(‘Ah, Andai...’ dalam Tinta Kepedihan)
Tak ada seorangpun yang tahu betapa amat lelahnya saya menyembunyikan Si Bay dan dunianya dalam diri saya. Teman-teman SMU hanya tahu bahwa saya seorang slebor pemancing tawa tanpa pernah memiliki sedikitpun keseriusan dalam menyikapi hidup, atau mungkin juga sekedar remaja tengik tanpa secuilpun potensi yang berarti selain sekedar menjalani hidup dengan kekonyolan yang amat menyebalkan.
Berbanding terbalik dengan Keluarga Besar Arsitek Semut Mengukir Aksara yang mendaulat saya sebagai ‘Elder Brother’ pada nyaris semua lini kehidupan mereka. Sementara sobat kampus saya, meminjam ucapan Si Eksentrik, “Ada orang-orang yang emang udah takdirnya buat jadi tameng, Bay...” menjadikan saya selalu berada dalam posisi terdepan dari setiap kejadian, tak peduli apakah keadaan tersebut masih dalam batas tanggung jawab saya atau bukan, yang tidak hanya membuat bete angkatan atas dengan sikap non-cooperative terhadap aturan yang ada, melainkan sekaligus mendaulat saya sebagai selebritis dadakan dengan terlalu banyak foto di koran dan rekaman kameramen saat demam aktivis menyeret saya ke pusat pusaran segala macam demo.
“Lagi ngupil lo, Bay...” ucap Dian lucu melaporkan siaran demo di TV yang mungkin di ‘gudang’ wakil rakyat-Senayan, atau ruang temu-dengar SetNeg yang untuk masuknyapun harus melewati pos penjagaan yang lebih tebal dari kue lapis saking banyaknya, yang membuat saya menyesal kenapa tak menyimpan upil tersebut sebagai kenangan bagi anak-cucu mengingat proses kreatifnya telah tersebar amat luas ke berbagai daerah lewat kamera, hihihi… ^_
Saking seringnya wajah saya tertangkap kamera, hingga menjadikan pipi tipis dan muka tirus (haha... ^_), dan mengundang banyak teman lain jurusan yang meledek melalui buku Soe hok gie yang saat itu baru terbit, yang juga saya rekam dalam cerpen Tarian Seorang Demonstran yang juga pernah saya posting di link yang ini. Sementara teman-teman UI Salemba di Masjid Arief Rahman Hakim mengomentari dengan ucapan, “Orang-orang seperti Antum yang harusnya bisa menyelusup ke komunitas kiri...” dengan tatapan melekat pada tubuh jangkis saya dengan rambut sepundak yang di kepang kecil di kiri-kanan seperti naga. Karena sereligius apapun saya waktu itu, tetap saja gambar diri saya lebih terlihat sebagai seorang ‘pemakai’. Nasiib...! Nasib!
Tapi haruskah hidup melulu dibelenggu dengan segala macam kotak dan batasan...? Sementara kenyataan yang sekarang tak lagi membolehkan kita untuk secara mutlak mendefinisikan bahwa hitam adalah hitam, dan putih... tak sekedar hitam yang ditutup-tutupi!
Masihkah diperlukan label dan merek tertentu dalam memandang seseorang atau sesuatu, seperti kita membedakan jenis dan rasa permen, misalnya?
Si H ‘kiri’, vonis kita terburu-buru hanya karena dia selalu mengepalkan tangan kirinya ke udara ketika demo, tanpa pernah tahu betapa eratnya kesetia kawanan yang dia punya, atau kesalehan pribadinya dalam setiap ritual keagamaan yang mungkin tak sedikitpun ia lalaikan. Sementara C yang memang tak pernah sungkan menghisap satu-dua linting gele, selalu mengundang kemarahan kita untuk mengutuknya sebagai ahli maksiat, tak peduli betapa kuatnya dia menjalin silaturahim dan mengutamakan sedekah, atau jidat hitamnya yang saya tahu bukan karena riya ketika banyak bersujud kepada Tuhannya.
Perbedaan antara pribumi dan non pribumi? Hal itu yang paling membingungkan bagi saya, sebab mengetahui warna kulit dan ukuran mata ternyata tak banyak membantu.
Sofyan Wanadi jelas cina yang sangat pribumi. Tapi alangkah banyaknya pribumi asli yang bertingkah seolah bukan bagian dari negeri ini, yang begitu ngotot dan oportunisnya berlomba-lomba menjadi antek dari mereka yang jelas-jelas memeperbudak bangsanya sendiri. Dan konsep-konsep mengenai nasionalis, agama dan sekuler mungkin ada baiknya segera didefinisi ulang, terutama ketika banyaknya orang-orang yang terus menggumamkan Al-qur’an namun tetap ngotot memakan renten alias riba. Sementara mereka-mereka yang katanya sekuler justru begitu antusias memelihara anak yatim dan kaum dhuafa layaknya pengikut nabi sejati.