Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Beberapa Kesalahan ‘Kecil’ yang Membuat Terjungkal di Event Fiksi Fabel FC

10 November 2015   09:41 Diperbarui: 10 November 2015   10:09 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Bay : “S*l, jika karya kita ikut dinilai, kualitasnya kalah ga sih sama mereka-mereka yang juara itu?”

Admin Misterius : “Karya saya tak masuk hitungan. Kamu penasaran ga kenapa saya jawab begitu?”

Bay : “Banget…”

Admin Misterius : “Saya menganggap semua karya yang masuk itu lebih bagus dari punya saya, karena ga ada peserta yang menulis dengan asal-asalan. Semua pake otak.”

Bay : “Sayang saya ga termasuk yang itu, karena saya nulisnya pake jari... T_T”

Admin Misterius : “Wakakakakaka… dudulz.”

Itulah sekelumit percakapan saya dengan salah satu ‘admin misterius’ FC yang memiliki clue: Sadis, yang langsung membuat saya geregetan sendiri memakna ulang 100 karya peserta Event Fabel Fiksiana Community, yang memang secara umum amat luar biasa namun harus terjungkal hanya buah salah nan sepele belaka.

Dan beberapa kesalahan tersebut dengan amat terpaksa saya bongkar di sini, dengan harapan kelak kita semua –termasuk juga saya dan kamu- dapat lebih maksimal lagi dalam berkarya. Langsung sesap ke seruputan kesalahan yang pertama, Kawan…^_

Kesalahan Pertama: Sosok Bebas Anti Mainstream Penolak Segala Macam Aturan, atau Justru Hanya sekedar Abai serta Lalai Terhadap Syarat dan Ketentuan?

Seperti yang pernah saya ulas di artikel ‘Mengapa Karya Burukpun Berhasil Menjadi Juara?’, sebenarnya tak masalah jika kita melanggar syarat dan ketentuan event, selama masih memiliki dua hal penting dalam karya, yaitu “ide” dan ‘jiwa’. Walau tentu saja yang terbaik adalah mematuhinya karena adagium ‘Aturan dibuat untuk dilanggar’ saya pikir hanya berlaku bagi siswa sekolah, dan bukannya bagi peserta event apapun juga…^_

Dan kesalahan kecil yang amat fatal ini adalah: Jumlah kata kurang atau lebih dari yang telah ditentukan, yaitu antara 300 s.d. 800 kata. Membuat team juri agak menyesalkannya karena cukup banyak karya unggulan dari nama-nama jaminan mutu di Kompasiana, yang bahkan harus kalah tanpa pernah melewati proses penilaian lagi, alias langsung didiskualifikasi.

Kesalahan Kedua: Melupakan yang Paling Utama.

Apa yang paling utama dari fabel? Tentu saja nilai moralnya.

Tapi sayangnya, cukup banyak peserta yang enggan menggali lebih dalam tentang itu walau telah panjang lebar ditebar informasi tentangnya, termasuk salah satunya melalui artikel “Menyingkap Pesan Terselubung dalam Event Fiksi di Kompasiana” ini, mengingatkan saya pada kenyataan betapa masih teramat banyak di antara kita, yang bahkan hingga usia senjanya tetap saja sukar memahami tentang apa yang paling utama dalam hidup, selain terus menggumuli hari dengan hanya berbekal sedih di dada sendiri… *Eaaa…

Dan kesalahan kecil inipun memakan korban cukup banyak. Termasuk karya salah satu peserta yang mendapat HL dari admin Kompasiana namun dengan amat terpaksa harus dimasukkan Team Juri FC ke dalam keranjang. Sayang sekali…

Kesalahan Ketiga: Penggarapan Ending yang Buruk.

Apa teknik terbaik agar karya mampu membuat pembaca kepincut untuk tak hanya sekedar membacanya selewatan saja?

Jawabannya saya pikir hanya tiga, yaitu pembuka kisah yang menggiurkan, konflik yang menggairahkan, serta ending yang meluluh lantakkan emosi dengan akhir sumbing, menggantung atau justru memberi jelaga.

Dan untuk Event Fabel Fiksiana Community ini, saya banyak gemas dengan karya peserta yang hebat di foreplay pembuka, luar biasa di batang konflik, namun amat mandul di bagian ending.

Dan saya amat yakin bahwa hal inipun pasti salah Jokowi, karena apapun kejadian buruknya, tentu saja Jokowi pantas menjadi tersangka biang keroknya, seperti humor satir yang banyak beredar di dunia maya sebelum SE Kapolri meredam sebagian besarnya. Menghasut sisi lain kita untuk lebih memilih sekedar turut menambah riuh kengehekannya sebagai cara termudah mengalihkan ‘penyesalan terselubung’ akan kekurangan pribadi,  alih-alih ikhlas menerima penyebab utama kejadiannya lantas mati-matian memperbaiki atau setidaknya meminimalisasi… ^_

Kesalahan Keempat: Memaksa Karya Fiksi Menjadi Sekedar Sulap Kata Belaka.

Ada satu hal yang cukup menarik pada event fiksi ini, yaitu ketika saya membaca karya salah satu peserta yang super keren, yang harusnya langsung terpilih sebagai juara umum Event Fabel Fiksiana Community ini namun akhirnya harus puas menempati posisi runner up.

Penyebabnya sederhana saja, yaitu bahwa konflik yang digarap dengan amat ciamik di fabel tersebut sejak awal, harus dipaksa selesai hanya dengan menylesaikan versi sulap norak khas kisah-kisah ‘Rahasia Illahi’ di mana kebaikan langsung menang terhadap keburukan buah campur tangan Tuhan tanpa proses apapun selain tiba-tiba menang.

Saya sempat menitip pesan kepada pengarangnya agar mengedit ulang dalam sisa waktu 5 jam dengan menambahkan clue penting pengait kejadiannya di kolom komentar.

Hanya saja sepertinya sang pengarang terlalu malas dan atau sudah cukup puas mendapat nilai “Hebat Loh” dari admin Kompasiana, dan melupakan bahwa ini adalah Event Fiksiana dan bukan Event Kompasiana, yang tentu pula membawa ‘tata aturan penilaian’ yang otomatis berbeda,  mengingatkan betapa amat seringnya kita merasa cukup saat telah mendapat sayang dari si yayang, tanpa perlu lagi menakar apakah kitapun telah mendapat sayang yang setara pula dari Sang Maha Sayang…^_

Dan kesalahan inipun banyak dilakukan oleh peserta, yang tahu-tahu memaksa twist di endingnya, hanya berbekal sulap tahu-tahu tanpa juntrungan sebelumnya itu... T_

Kesalahan Kelima: Melupakan Kesederhanaan Bentuk.

“Sederhanakanlah, dan buatlah semua menjadi sederhana…” Sebuah kalimat usang berusia lebih dari 14 abad dari tokoh nomor satu dunia, yang besar dugaan saya hingga kini belum ada yang benar-benar mampu untuk membantahnya.

Dari lima karya peserta yang menjadi kandidat juara umum dan runner up, point ini secara alami mendapat perhatian cukup besar dari team juri.

Pada putaran pertama pengujian karya semifinalis, karya bernomor peserta 72 berjudul, “Nasib Caca dan Mama di Hutan Sulamaya” langsung menghilang tertelan point 1 s.d 4 sebelumnya, menyisakan hanya empat karya semifinalis mewakili seluruh peserta Event Fabel Fiksiana Community.

Ketika ada juri yang mengajukan karya bernomor peserta 43 dengan judul “Gonjang Ganjing Negeri Kucing”, langsung disodori juri lain dengan karya No. 99 berjudul “Siapakah yang Lebih Tinggi dari Pemimpin Negeri?” sebagai pembandingnya, yang secara kebetulan memiliki tema yang mirip satu sama lain. Hasilnya, karya bernomor 49 lah yang jauh lebih sederhana, lebih ‘ringan’ dicerna namun memiliki cakupan kisah yang lebih luas dari karya No. 43, sehingga lebih dipilih menjadi finalis.

Juga ketika karya No. 20 berjudul “Carmelita” menyalip seratus karya yang lainnya, kembali dijawab dengan karya  No. 70 bertitel “Induk Ayam dan Raja Ular”, yang anehnya seakan dibuat khusus sebagai lawan bagi masing-masing. Dan sekali lagi, karya No. 70 pun diketuk palu sebagai finalis, salah satunya adalah buah kesederhanaan kisahnya yang gurih renyah tanpa perlu mengorbankan keunggulan yang lainnya.

Dan ketika kedua finalis itu bertemu, akhirnya “Induk Ayam dan Raja Ular” dipaksa untuk bertekuk lutut di bawah kekuatan konteks tokoh Leo melawan Hyena. Walau jika boleh jujur, andai saja “Induk Ayam dan Raja Ular” kemudian memperbaiki kisahnya sendiri, maka besar kemungkinan dia akan langsung mengangkangi seluruh kriteria juara yang ada di Event Fabel Fiksiana Community ini tanpa a dan b apapun lagi dari team juri.

Dan Kesalahan yang Terakhir adalah: Menyadur Tanpa Memberi Bentuk Baru ataupun Persfektif yang Berbeda dari Tulisan Sebelumnya.

Masih ingat fabel tentang Raja Hutan yang ditipu Kelinci hingga jatuh ke dalam sumur karena terpicu amarah melawan bayangannya sendiri yang pernah termuat di Majalah Bobo edisi jadul?

Saya kembali menemukan fabel itu di salah satu peserta. Tentu saja dengan pengubahan karakter tokoh hewannya juga seting lokasi sumurnya, yang walaupun karya tersebut ditulis dengan cukup manis, namun tak akan pernah mampu meraih gelar serta puncak prestasi apapun.

Seperti yang pernah saya tulis sebagai komen di lapak Kompasianer Mawalu saat polemik tulisan daur ulang Pak Axtea mengemuka sebagai berikut:

Mendaur ulang sebuah tulisan sebenarnya sah-sah aja, asalkan mampu memberikan bentuk baru atau perspektif yang berbeda dari tulisan sebelumnya. Hanya saja harus diakui memang masih ada cukup banyak k'ers yang mendaur ulang tulisan tanpa menciptakan dua hal itu, padahal mereka termasuk penulis 'berkelas' di K. Dan di HL pula oleh admin, yang tentu saja tak mutlak kesalahan admin K mengingat begitu banyaknya informasi berseliweran di dunia digital yang tak akan mampu terpantau seluruhnya oleh admin kecuali menggunakan alat pendeteksi khusus yang biasa digunakan blog berbayar demi menghindari membayar karya plagiasi.

Satu lagi. Khusus untuk karya sastra/fiksi pada event lomba nasional, mendaur ulang sangat diharamkan, dan termasuk penjiplakan. Moga menjadi masukan buat kita semua yang kadang masih saja gemar tergiur untuk melakukan 'jalan pintas'...^_

Semoga kelak penulisnya tak lagi mengulangi kekeliruan ini –yang saya yakin dilakukan tanpa disengaja juga tanpa kesadaran-, sebab jika hal ini berlanjut, besar kemungkinan dia akan mengalami hal yang sama dengan beberapa sastrawan besar negeri ini, yang jerih-payah karyanya bertahun-tahun langsung dicurigai sebagai hasil plagiasi, hanya karena ada satu dua karya yang serupa kejadiannya dengan penulis fabel ini. Alangkah sayangnya…

Selain beberapa poin kesalahan remeh berakibat tak remeh di atas, sayapun menemukan beberapa komentar menarik di sela-sela kegiatan meminta izin untuk menyimpan karya peserta event untuk dikurasi team juri, yaitu beberapa penulis menjawab komentar para pengunjung lapaknya dengan mengatakan:

“Saya mah ikut even cuma buat ngeramein aja, bla… bla… bla…”

Membuat benak saya usil menyentil kalimat berbahan tafsir polysemi tersebut:

“Terus, kalo cuma numpang ngeramein, apa kemudian menjadi tabu jika tetap memberi yang terbaik sekuat kecakapan?”

Mengingatkan saya pada ucap kawan lama tentang, “Menolong itu kan semampunya, Bay, alakadarnya aja dan ga usah terlalu memaksa…” yang langsung membuat saya ‘amat terharu’ mengingat betapa besar harapan pihak yang ‘minta ditolong’ namun harus berakhir prematur karena ‘sang penolong’ yang diharapkan, ternyata benar-benar menolong ‘hanya’ ketika sempat dan juga ‘hanya’ sekedar alakadarnya saja, dan bukannya memang dengan sengaja serius menolong… T_T

Dan melalui kegiatan penjurian ini pula kembali saya mendapat pelajaran penting, yaitu tentang amat kerdilnya kemampuan saya, yang dengan amat terpaksa kalah telak oleh ‘admin misterius’ yang pernah mengaku tak becus itu, tentang dua hal yang saya pikir telah menjadi kekuatan yang saya miliki: Kecepatan membaca serta daya ingat.

Walau di akhir percakapan sang admin misterius mencoba menghibur saya dengan kata-kata,

“Aku juga belajar banyak dari kamu. Belajar ketelitian, kesabaran, keseriusan, caramu meminum naskah peserta hingga kamu tulis di word tadi…”

Namun tetap membuat saya berpikir untuk segera mengubahnya menjadi lebih baik ketimbang membela diri dengan menyodorkan berjuta alasan pembenaran kelemahan, yang setelahnya tak membawa manfaat apapun selain kejumudan pengetahuan serta stagnansi keahlian tanpa setitikpun peningkatan.

Dan hal ini semakin bertambah parah ketika saya membaca beberapa karya peserta yang terlihat hebat saat mengulas karya, namun hanya begitu saja ketika membuat karya. Membuat saya berpikir ngeri, apakah saya tak banyak berbeda seperti itu? Super menor sebagai komentator namun jontor ketika membuat karya? Alangkah hinanya diri ini, Kawan… T_T

Selamat meminum hikmah fabel di hari Pahlawan Nasional ini. Semoga kita tak sekedar mengingat nama dan tanggal lahir mereka, melainkan terus berusaha keras menelusuri jejak keteladanan yang pernah sangat emas mereka torehkan atas negeri ini, dengan atau tanpa penggalian makna melalui even apapun.

Bye-bye from Bay...^_ 

Secangkir Kopi tentang Event Fabel FC, Thornvillage-Kompasiana, Hari Pahlawan 2015.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun