Ingatan Ari kembali membumi, bersamaan dengan berakhirnya kalimat panjang Rani yang meletup-letup penuh semangat.
“Menurut Kak Ari, salah tidak jika sekiranya Rani memilih untuk mengudungi hati dan memperbaiki gaya serta tingkah laku Rani lebih dulu?”
Bukannya menjawab, Ari justru menghela napas, mengundang heran sekaligus tanya pada Rani.
“Ada apa, Kak Ari? Memang ada yang salah dengan ucapan Rani, yah?”
Ari menggelengkan kepala. Dan setelah sunyi beberapa waktu, Ari berkata dengan tersenyum lembut.
“Rani senang tidak lulus SMMPTN dan menjadi salah satu mahasiswa di kampus yang terkenal sulit ditembus ini?”
Dengan agak bingung Rani mengangguk.
“Tentu saja Rani senang, Kak Ari, juga merasa amat bersyukur dan menganggap ini adalah rejeki terbaik yang pernah Allah beri ke Rani. Membuat Rani merasa amat bangga juga bahagia,” Kali ini senyum Rani mencapai puncak termanisnya. Begitu juga tatap matanya, yang tak sekedar antusias semata, melainkan seperti mengandung sesuatu yang entah apa.
Kali ini giliran Ari yang manggut-manggut, sebelum akhirnya kembali melanjutkan ucapannya.
“Tapi sudahkah Rani bersyukur kepada-Nya? Dengan sepotong jilbab penutup kepala, misalnya…” Ari bertanya lembut.
Sret!