Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(2). Kepada Mariam Umm: Ini Epilog Kisah ‘Roller Coaster Emosi’ tentang Mulan yang Dulu Kerap Membuatmu Menahan Tangis… ^_

11 Oktober 2015   16:09 Diperbarui: 11 Oktober 2015   16:20 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dear Bundanya Mariam… ^_

Akhirnya kita sampai juga pada garis perjumpaan yang ini, walau hanya melalui even surat fiksi yang didapuk Kokoh Desol Sang leluhur Ciangbunjin Padepokan FC bersama seluruh admin serta PASPAMCInya.

Tadinya saya enggan untuk memposting epilog kisah buram tersebut. Namun mengingat kau adalah orang pertama dari tiga Kompasianer yang pernah membai’at karya saya dengan sebutan ‘Karya Sastra’ di masa-masa awal kekompasianaan dulu, membuat saya dengan agak rikuh menghidangkan secangkir kopi elegi ini, untukmu… ^_

 

andai dosa itu bisa kubagi

dengan seseorang

yang bukan selalu dirimu

andai dosa itu tak pernah ada

andai dosa itu tak berlanjut

andai dosa itu

ah, andai...

(‘Ah, Andai...dalam Tinta Kepedihan)

 

Tak ada seorangpun yang tahu betapa amat lelahnya saya menyembunyikan Si Bay dan dunianya dalam diri saya. Teman-teman SMU hanya tahu bahwa saya seorang slebor pemancing tawa tanpa pernah memiliki sedikitpun keseriusan dalam menyikapi hidup, atau mungkin juga sekedar remaja tengik tanpa secuilpun potensi yang berarti selain sekedar menjalani hidup dengan kekonyolan yang amat menyebalkan.

Berbanding terbalik dengan Keluarga Besar Arsitek Semut Mengukir Aksara yang mendaulat saya sebagai ‘Elder Brother’ pada nyaris semua lini kehidupan mereka. Sementara sobat kampus saya, meminjam ucapan Si Eksentrik, “Ada orang-orang yang emang udah takdirnya buat jadi tameng, Bay...” menjadikan saya selalu berada dalam posisi terdepan dari setiap kejadian, tak peduli apakah keadaan tersebut masih dalam batas tanggung jawab saya atau bukan, yang tidak hanya membuat bete angkatan atas dengan sikap non-cooperative terhadap aturan yang ada, melainkan sekaligus mendaulat saya sebagai selebritis dadakan dengan terlalu banyak foto di koran dan rekaman kameramen saat demam aktivis menyeret saya ke pusat pusaran segala macam demo.

“Lagi ngupil lo, Bay...” ucap Dian lucu melaporkan siaran demo di TV yang mungkin di ‘gudang’ wakil rakyat-Senayan, atau ruang temu-dengar SetNeg yang untuk masuknyapun harus melewati pos penjagaan yang lebih tebal dari kue lapis saking banyaknya, yang membuat saya menyesal kenapa tak menyimpan upil tersebut sebagai kenangan bagi anak-cucu mengingat proses kreatifnya telah tersebar amat luas ke berbagai daerah lewat kamera, hihihi… ^_

Saking seringnya wajah saya tertangkap kamera, hingga menjadikan pipi tipis dan muka tirus (haha... ^_), dan mengundang banyak teman lain jurusan yang meledek melalui buku Soe hok gie yang saat itu baru terbit, yang juga saya rekam dalam cerpen Tarian Seorang Demonstran yang juga pernah saya posting di link yang ini. Sementara teman-teman UI Salemba di Masjid Arief Rahman Hakim mengomentari dengan ucapan, “Orang-orang seperti Antum yang harusnya bisa menyelusup ke komunitas kiri...” dengan tatapan melekat pada tubuh jangkis saya dengan rambut sepundak yang di kepang kecil di kiri-kanan seperti naga. Karena sereligius apapun saya waktu itu, tetap saja gambar diri saya lebih terlihat sebagai seorang ‘pemakai’. Nasiib...! Nasib!

Tapi haruskah hidup melulu dibelenggu dengan segala macam kotak dan batasan...? Sementara kenyataan yang sekarang tak lagi membolehkan kita untuk secara mutlak mendefinisikan bahwa hitam adalah hitam, dan putih... tak sekedar hitam yang ditutup-tutupi!

Masihkah diperlukan label dan merek tertentu dalam memandang seseorang atau sesuatu, seperti kita membedakan jenis dan rasa permen, misalnya?

Si H ‘kiri’, vonis kita terburu-buru hanya karena dia selalu mengepalkan tangan kirinya ke udara ketika demo, tanpa pernah tahu betapa eratnya kesetia kawanan yang dia punya, atau kesalehan pribadinya dalam setiap ritual keagamaan yang mungkin tak sedikitpun ia lalaikan. Sementara C yang memang tak pernah sungkan menghisap satu-dua linting gele, selalu mengundang kemarahan kita untuk mengutuknya sebagai ahli maksiat, tak peduli betapa kuatnya dia menjalin silaturahim dan mengutamakan sedekah, atau jidat hitamnya yang saya tahu bukan karena riya ketika banyak bersujud kepada Tuhannya.

Perbedaan antara pribumi dan non pribumi? Hal itu yang paling membingungkan bagi saya, sebab mengetahui warna kulit dan ukuran mata ternyata tak banyak membantu.

Sofyan Wanadi jelas cina yang sangat pribumi. Tapi alangkah banyaknya pribumi asli yang bertingkah seolah bukan bagian dari negeri ini, yang begitu ngotot dan oportunisnya berlomba-lomba menjadi antek dari mereka yang jelas-jelas memeperbudak bangsanya sendiri. Dan konsep-konsep mengenai nasionalis, agama dan sekuler mungkin ada baiknya segera didefinisi ulang, terutama ketika banyaknya orang-orang yang terus menggumamkan Al-qur’an namun tetap ngotot memakan renten alias riba. Sementara mereka-mereka yang katanya sekuler justru begitu antusias memelihara anak yatim dan kaum dhuafa layaknya pengikut nabi sejati.

Tahukah kau betapa banyak komunitas Muhammadiyah yang justru jauh lebih NU, bahkan jika dibandingkan dengan NU itu sendiri?

Terlalu sering saya temui merekalah yang justru menjadi pemimpin dalam ritual keagamaan pasca kematian, atau syukuran pra kelahiran, yang jelas-jelas dalam kamus mereka termasuk dalam kategori: Bid’ah.

Atau berapa banyak sosok yang mengaku sebagai bagian dari kaum Nahdhiyin, yang dengan berapi-api mengatakan bahwa segala ibadah yang umum dijalani orang-orang sekarang ini hanyalah sekedar ‘kulit’ tanpa ‘isi’. Hanya saja kesehariannya yang cuma bercelana pendek dan bertelanjang dada, memaksa untuk menduga bahwa dia tentu lupa batas aurat lelaki antara pusat hingga lutut, yang seketika mengundang saya untuk tersenyum dan memaklumi ‘isi-kulit’ apa yang dia maksud.

Beberapa kali saya memperoleh kalimat-kalimat pedas dari bocah gagah pengikut manhaj tertentu, yang bahkan tak pernah dilakukan oleh Musa AS terhadap Fir’aun sekalipun! Yang saya balas hanya dengan kata-kata yang penuh senyuman, karena tahu bahwa sefasik apapun saya, semoga tidak menjadi seterlaknat Fir’aun yang menganggap diri sebagai tuhan. Sementara bocah gagah itu jelas belumlah memiliki prasyarat khusus yang dapat mebuatnya memiliki derajat yang lebih tinggi dari Musa AS.

Besar dugaan saya dia tak paham apa itu fikrah, mazhab atau bahkan terjemahan sederhana dari kata-kata manhaj ke dalam bahasa indonesia. Tentu dia tak banyak tahu pendalaman tentang ‘Kesatuan dalam Keragaman’ yang akhir-akhir ini mencuat kembali dalam peta interaksi global, atau bahasan mengesankan akan ‘Islam tidak Bermazhab’ yang sangat mencerahkan itu.

Lantas bagaimana mungkin orang yang tidak tahu arti manhaj itu sendiri, berani mengaku bahwa hanya manhajnyalah yang paling benar dari 73 golongan yang pernah ditafsirkan...?!!! Alangkah mudahnya neraka dihindari, jika surga memang bisa diraih cukup dengan ibadah dan amal kebaikan saja...

“Oknum, Bay... Oknum...” Kembali kata-kata favorit terbaik itu muncul dan secara gaib menjelma kambing hitam bagi semua anomali yang terjadi, menjadikan saya diterjang mual yang sangat layaknya perempuan ngidam yang tak berhenti memuntahkan segala kekotoran zamannya.

Memang ada saja saya dengar orang-orang khusus yang begitu arif dalam menjalani hidup, seakan dirinya tak lebih dari seketip cahaya yang terus melahirkan kuntum demi kuntum keindahan. Namun jauh lebih banyak lagi figur yang, bahkan ketika berada dalam kondisi terpintarpun, masih saja gagap walau sekedar untuk menjadi benar.

Dan sayangnya, figur yang banyak itu terus saja terpantul dari tiruan identik yang menatap tepat ke dalam mata saya saat tengah bercermin. Karena figur-figur itu sering kali adalah saya sendiri, yang dengan (katanya) begitu banyak pahala mengalir dari alif-ba-ta yang pernah tanpa putus saya ajarkan kepada entah berapa siswa, namun serasa tak mampu walau sekedar untuk mengimbangi ramainya dosa yang pernah saya rupa dan percikan.

Saya pernah sangat putih, namun saya juga pernah begitu hitam. Seringkali saya tak sadar betapa cemang-cemongnya wajah saya kini, yang berjalan dari hari yang satu ke hari yang lainnya dengan sangat terseok dan tertatih. Kadang merintih. Tak jarang cuma bisa menangis lirih menyembunyikan perih dalam hati yang entah masih hidup atau telah mati. Beberapa kali sudah saya merasa sangat kehilangan. Namun bagaimana mungkin saya bisa kehilangan, sementara saya tak pernah benar-benar memiliki...?!

Akhir yang buruk, semoga bukan itu halaman terakhir hidup saya. Saya masih merasa yakin bahwa hidup saya baik-baik saja, dan tentu saja akan berakhir dengan bahagia! Dan jika cerita ini terlihat begitu suram, yakinlah bahwa kisahnya belum berakhir. Bukankah fajar lazimnya terlahir, justru setelah malam mencapai titik terpekatnya...?!

Buku ini (rangkaian posting ini rencana awalnya akan diterbitkan dalam bentuk buku sebagai Kado Ulang Tahun Kedua, tapi tidak jadi, Red) saya buat bukan sebagai buku sakti atau sesuatu yang bisa memancing inspirasi. Hanya seonggok kalimat yang saya berharap ada satu-dua huruf yang bukan sampah di dalamnya. Diterbitkan semata-mata untuk mengenang sosok-sosok hebat yang pernah ada dan sempat begitu berarti dalam hidup saya. Dan terutama sekali, membuat saya mengenal diri sendiri untuk yang pertama kalinya, secara utuh. Tentu saja setelah sebelumnya, dengan sangat tertekan, saya lucuti semua cangkang dan selubung yang selama ini membelenggu.

Dan buku ini tak akan pernah mendapatkan bentuk yang paling lengkap dan idealnya tanpa ritual wajib seperti yang pernah dilakukan dulu, yaitu dengan membubuhkan ‘Komentar Setengah Pakar’ pada cover belakangnya. Dan seperti biasa, Dian menjadi yang pertama mencoretkannya. Setelah ini mungkin akan saya dapati komentar sarkas dari Gimbal, atau kata-kata ketus dari Si Eksentrik yang, meminjam istilah dia sendiri, “Ada orang-orang yang memang sudah takdirnya tidak pernah bisa sepaham, Na, hohoho...” atau kalimat-kalimat aneh lainnya yang entah ditulis oleh siapa, yang saya yakin dapat diredam oleh komentar sejuk dari Dijey. Walau tak menutup kemungkinan hanya caci-maki dan sumpah-serapahlah yang akan saya dapatkan dalam ruang komentar ini. Atau justru tak ada yang menuliskannya sama sekali. Who knows...? ^_

Dalam dunia data ini pula saya berharap Mulan menerima pesan singkat saya, karena saya, ternyata -dan anehnya- masih memiliki beberapa pertanyaan yang membutuhkan jawabannya. Pentingkah...? Hanya Mulan yang bisa menilainya.

 

Saya adalah Bay. Seorang gelandangan yang pernah menjadi aktor intelektual yang tidak intelek dengan sangat meyakinkan. Seekor kucing hutan yang senang ber-harajuku dan bermain tambal sulam kehidupan. Seonggok sampah waktu, yang memutuskan untuk tak lagi terus berlari...

 

ada yang telah memaafkanku: diriku

aku ada, tapi siapakah aku dalam hidupku

sebab aku tanpa aku tak lagi aku...

(‘Akudalam Di Bawah Kibaran Dosa).

 

Salam takdzim:

 

Ahmad Maulana S.

Kepala Suku Genk Cinta yang Penuh Konflik Taoen 2222 SM.

 

-oOo-

Ikuti Event Surat-menyurat di SINI

 

Awas! Status ini menuntut kelegowoan untuk membacanya!

Bagi yang tidak sepaham dengan isi tulisan ini, mohon pemaklumannya, karena tulisan ini murni sekedar ‘rekaman peristiwa’ di era sebelum gadget dan internet, dan bukannya ‘kumpulan tafsir’ tentang agama, moral, kehidupan juga cinta. Salam hangat persahabatan… ^_

(Surat fiksi yang ke-3 masih fragmen tentang Mulan, yang rencananya ditujukan kepada Kompasianer Umi Setyowati, penggemar cersil usil bernuansa cinta).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun