Pada titik itulah saya teringat akan puisi guru kami (Maulana) Jalaluddin Rumi tentang buncis.
Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat selama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus menerus tiada henti,
“Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kausiksa aku seperti ini?
Sang istri memukulnya dengan penyendok, “Sekarang,” katanya, “jadi benar-benar matanglah kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencianku; sebaliknya inilah yang membuatmu menjadi lebih lezat.
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup; kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada murka-Nya, tujuannya bahwa dengan dengan kasih-Nya engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului murka-Nya itu supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat dihasilkan;