Apa asingnya demonstran menari, barangkali pikiran itu yang akan merasuk ke benak setiap orang jika ada yang mempermasalahkannya. Bukankah demonstrasi memang lazimnya seperti itu; orasi, manusia-manusia yang terkonsentrasi, barangkali juga sedikit moral dan ketegangan. Dan… tentu saja tarian!
Tapi sebuah tarian bagi Jera bisa berarti banyak hal. Masing-masing dengan kedalaman maknanya sendiri. Kedalaman makna yang menjadi lebih dalam lagi ketika ia memaknainya dengan cara yang begitu mendalam, cermin kedalaman perasaannya yang semakin dalam waktu ke waktu.
Baru minggu kemarin Jera genap berusia duapuluh empat Desember. Dan baru Desember kemarin pula ia menggenapkan empat Desember di kampusnya, setelah melewati Desember-Desember itu dengan gerak yang tertatih. Tapi kearifan memang bukan lagi tentang usia, juga bukan tentang pendidikan. Sebab itu adalah rahasia Allah. Rahasia yang terus ia serap hari demi hari dengan penuh rasa syukur. Lewat tarian kehidupan yang terhampar luas penuh hikmah. Juga, lewat demonstrasi demi demonstrasi yang teramat kerap ia geluti.
Dari hari ke hari, dari demonstrasi ke demonstrasi Jera semakin paham pada demonstrasi. Hingga suatu titik ia mampu membaca demonstrasi hanya dengan sepintas pandangan. Tentang asal kelompok, tujuan serta gaya yang digunakan. Bahkan tak jarang ia berhasil memprediksi ending mereka: Rusuh damai atau cuma hampa.
Tak hanya sampai di situ, demonstrasi terus membukakan hakikatnya kepada Jera. Mengasah batinnya hingga sejernih udara. Tersibaklah baginya segala yang tak kasat mata, menyeruak bersama geletar-geletar makna yang terendap dalam selubung rahasianya. Dan iapun menjadi semakin mengerti. Demonstrasi tak lagi dimaknainya hanya demonstrasi. Pun tariannya, tak lagi sekedar gerak tubuh penetralisir hati.
Ketika para demonstran itu menari ia melihat sejarahlah yang menari, yang bergulir kesana-kemari bersama angin perubahan yang terus dihembuskan. Juga ketika demonstrasi kemudian pecah bersama rebahnya jasad-jasad muda buah prosedur yang salah, ia melihat justru kekuasaanlah yang pecah, yang meluruh bersama segala tirani yang mengungkungnya.
Tak hanya dalam demonstrasi, detak-detak kepekaan yang telah kencang dan memarginal erat di hatinya serta-merta melahirkan interpretasi baru. Kehidupan tak lagi sekedar hitam dan putih baginya. Kadang bercampur-baur, kadang selubung-menyelubungi. Bahkan tak jarang ia harus mengendapkan dulu semuanya hingga ia benar-benar mengerti bahwa hitam memang hitam, dan putih… tak sekedar hitam yang dipoles.
Seperti beberapa waktu yang lalu, ketika ia menyaksikan kerentanan demi kerentanan melanda negerinya, yang memang terlalu rentan terhadap perubahan. Ketika Ambon rusuh ia menemukan mautlah yang rusuh, yang menari dengan beringas dari dalam mata-mata merah dan ikat kepala yang juga merah. Semerah tarian yang ditebarkan mereka: Atas nama maut! Begitu juga ketika negaranya dituding sebagai sarang teroris. Seketika kenyataan memberinya senyum, duka, marah, barangkali juga gemas bercampur geli. Sebab ia melihat justru merekalah teroris itu, yang terus saja membuat sarang di negerinya dengan segala macam penyelundupan, pencucian dan pemutihan uang, dan -terutama sekali- pengkhianatan terhadap kemanusiaan. Berpura-pura sebagai pemberantas teroris dengan terus menarikan teror demi teror.
Dan diusianya kini yang serba tanggung, Jera semakin merasa asing dengan dunianya. Semakin lama semakin terasa keasingannya. Terasa sukar baginya merasai lagi segala yang indah-indah dalam peradaban negerinya. Adat yang bersendikan syariat, yang kemudian bersendikan lagi kepada kitabullah. Semuanya telah menjadi sangat lekang dikelang zaman. Pun ketika, -dengan segala rentang dan jaring yang telah ia bangun- ia masuki lagi pergulatan demonstrasi yang tersisa. Ia tak menemukan apapun lagi di sana selain kekosongan. Kekosongan yang terus menetaskan kebohongan demi kebohongan. Demonstrasi tak lagi suci baginya, tak lagi sakti seperti dulu. Penasaran ia terus mencari. Tapi yang ia temukan adalah déjà vu yang berulang-ulang. Kosong. Bohong.
Juga ketika, dengan harapan yang tersisa, ia masuki lagi sebuah bangunan mentereng di daerah Kuningan, ia kembali terpuruk. Alih-alih memperoleh rasa lega dan tempat bersandar, justru kekecewaan menampar-nampar nuraninya. Sebab di sana, di dalam gedung yang pernah menjadi pusat organisasi orang-orang muda itu, tak sekedar kebohongan yang ia temukan. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat dedengkot-dedengkot organisasi itu, yang dulu berbaris tegap bersamanya menentang tirani ketidak adilan, berubah. Bermetamorfosa sebagai calo-calo penjaja kepentingan.
Uang meraja. Barisan demonstran kini tak lebih dari buruh pengais rupiah: Politik sekian rupiah, kepentingan anu sekian rupiah, pendukungan anu dan penolakan anu sekian rupiah. Sekian hari sekian rupiah. Juga sekian nurani yang teronggok mati.
“Demonstrasi butuh biaya,” jawaban itu yang ia peroleh ketika bertanya tentang harga sebuah perjuangan. Dilanjutkan dengan kalimat-kalimat lain yang tak kalah kelam.
“Justru di sinilah letak perjuangan yang sebenarnya. Selalu siap untuk menggulirkan apapun. Selalu siap untuk memakai jaket dan label apapun. Juga, selalu siap untuk menggunakan kata-kata yang lincah dan bersayap!”
“Bersayap?” Jera bertanya setengah tertahan.
“Ya, bersayap… multi tafsir! Agar keberfihakan menjadi tak terpetakan. Agar job tetap lancar. Agar para ‘penitip pesan’ selanjutnya merasa puas dan nyaman. Biasalah… bermain cantik, sobat!”
Alangkah cantiknya kata-kata itu! Begitu cantiknya hingga membuat perasaan miris yang sejak tadi menyesak di dadanya, terbang, berganti dengan sejumlah besar perih yang terus merintih-rintih.
“Apa asingnya demonstran menari?” Kecut hati Jera mendengar kalimat terakhir itu. Kalimat yang, entah pertanyaan entah pernyataan. Entah pula pembenaran. Dengan langkah kalah ia tinggalkan gedung megah itu, yang kini terlihat begitu kusam di matanya.
Apa asingnya demonstran menari, kalimat itu terus saja terngiang di telinga Jera. Keluar masuk bersama setiap helaan nafasnya. Menghantui malam-malamnya. Mencumbui siang dan menggumuli hari serta minggunya. Kehidupan serasa menyempit di benak Jera. Menjelma kenangan selembar-selembar di pelupuk matanya. Dan pada lembar-lembar itu ia temukan dirinya, dalam berbagai pose dan gaya. Dalam berbagai demonstrasi. Juga dalam berbagai tarian.
Ketika lembar-lembar itu menari ia merasa sebagian dirinya ikut menari. Dan ketika lembar-lembar itu lenyap, ia tetap menari. Terus, bersama kehidupan yang juga menari. Ketika lulus SMU ia menari lewat hati, menari bersama sederet nilai prestatif yang tertera di ijasahnya. Tak lama berselang iapun segera mengerti bahwa ijasahnya, tak berarti apapun selain sedikit kemampuan eksakta, sejarah, juga seketip pemahaman tentang Tuhan dan agamanya.
“Setidaknya sekolahmu lebih tinggi, Nak,” ucap bapaknya mencoba memantulkan sekumtum ketabahan.
“Iya, Pak,” sahutnya pada bapak dan pada kemunduran nasibnya. Ia ingin protes pada Gibran dan mengganti filsafatnya tentang anak.
“Anakmu bukan anakmu,” ucap Gibran lewat buku.
“”Ya, anak Gibran memang bukan milik Gibran, melainkan milik zaman dan nasibnya sendiri,” jawab Jera lewat hati.
“Kehidupan tak pernah berjalan mundur,” ucap Gibran lagi masih lewat buku.
“Tak begitu dengan kehidupanku,” jawab Jera lagi, juga masih lewat hati. Bapaknya seorang buruh berpendidikan rendah. Sementara ia, dengan pendidikan yang lebih tinggi dari bapaknya, harus cukup puas menjadi seorang buruh tak terdidik.
Tapi Jera tak jadi memprotes Gibran. Pertama, ia tak mungkin menggugat orang yang telah tiada. Kedua, filsafat itu ditulis memang tidak khusus untuk dirinya. Terlalu banyak ‘anak’ di belahan bumi lain yang sesuai dengan filsafat itu. Sedangkan ia, barangkali sekedar anomali belahan bumi yang lainnya lagi, yang tak sempat ‘tersentuh’ oleh Gibran.
Setahun lamanya Jera terbelenggu dalam keadaan itu, hingga suatu saat sebuah kesadaran membebaskannya.
“Mengapa saya bernama Jera, Bu?” tanyanya suatu kali kepada ibunya.
“Sebab kami ingin keburukan jera untuk menghampirimu,” ibunya menjawab lembut. Tapi kebijakan yang terkandung dalam suara lembut itu begitu membuatnya tertegun. Betapa tidak, bahkan dalam namanya yang sesingkat itu, begitu banyak doa yang termuat di sana. Doa orang tuanya. Doa orang-orang yang menyayanginya tanpa batas. Juga doa yang tak akan pernah tertolak oleh Sang Maha Doa.
Diam-diam Jera memandang wajah ibunya dengan haru.
“Apakah Ibu menyesal dengan keadaan Jera?” tanyanya lagi dengan hati-hati. Sejenak ia melihat kerut menghiasi kening cinta itu, sebelum akhirnya kembali embun.
“Tak ada satu pun alasan untuk itu, Nak,” kesejukan yang deras terpancar dari lidah dan senyum ibunya.” Bapak dan dirimu saja sudah cukup bagi Ibu. Tapi Allah bahkan memberi lebih dari yang Ibu pinta… kebahagiaan, juga kehidupan yang penuh berkah.”
Itulah kali pertama jiwa Jera bergetar. Serasa jutaan cahaya merasuk ke dalam otaknya dan menarikan begitu banyak pencerahan bagi gelap hatinya. Berkali-kali istighfarnya melangit. Alangkah tak bersyukurnya ia! Alangkah lalainya! Ia yang terlahir tanpa membawa apapun, begitu sibuk menginginkan apapun, bahkan ketika ia sebenarnya telah memilikinya. Bagaimana pula ketika ia harus meninggalkan apapun itu, kelak ketika ia ‘kembali’, dan tanpa membawa apapun.
Tiba-tiba saja ia merasa begitu kerdil. Ia yang sempat tak percaya pada rahmat dan kebesaran Allah, bahkan ketika ‘Sang Sumber’ itu telah jauh-jauh waktu mempercayainya, sebagai wakil kepercayaan –Nya atas bumi.
“Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi dan hanya kapada –Nyalah segala puja mengendap,” bisik Jera dengan penuh takzim.
Dan bisik penuh takzim itu kian kerap tergelincir dari bibir Jera. Tak lagi hanya dalam sujud panjangnya sebab semesta, memang tak pernah alpa mendistribusikan berlaksa karunia –Nya.
Kian hari kian kerap saja Jera membisikannya. Ketika akhirnya ia mampu kuliah, bisiknya semakin menjadi. Dalam organisasi kampusnya ia temukan bisik itu dalam bentuk lain. Dari rohis ia peroleh ruh baru yang kian memekatkan bisiknya. Hingga akhirnya, ia terdampar pada sebuah dunia yang penuh dengan pembisik seperti dirinya. Lantas saja hatinya terpaut. Dan sejak saat itu ia tak pernah berhenti menari bersama mereka. Menari, menebarkan makna-makna baru yang terefleksi dari bisik itu… lewat demonstrasi!
Kumandang takbir yang setengah sayup membuyarkan tarian memori Jera. Ia melirik pergelangan tangannya. Rupanya sudah masuk waktu dzuhur. Sejenak ia menajamkan telinga, mencari asal gema keilahian itu. Dan setelah memperoleh kepastian, susul menyusul langkahnya menuju ke sana.
Baru saja Jera menjejakkan kakinya di pintu masjid ketika sebuah pemandangan memberinya perasaan asing. Aneh. Alangkah banyaknya jamaah yang shalat! Bahkan masjid yang sebesar inipun hampir tak mampu menampungnya.
Sejenak ia merasa ragu. Otaknya kembali menari, mencoba memaknai lagi senti demi senti peristiwa yang terendap di kepalanya. Apakah ini hari Jum’at? Hari Raya? Lalu.. niat apakah yang akan ia lafadzkan? Ah, tapi…
Mendadak saja sebuah ingatan menyentak kesadarannya. Ditepuknya kening keras-keras. Bagimana mungkin ia bisa lupa? Bukankah ini hari Selasa? Hari di mana ia punya janji dengan dosen skripsinya? Dan bukankah baru satu jam yang lalu ia mengakhiri pertemuannya itu, setelah tiga jam lamanya ia berkutat dengan bab- bab yang penuh revisi, setelah –sebelumnya- hampir dua jam lamanya ia harus berputar-putar mencari rumah sang dosen? Secepat angin ia menuju tempat wudhu, setengah berlari, untuk kemudian mengejar takbiratul ihramnya yang terlanjur masbuk.
Usai rawatib, Jera keluar dari masjid. Hatinya kini terasa enteng. Sebuah perniagaan telah lagi usai ia lakukan. Perniagaan yang amat menguntungkan. Betapa tidak, tak sekedar menukar doa dengan surga, bahkan ia beroleh rasa tenang yang tak hingga usai melakukannya. Usai berdzikir, usai mengingat –Nya, usai mengadukan segala kesukarannya. Jika saja sore nanti ia tak harus bekerja, ingin rasanya ia terus berkhalwat. Memutar-mutar tasbih hingga milyaran kali, misalnya. Tapi ia butuh bekerja, butuh lembar-lembar bernominal untuk membayar kuliah.
Tapi sekali lagi langkah Jera tertahan. Sebuah pemandangan kembali menggelitik hatinya. Dilihatnya jamaah yang tadi shalat bersamanya, meruah di halaman masjid. Dengan pandang seksama ia tangkapi sosok itu satu-satu. Telinganya mendenging, menangkap suara mikrofon yang tiba-tiba terdengar.
Hanya butuh hitungan detik bagi Jera untuk memahami semuanya. Instingnya telah sangat terasah. Begitu juga batinnya, telah kilap. Bahkan sebelum mereka bertindak lebih jauhpun ia telah paham. Ya, ini adalah demonstrasi!
Sejuta kegeraman tiba-tiba menetas di hati Jera. Sejuta kemarahan. Ingatannya kenbali melayang ke masa kemarin. Ke masa kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi. Tiba-tiba ia merasa begitu benci pada demonstrasi. Pada orasi dan setumpuk kebohongan yang tengah dihembus-hembuskan. Dan kebencian itu mendaki puncaknya hari ini, siap untuk segera membuncah. Dipandanginya mereka dengan tatapan seribu jarum. Tajam juga menusuk. Alangkah ironisnya? Bahkan kebohongan itu kini telah mengotori kesucian masjid!.
Tapi pada tatapan yang kedua itulah insting Jera kembali berderak. Kali ini geliatnya kacau. Setumpuk kerut serentak hadir di keningnya.
Demonstrasi apa ini? Dari mana? Untuk apa? Jera terus berusaha menebak-nebak. Tapi tak satupun kesimpulan yang mampu ia buat. Hatinya berbalut penasaran yang besar. Bagaimana mungkin? Ia yang telah begitu lebur dalam demonstrasi, bahkan mungkin lebih demonstrasi dari demonstrasi itu sendiri, tak mampu menyarikan demonstrasi yang tergelar di hadapannya. Semakin ia berpikir, semakin pula ia tak paham. Tak ada jaket dan label. Juga tak ada ciri lainnya. Yang terlihat hanya... (bersambung kapan-kapan).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H