Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber-3] Teror Jempol Setan

19 November 2015   11:37 Diperbarui: 19 November 2015   11:37 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahmad Maulana S, No. 01.

 

apa yang paling menakutkan selain ketakutan itu sendiri?

tentang hidup yang mestinya hanya begitu saja

sebelum kita buat dan deklar tafsirnya

dengan rentetan kalimat paling riuh yang pernah kita reka

untuk setiap fragmen dan kejadiannya

sementara pada sisi yang berbeda, kita tertawa

sekaligus menangisi kegilaan yang ada

ketika penuh enggan bertanya

benarkah tersisa, secuil saja

yang murni tak sekedar masturbasi kata-kata belaka

dari hidup yang telah terlalui?

(‘Onani’ dalam Bercinta dengan Tuhan)

 

Rumah Geribik, Waktu Indonesia Bagian Desa Terpencil.

“Hati-hati dengan jam dua dinihari,” pesan Ki Plenyun dengan suara yang amat misterius, membuat jantung Ben berdebar kencang tak karuan.

Dan dengan suara yang agak tercekat Ben bertanya kepada kakek gurunya yang nyentrik itu, “Memangnya ada apa dengan jam dua dinihari, Ki?”

Bukannya menjawab, Ki Plenyun justru balik bertanya kepada Ben, “Kau pernah mendengar Hikayat Keluarga Jari yang pernah termasyur di Kompasiana?”

Ben menggeleng.

“Kisah ini beredar pertama kali dari Kuil Partai Fiksiana Community. Ketika Desol sang leluhur Konsorsium Ciangbunjin Angkatan Pertama, berhasil meyakinkan lwekang tertinggi partai yang berasal dari kiamboh Sajak Sikil Papat,”

Ki Plenyun menyulut klobotnya perlahan, lalu melempar kretek kulit jagung itu ke udara dan memutar-mutarnya dengan hawa murni yang terpancar melalui tangan dari jarak sehasta, membuat Ben kagum luar biasa akan ketinggian ilmu sang kakek guru.

“Konon kiamboh tersebut tak sengaja disempurnakan oleh Mahaguru Jati, yang kebetulan mampir ngombe setelah terlunta-lunta akibat kecopetan di Pasar Klewer…” lanjut Ki Plenyun. “Tapi itu kisah yang lain lagi, karena sekarang aku akan menceritakan kepadamu tentang asal mula teror setan jempol yang kembali marak di kampung ini.”

Mendengar setan jempol diucapkan Ki Plenyun, Ben sontak menggeser duduknya ke arah depan, takut bercampur penasaran.

“Jauh waktu sebelum ini,” lanjut Ki Plenyun, “Ada seorang pemuda yang kehilangan ibu jari tangannya. Lalu…”

Suatu hari, pemuda tersebut bermimpi bahwa tengah malam ibu jarinya yang hilang merayap ke dalam selimut dan berteriak “Dor!” mengagetkan jari-jemari lain yang masih tersisa di tangannya, yang tengah pulas bersama tubuhnya.

Karena terkejut, serentak jari-jemari si pemuda berhamburan meninggalkan tangan.

Jari telunjuk berlari menuju panggung politik dan menunjuk apa saja serta siapa saja yang dirasa tidak sejalan.

Lain halnya dengan jari tengah. Karena perangainya agak sarkas, jari tengah memilih untuk mengadu nasib ke Amerika, dan langsung menjadi simbol caci-maki anak muda di sana dengan cara mengacungkannya ke muka lawan.

Nasib paling manis agaknya dialami oleh jari manis. Ia terus dicari setiap kali ada yang ingin bertunangan, atau langsung dilingkari cincin kawin bagi para jomblo yang ngebet melepas kesendiriannya yang mengenaskan.

Dan takdir terburuk harus dialami si bungsu kelingking, yang terjebak ritual janji kalangan mafia Jepang, hingga harus berkali-kali dipenggal dari tangan ke tangan.

“Begitulah Hikayat Keluarga Jari yang pernah aku dengar dari cersil usil menyentil, murni dari tangan pertama pengarangnya, yang konon bernama Ahmad,” ucap Ki Plenyun sambil menggunting sumbu api sentir yang tergantung di dinding geribik, membuat penerangan ruangan menjadi agak terang.

“Bagaimana dengan kisah si ibu jari biang kerok tersebut, Ki?” tanya Ben. Hatinya penasaran luar biasa sebab baru kali ini ia mendengar ada jari-jemari yang berlaku tak ubahnya seperti manusia.

“Karena merasa bersalah, ibu jari kembali menempel ke tangan si pemuda.” jawab Ki Plenyun.

“Tapi si pemuda yang telah kehilangan seluruh anggota jemarinya, tak dapat lagi membuat postingan di Kompasiana. Akhirnya dia lebih memilih untuk selalu meng-klik vote ‘tobat’ di lapak Kompasianer yang lain, karena dia merasa hal itu jauh lebih menyelamatkannya dari dosa ketimbang ketika jarinya lengkap, dia justru menggunakannya untuk mengetik postingan maksiat, artikel penuh hujat, serta komentar yang menandakan pikiran cupat dan otak penuh karat…” wejang Ki Plenyun kepada Ben, yang sekaligus juga menyentil telinga penulis fikber ini serta pembacanya, membuat suasana rumah Ki Plenyun serasa langsung lebih sepi nyenyet dibanding kuburan.

Belum lagi Ben merasa lega, ketika Ki Plenyun kembali melanjutkan ceritanya.

“Sayangnya, versi pertama kisah ibu jari tersebut ternyata cuma hoax semata, karena sebenarnya sang ibu jari tak pernah kembali ke tangan si pemuda, melainkan terus bergentayangan dan banyak memakan korban, hingga penduduk lebih mengenalnya sebagai: Jempol Setan.”

***

Jempol Setan, Waktu Indonesia Bagian WC.

Pukul dua dinihari, Ben terbangun karena perutnya sakit. Terbungkuk-bungkuk dia berlari menuju WC, dengan kedua tangan memegangi perutnya yang melilit tak karuan.

Pasti karena nyigit cabe rawit waktu makan malam tadi, pikir Ben, sambil lebih bergegas ke WC. Dan tanpa ba-bi-bu segala macam, dia langsung mengunci pintu WC serta memulai ritual pembersihan perut dengan amat serius dan penuh konsentrasi.

Tapi baru saja Ben melakukan pengeboman gelombang pertama, ketika mendadak pintu WC dijebol dari arah luar hingga pecah berlubang di bagian tengah.

Dengan amat kaget Ben menoleh ke arah pintu. Namun pemandangan yang ada di hadapannya hampir saja Ben pingsan, karena dari lubang jebolan pintu, entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul jempol raksasa sebesar batang kelapa. Jempol yang penuh bulu serta bertaring, yang menyeringai kepadanya sambil tak berhenti meneteskan darah dari sela-sela taringnya.

“ROOAARRRRGGGHHH!!!” geram si jempol setan sambil maju secara perlahan, siap mencabik tubuh Ben yang terjengkang di atas WC.

Sekuat tenaga Ben berteriak memanggil Ki Plenyun. Tapi lidahnya terkunci urat ketakutannya sendiri, menyulapnya jadi amat kaku tanpa sedikitpun mampu untuk digetarkan.

Hal yang sama terjadi pula pada jaringan otot di seluruh tubuh Ben, membuatnya semakin panik ketika jempol setan itu kian beringas menghampiri. Siap mengunyah dirinya hingga menjadi ribuan serpih daging yang penuh saus darah.

Apakah aku akan mati di sini? Di WC? Juga karena menjadi korban Jempol Setan? Alangkah amat tak kerennya!

Ben ingin berdoa, tapi dia ingat wejangan Pak Ustadz tentang makruhnya menyebut nama Tuhan di dalam WC. Haruskah dia merendahkan nama-Nya, hanya demi keselamatan jiwa pribadi?

Begitu juga ketika Ben ingin melafal, “Numpang-numpang anak bagong lagi e’ek,” ajaran kakak pembina pramukanya waktu kecil dulu, dia justru merasa tak ikhlas.

Apa hebatnya berpura-pura jadi anak babi? Apakah hanya demi menyelamatkan diri dia harus hidup  dari kepura-puraan? Mesti rela merendahkan diri menjadi anak dari hewan rakus, untuk kemudian kelak berubah kembali menjadi tikus kantor atau lintah darat penghisap masyarakat?

Bermacam-macam ingatan susul-menyusul di benak Ben dengan amat riuh, hingga akhirnya, sebuah ingatan jahil berhasil membangkitkan semangatnya.

Tubuhnya kembali rileks. Ditatapnya jempol setan yang terus menggeram seram di depannya dengan senyum sinis.

Seperti tahu disepelekan Ben, jempol setan meraung sejadi-jadinya. Taringnya mencuat ke depan, dengan seluruh bulu yang ada di sekujur jempolnya mengejang sekeras duri. Mulutnya terbuka lebar dan langsung mencaplok Ben bulat-bulat.

Sigap Ben menghindar ke samping, lalu dengan penuh keyakinan dia acungkan jari kelingking ke arah jempol setan, dan…

WUZZZ…!

Suasana kembali senyap. Tak ada lagi setan jempol. Juga tak ada pintu WC yang jebol. Semua kembali normal seperti tak pernah terjadi apapun.

“Baru tahu ada setan yang ngajak suit,” gumam Ben sambil menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir. Dengan penuh perasaan konyol dia keluar dari WC.

Tapi baru beberapa langkah Ben berjalan, ketika dia terlonjak, dan langsung berlari kembali ke dalam WC dengan amat gugup.

Ben lupa cebok.

 

Sebuah fragmen terpisah yang berdiri sendiri dari cersil usil yang gemar menyentil, Thornville-Kompasiana, 19 Nopember 2015.

Link terkait dari cersil usil yang lalu:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun