarlah rekan-rekan Kompasianer lain yang merensensinya dengan lebih apik dan bernas, karena saya justru lebih tertarik memelototi naskah rekaman Setya Novanto dan kawan-kawan.
Rekaman tersebut entah mengapa mengingatkan kepada novel ‘Inferno’nya Dan Brawn, tentang betapa segala yang tampaknya wajar, natural serta biasa saja yang terpantul dalam wajah Indonesia masa kini, pada akhirnya tak lebih dari sekedar ilusi buah skenario busuk segelintir makhluk-makhluk super serakah.
Dan dengan keadaan tersebut, saya tak habis pikir, bagaimana Jokowi mampu menghadapi semua persoalan tersebut sendirian?
Lingkaran istana jelas teman sehidup Jokowi, tapi yakinkah mereka juga dapat disebut sebagai teman semati Jokowi?
Jokowi lovers tak berhenti menjaga 24 jam sehari 7 hari seminggu hingga hari ini, seakan-akan jika beliau sebentar saja luput dari penjagaan, maka akan langsung terjerembab atau giduan dengan badan penuh bentol.
Jokowi haters barangkali yang paling tak masuk akal, yang terus menguntit beliau hingga –jika perlu- cara pipis dan ‘eek beliau, seakan jika Jokowi luput dari intaian satu detik saja maka Indonesia akan langsung hancur lebur tanpa sisa.
Bahkan saya sempat berpikir bahwa Jokowi jauh lebih nelangsa dibandingkan Agus Mulyadi sekalipun sebab GusMul si maskot kaum jomblo nuswantara yang mengaku lahir dianiaya dan besar didzolimi itu, masih memiliki begitu banyak teman yang amat welas asih akan perkembangan nasib dan kejombloannya di masa mendatang, hanya karena kelucuan tulisan yang dia buat. Sementara Jokowi? Bahkan pada prestasi yang paling hebatpun beliau tetap saja tak berhenti untuk dihina.
Pada titik itulah saya teringat akan puisi guru kami (Maulana) Jalaluddin Rumi tentang buncis.
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus menerus tiada henti,
“Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini?
Sang istri memukulnya dengan penyendok, “Sekarang,” katanya, “jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku; sebaliknya inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat.
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada murka-Nya, tujuannya bahwa dengan dengan kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului murka-Nya itu supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, ‘Sekarang engkau telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai.’
Teruslah, wahai buncis, terebus dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri tak tersisa padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan dalam mulut dan masuk ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran! Engkau menjadi air bersusu: Kini jadilah singa hutan!
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-Sifat Tuhan: kembalilah kepada Sifat-Sifat-Nya!
Engkau mejadi bagian dari awan, matahari, dan bintang-bintang: Engkau ‘kan menjadi jiwa, perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, ‘bunuhlah aku, wahai para teman setia,’ adalah benar.
Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata-kata, ‘Lihatlah, karena dibunuh aku hidup,’ adalah benar.
(Maulana Jalaluddin Rumi)
Dari puisi tersebut kemudian saya mengambil kesimpulan, bahwa ternyata Jokowi memang tak lebih dari sekedar ‘Presiden Buncis’ belaka, yang memang telah menjadi takdirnya untuk selalu direbus dengan berbagai macam coba, uji serta hina, untuk kemudian setelah wujud serta segala macam embel-embel kedirian yang lainnya tercuci bersih, beliau menjadi matang dan penuh gizi bagi bangsa ini.
Setelah semua kejadian ini, saya memperoleh tambahan pemahaman tentang mengapa waktu Rasulullah Muhammad SAW dahulu menjadi pemimpin, nyaris sepanjang malam Beliau menghadap Tuhannya hingga bengkak kedua kaki, yang masih beliau imbuhi dengan mempanjang sujud. Tidak terbayang betapa banyaknya persoalan yang harus Beliau selesaikan, yang hanya bisa Beliau keluhkan kepada Sang Pemilik Segalanya.
Semoga Jokowi meneladani Muhammad SAW serta sosok-sosok suci yang lainnya, yang terus mengkomunikasikan segalanya hanya kepada Dia Sang Maha, agar beroleh petunjuk lurus penuh kasih, demi Indonesia yang harusnya jaya sejak jauh waktu sebelum hari ini.
Dan bersama tulisan ini pula saya masih berharap, agar Jokowi tetap dan terus selalu menjadi presiden gila yang menyelesaikan segala masalah dengan cara yang amat gila. Sebab di zaman orang-orang waras berdiri telanjang tanpa malu-malu lagi akan segala tingkah konyol semasing mereka, menjadi gila adalah sebuah harapan, sebuah doa… aamiin… ^_
Secangkir Kopi postingan terakhir dari Bay. Mohon maaf jika ada rekan-rekan Kompasianer yang pernah tersentil, juga para adminnya. Semua itu semata demi kelak segalanya menjadi jauh lebih baik dari yang sekarang ini, aamiin…^_
Bye-bye from Bay.
Sumber postingan:
#BeningEmbun.
#ASLaksana.
#AlFathriAdlin, serta entah berapa akun lagi yang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H