“Mungkin penafsiranmu benar, Na. Hanya saja bagi Rhein dan aku, bulan mati tak lebih sekedar dongeng kerdil para pecundang, yang terus memimpikan datangnya hari baru dengan penuh harap, demi penukar waktu yang mereka lalui dengan penuh kelam.” sahutku, yang setelah menghela napas sejenak, kembali kubocorkan rahasia kecil antara aku dan Rhein.
“Karena kami lebih menggilai malam bersimbah hujan. Memetiki satu demi satu rindu yang meluruh di setiap tetesnya, yang dengannya kami coba simpulkan: Berapa pastinya jumlah cinta yang berhasil kami peroleh, dari butir-butir rasa yang berhasil kami tampung melalui pandang mata.”
Kembali kuhela napas amat perlahan. Berat juga panjang.
“Dan ketika seseorang telah menapaki jalan cinta yang seperti itu, dapatkah dia kemudian mudah tergiur untuk berpaling, sementara hujan selalu setia menyampai titik-titik ritmis bagi segala keluh kalbu?”
“Adakah kemungkinan Rhein mengalami trauma pasca kecelakaan pesawat, Gie, yang membuatnya kehilangan sebagian ingatan? Karena berdasarkan penelusuranku pada lokasi sekitar kecelakaan dua tahun terakhir, hanya ada satu nama Rhein yang berhasil kutemukan.”
Kugelengkan kepala dengan amat perlahan, membuat Ran dan Nina terdiam dengan sorot mata yang amat tak puas.
Tapi aku tak mempedulikannya. Hatiku lelah. Terutama sekali setelah kuhabiskan begitu banyak tahun, hanya untuk bertaruh kepada harapan, yang lantas berakhir penuh kesia-siaan.
“Kupercayakan segala urusan perusahaan ini kepadamu, Ran. Sementara kau Nina, tolong bilang pada Mr. J, agar paling lambat senin ini Rhein sudah dimutasi ke luar kota,” putusku mengakhiri rapat.
“Dan ada baiknya kau berikan kunci duplikat apartemen Rhein kepada Ran, Na, barangkali kelak akan lebih berguna di tangannya.”
Kutinggalkan kantor dengan penuh rasa masygul, yang entah sementara atau mngkin juga selamanya. Perusahaan yang memang kubangun sejak mula hanya untuk Rhein, dan bukan demi yang lainnya.
***