Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pemberontakan Aldy, Kematian Desol dan Kado Buat Admin Baru

20 September 2015   00:55 Diperbarui: 20 September 2015   00:57 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Pusing abis baca Pakde Kartono versus Gayus Tambunan, malah jadi ngelanjutin cersil semau gue dah akhirnya. Selamat membaca…^_ ).

 

TUJUH PUKULAN KORUPSI PENUH BISA.

Baru saja Dayat ingin menanggapi kisah Sunan Kalijaga yang baru didengarnya itu, ketika wajah Paman Bay mengeras tiba-tiba.

“Ada apa Paman?” bisik Dayat sambil bergegas mengkeret ke samping Paman Bay.

“Paman merasakan ada banyak hawa pembunuh yang mengarah ke tempat kita” sahut Pman Bay dengan berbisik pula.

Baru saja Paman Bay selesai menjawab, ketika 7-8 orang berpakaian buruh pelabuhan mengepung mereka. Salah satu dari mereka terlihat sibuk menelepon sambil sesekali memberi instruksi cara mengepung yang sesuai dengan selera murahan para punggawa Istana.

“Iya nih Pak Kaur Ekonomi, bilangin sama Kades, kalo meriksa kantor saya begitu caranya mending saya mundur saja dari Kantor Pel Desa!” geramnya sambil membanting hape dan berkoar-koar betapa Perusahaan Ngepel Indo untung besar di tangannya, walau entah benarkah di tangannya atau justru di selipan baju bawah tangannya.

“Kau yang bernama Bay Si Pemimpin Bayangan itu…?!” bentaknya tiba-tiba ke Paman Bay.

Paman Bay mengangguk tegas. Matanya tajam menyoroti satu-persatu pengepungnya. “Dan kau pasti Rhino Si Badak Pelabuhan yang kemarin kebakaran jenggot itu.” kecam Paman Bay tandas.

Wajah Rhino yang merah padam semakin murka mendengar sindiran pedas Paman Bay. Tangannya yang sejak mula mengepal berangsur menghitam, dengan buku-buku jari yang mengkilat seperti crane pelabuhan Tanjung Priuk yang sempat mencuri perhatian lalu tenggelam kembali di telan isu yang lain.

“SIAPA YANG KEBAKARAN JENGGOT DAN LANGSUNG MENGADAKAN RAPAATTTT…!!!” raung Rhino langsung menghantam Paman Bay dengan rangkaian jurus Tak Jadi Masuk Hotel Prodeo Sambil Pura-Pura Marah, yang disusul dengan sapuan Beking Yang Kuat Amat Bermanfaat Pada Masa Darurat.

Wuutt…!

Secepat kilat Paman Bay menghindar dengan gerakan Lenggang Jakarta Semakin Kedaluarsa.

Tapi agaknya gerakan itu memang benar-benar sudah kedaluarsa sesuai dengan namanya. Kecepatannya kalah setindak dari tangan hitam yang datang menggempur.

Sret! Sret!

Paman Bay mengeluh tertahan. Punggung lengannya tercabik dan langsung hangus terserempet pukulan Rhino, membuatnya berpusing satu kali sebelum akhirnya terdagar-dagar ke belakang. Jubah hitamnya koyak dan tercerabut tak karuan, dengan luka pedih yang anehnya membawa serta sejenis perasaan malu yang menjalar dari mulut luka.

“Tujuh Pukulan Korupsi Penuh Bisa…!” desis Paman Bay dengan penuh kaget. “Sejak kapan Si Rhino menguasai jurus-jurus keji Kitab Senayan Memalukan yang kabarnya warisan VOC itu?” pikir Paman Bay.

Tapi Paman Bay tak sempat berpikir lama, karena kembali Rhino menghantam dengan jurus Iklan Besar-besaran Semua Pasti Beres yang tak kalah keji dari jurus sebelumnya.

Tak sempat mengelak, Paman Bay langsung menghirup napas dua kali dua sama dengan empat (kenapa jadi kayak anak SD yah?) dan menyongsong hantaman Rhino dengan gagah berani.

“Tapak Kerinduan Yang Memuncraaattt…! Hiyaaaatttt…!!!”

Dess…! Dess…!

Dua pukulan sakti bertemu di udara menimbulkan letup yang mendenging, membuat lapak pedagang kaki lima yang ada di Malioboro porak-poranda seperti habis diterjang putting beliung.

Paman Bay tergetar mundur. Sementara Rhino terpental hingga 5 tombak jauhnya dari tempat semula, untuk kemudian jatuh telungkup tak bergerak lagi.

Belum lagi tegak berdiri Paman Bay, ketika tujuh pasang pukulan menghantam susul-menyusul. Sekuat daya Paman Bay menghindar. Tapi apa daya, dua kepalan memang jauh dari cukup untuk menahan empat belas kepalan. Apalagi racun di luka lengannya mulai kaku dan ngilu hingga ke dada, membuat napasnya terasa agak sesak dan gerakan tubuhnya tak selentur semula..

Berkali-kali tubuh Paman Bay menjadi sansak pukulan yang datang menghujan, sebelum akhirnya sebuah tumbukan di belakang kepala menyeret kesadarannya hingga nyaris tak tersisa

“Pe-Pengecut…” erang Paman Bay, sesaat sebelum kesadarannya benar-benar musnah.

“Anda tidak apa-apa, Bos? Anda tidak apa-apa, Bos?” pertanyaan senada sahut-menyahut dari mulut anak buah Rhino yang merubung pimpinannya yang baru siuman itu.

“Aku tidak apa-apa… Hey… kembalikan dompetku sial…!” tegurnya pada salah satu anak buah yang sepertinya mantan copet terminal.

“Ma-maaf, Bos, kebiasaan lama susah hilang,” ucap si mantan copet sambil tertunduk takut.

“Sudah… Sudah… Gotong aku kembali ke kantor…!” perintah Rhino.

“Bagaimana dengan orang ini, Bos?” tanya salah seorang anak buah.

“Biarkan saja. Tak sampai 40 menit pukulan beracunku akan merenggut nyawanya. Yang penting bawa remaja yang tadi bersamanya ke kantor. Heh…! Kemana bocah itu?! Wah… cari cepat...! Bisa berabe aku jika tidak menyetorkannya ke Bos Jekey… Cariii…!!!”

Serentak anak buah Rhino lintang pukang mencari remaja bernama Dayat tersebut, yang kembali membuahkan caci-maki dari Rhino sebab tubuhnya terbanting keras ketika anak buah yang memapahnya ikut-ikutan mencari.

“Sebagian gotong aku ke kantor dulu, bodoh…!!!”

***

PEMBERONTAKAN ALDY, KEMATIAN DESOL DAN KADO BUAT ADMIN BARU

 

Pang Kehutanan, Waktu Indonesia Bagian Kalimantan.

Suasana tegang menyelimuti Pang Perkebunan pimpinan Aldy M Aripin. Ratusan mayat bergeletakan silang-sengkarut di semak belukar sisa pembakaran hutan yang rutin mengekspor asap ke kerajaan tetangga.

“Bagaimanapun juga aku adalah Pemimpin sebuah Pang, dan kalian benar-benar tak pantas melakukan ini semua kepadaku…” ucap Aldy sedih sambil menghampiri mayat-mayat anggota Pang Kehutanan asuhannya. Hatinya pedih melihat rekan sejawat bawahannya meregang napas dengan cara yang amat sadis, dengan tubuh gosong dan tak lagi utuh.

Tapi Desol dan Febri masih saja tertawa-tawa. Tak ada sedikitpun bekas membunuh seperti yang baru saja mereka lakukan.

“Pemimpin Pang katanya, Des, heu… heu… heu… celeguk!” gelak Febri.

“Ngimpi dia, Feb, wakakakaka… Sudah tinggal dia sendirian masih saja berlagak Pemimpin sebuah Pang. Entah Pang apa yang dia maksud. Atau barangkali Pang Tahi seperti yang sering aku posting di blog keroyokan itu kali yah, wakakakaka…” sambut Desol dengan penuh cekakak-cekikik khas dirinya.

“Tapi apa salah saya? Bukankah saya hanya berbicara dan berkomentar sesuai dengan kondisi? Mengapa jadi berbalik saya dicaci dan seluruh anggota Pang Kehutanan saya di genoside?” bantah Aldy masih dengan suara yang penuh getar kesedihan.

“Heu… heu… heu… Masak kau kudet  alias kurang apdet, Aldy…? Bagi kami Sepasang Pendekar Belati Hawa Nafsu, membunuh siapapun tak pernah butuh alasan. Saat kami mulai birahi, saat itu pulalah nafsu membunuh kami musti tersalurkan, celeguk!” sesumbar Febri, kali ini dengan sorot mata yang mulai terlihat beringas.

“Sudah jangan banyak cerewet, Feb, salah sendiri Si Aldy ini sok jago menentang perintah Adhieyasa dan Rindy. Malah berani-beraninya dia mengatakan bahwa Datuk Perkebunan Iblis tak lebih dari pemimpin sarang priyayi tempat segala macam ketidak efisienan kerja menyinggasana. Benar-benar dia minta dicolek belati mustika kita, wakakakaka…”

Masih sambil tertawa cewakwakan ketika Desol membidik Belati Merah Jambu Bercampur Ungu ke arah Aldy, berbarengan dengan lemparan serupa yang dilakukan Febri dengan gaya berputar seperti bumerang.

Dibokong seperti itu, sontak kemarahan Aldy membuncah. Dilemparnya topi rimba khas miliknya memapak belati Desol, sambil bersalto menghindari belati Febri yang berbalik menusuk dari belakang.

Cres! Swing!

“Heu… heu… heu… Punya mainan juga rupanya kau, Aldy, pantas berani banyak bertingkah di hadapan kami, celeguk!”

Febri menggandeng tangan Desol, menyatukan hawa murni untuk kemudian mendorong tangan yang bergandeng itu ke bagian kaki Aldy yang masih di udara dengan gerakan Melihat Maut Sambil Berfiksi.

“Kalian pikir jurus mainan kanak-kanak tersebut mampu menakutiku?” gertak Aldy sambil menutulkan kaki kanannya ke kaki kiri untuk meminjam pijakan Memanjat Awan Bersama Asap Kebakaran Hutan dengan gerakan yang benar-benar mengagumkan

“Gingkang bagus…!!!” tanpa terasa Desol dan Febri memuji berbarengan, sambil kembali melancarkan Serpihan Rindu Di Ruang Hampa ke atas.

Tapi kematangan silat tokoh sekaliber Aldy ini agaknya memang telah cukup matang. Tanpa gugup sedikitpun dia langsung meluncur ke bawah dengan gerakan Langit Mencinta Bumi Menerima, untuk kemudian mendarat dengan amat ringan di tanah.

“Masih ada permainan bocah TK yang lain?” ledek Aldy.

“Kurang ajar! Bagaimana kalo kita keluarkan jurus Si Ella Kawin Kemarin! Lalu Kita Kapan Kawin yang baru kita pelajari itu, Feb?” seru Desol.

“Lha… Kalo Si Ella udah kawin, kapan giliran kita, Des?” bingung Febri.

“Ini cuma nama jurus Febriiiiii…! Jangan bercanda waktu gue PMS dong, ga lucu banget tauuu…!” umpat Desol uring-uringan.

“Heu… heu… heu… Mana ku tahu kalau kau lagi ‘dapet’ Des, kupikir itu sindiran kau agar aku mengawinimu sesegera mungkin, celeguk!” jawab Febri dengan tersipu-sipu.

“Ah, dasar pejantan layu kau, Feb…! Kau pikir aku gila apa, di saat segenting ini malah meributkan urusan kawin…?!” sengat Desol.

“Hey… caci-maki pejantan layu itu bukannya untuk Si Pakde yang tengah marak sebagai tersangka penyamaran GT itu, kan? Kenapa aku kena juga? Memang kau tahu bahwa punyak…”

“Udah jangan protes aja, Febbbbb… Atau beneran gue bikin layu sekarang juga mau lu…?!” teriak Desol sambil susah-payah menghindari serangan Aldy. “Elu lagi, Aldy, beraninya nyerang gue doang yang perempuan. Sekali-kali gantian serang si Febri ngape…?! Kan kasihan dia jumpalitan dari tadi padahal enggak diserang, jadi kayak pencitraan aja…!”

Tap! Tap! Tap! Tiga tubuh mendarat di tanah berbarengan dan membentuk segitiga sama edan, untuk kemudian tak bergeming sedikitpun.

“Perlu break ngopi dulu apa enggak nih, Al?” tawar Febri ngos-ngosan bekas berjumpalitan tak karuan tadi.

“Boleh… tapi nanti setelah kau menyusul anggota Pang Kehutananku ke Raja Akherat…!” damprat Aldy emosi sambil melakukan gerakan serupa Cilok Dicelupin Ke Sambal Kacang, yang dibalas oleh Febri dengan gerakan Bikin Es Lilin Kudu Digoyang, membuat Desol mendelik karena jurus tersebut memang bukan ajaran Kitab Duo Belati Fiksi yang mereka pelajari bersama.

Langsung saja Febri keteteran, membuat Desol menggigit-gigit kuku jarinya dengan amat cemas.

“Hajar dengan jurus ke lima juta tujuh ratus enam puluh Sembilan koma tiga, Feb…!!!” teriak Desol.

Kembali mereka bergandengan tangan, dan kembali terlontar sebuah jurus yang amat mematikan.

Jurus Diksi Untuk Fiksi…!!! Hiyaaattt…!!!”

Trerereetttt…!!!

Pijaran api berloncatan dari sela-sela benturan tangan Sepasang Pendekar Belati Hawa Nafsu, ketika Aldy Si Pemimpin Pang Kehutanan menyambutnya dengan pukulan Peri Hutan Berjinjit Genit di tangan kanan serta jurus Mungkinkah Ahok Terjungkal Karena Sumber Waras di tangan kanan.

Kembali dua pihak mengeluarkan jurus andalannya, dan kembali tumbukan besar membatas di garis antara pijakan kaki mereka.

“Pungguk Merindu Berbulan-Bulan…!!!” serang Febri dan Desol.

“Mengecup Embun Melindungi Hutan…!!!” balas Aldy tak kalah beringas.

Duarrr…!!!

Tiga sosok terpental ke belakang. Tapi kali ini Febri dan Desol bersiap-siap mengeluarkan ajian paling pamungkas milik mereka.

“Jurus Kentut Melempar Iblis...! Hiyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaattttttttttttttttttttttttttttt…!!!”

Tapi dengan gerakan jurus yang tak kalah sebatnya, Aldy melayani mereka hingga titik darah yang terakhir.

“Ini buat seluruh anggota Pang Kehutanan yang kalian bunuh! KAAMEEE… HAAMEEE… HAALAAAHHH…!!!”

DUAAARRRRRRRRRRR…!!!!!!!!!!!

Ledakan maha dahsyat menggelegar memenuhi angkasa berbarengan dengan jerit menyayat Desol yang tubuhnya terbang menabrak pohon besar hingga hancur berserakan, untuk kemudian terus melayang dan jatuh ke sungai.

Plung…! Begitu bunyi jatuhnya Desol ke sungai, yang lantas hanyut terbawa derasnya aliran sungai, membuat Febri yang terjengkang muntah berak sekuat tenaga merayap memburu Desol sambil meratap pilu.

“Des… Jangan tinggalkan aku, Des… Des…”

“Des…”

Des… TIIIDAAAAAKKKKKKKKKKK…!!!”

Sementara itu, nasib yang tak kalah buruknya menimpa Aldy. Mantan Pimpinan Pang Kehutanan yang pernah tersohor sebagai sosok impulsif yang membela anaknya waktu di-bully di Padepokan Pengetahuan Umum Negeri itu kini tergeletak tak berdaya dengan napas kembang-kempis.

Berkali-kali Aldy mencoba bangkit, tapi selalu berakhir dengan kegagalan layaknya ABG yang sukar bangkit dari kisah cintanya yang lebay menyedihkan.

“Huaaakkk…!!! Prut…!”  setelah beberapa kali muntah darah dan kentut kecil, akhirnya Aldy mampu duduk.

“Apakah ini adalah akhir hidupku?” gumam Aldy dengan pandangan mata yang penuh seribu kunang-kunang di Manhattan karyanya Omar Kayam yang tersohor itu. “Andai saat terakhir ini aku masih bisa menyeruput secangkir kopi dan menghisap sebatang kemerdekaan, alangkah indahnya…” kembali Aldy bergumam dengan agak kacau. Barangkali beberapa sel syarafnya terputus buah ‘Ledakan Besar’ tadi.

Dengan amat tertatih Aldy menyeret kakinya menjauhi lokasi pertempuran. Sesekali dia terjerembab, untuk kemudian terus berupaya bangkit dan kembali berjalan. Terus seperti itu hingga pada sebuah Gua dia berhenti. Lebih tepatnya kembali terjerembab dan berada dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar.

Tapi pada kondisi seperti itulah dia justru teringat wacana terakhir yang sempat dibacanya di “Kompasiana- Situs Resmi Tempat Pendekar Sejagat Berbagi Jurus Tanpa Ingus” beberapa saat sebelum Duo Pendekar Belati Hawa Nafsu tersebut datang dan menghancurkan Pang Kehutanan Milikinya.

“Ternyata benar ucapan Si Pendekar Literasi Mike Reyssent, bahwa fiksi bikin ngeri karena tak ada batasan sama sekali. Ugh…  Seperti tadi saat aku coba-coba mengeluarkan jurus yang pernah ngetop di serial Dragon Ball malah begini akhirnya… Tahu begini aku gunakan saja jurus Era Kehutanan Menggunakan Paperless yang memang sudah cukup matang kupelajari itu, huh! Agaknya mulai detik ini aku harus ekstra berhati-hati dalam menghadapi tokoh pendekar fiksi yang benar-benar seenak udelnya dimasukkan pengarang ke cerita silat ini… Huk… uhuk… Huakkkk…!”

Kembali Aldy muntah darah, dan kembali tulisan ini mesti berjeda…

***

KADO BUAT ADMIN BARU.

Pulau Jawa, Waktu Indonesia bagian FC.

Hiruk-pikuk perayaan pengangkatan Cianbunjin Partai FC masih semarak ketika tiba-tiba salah satu anggota partai yang masih hijau datang melapor.

“Ada apa ini? Apakah Trio Rahab Ganendra, Ando Ajo dan Selsa datang kembali meminta ulang jabatan Cianbunjin yang kemarin mereka tinggalkan?!” bentak salah satu Paspamci alias Pasukan Pengaman Cianbunjin dengan wajah keras.

“Ti-tidak, Mas Paspamci, bukan itu…” jawab si pelapor dengan agak gemetar.

“Lalu apa…?!” teriak Paspamci yang lainnya dengan mimik yang tak kalah galak dari Paspamci pertama.

“Ng… anu.. Mas Pas… anu…”

“Anu-anu apa?! Anunya siapa yang anu-anu?! Jangan lama beranu-anu dan membuat postingan ini jadi terkesan habul, mengerti…?!”

“Iy-iya, Mas Pas… anu… eh, maksud saya… ada orang hanyut di sungai belakang kuil…” ucap si pelapor sambil memerintahkan untuk menggotong orang hanyut yang mereka temukan masih memeluk batang kayu di sungai tadi.

Ketika sosok hanyut tersebut diletakandi tengah kuil, serentak seluruh anggota partai golongan tua dan kawakan berteriak kaget dan langsung bertabik: “HORMAT PADA LELUHUR PARTAI FC…!!!”

“Ada di… di mana aku…? Dan kenapa gam… gambar wajahku addaa di… ruangan ini…”

Mendadak dua orang mendekat dengan amat hormat, dan kembali bertabik sambil meneteskan air mata kepada wanita hanyut itu.

“Hormat kepada Kokoh leluhur…” seru mereka berdua serempak sambil terus terharu.

“Si… siapa kalian… dan mengapa bertabik dan memanggil bibi kepadaku…?”

“Kokoh adalah leluhur kami dua angkatan sebelumnya yang sempat menghilang dari Tanah Jawa, dan kami adalah Cianbunjin Partai FC yang baru di angkat beberapa hari yang lalu melalui penunjukan langsung dari pejabat lama yang mandeg pandito… Saya Kelvin dan ini Sri Subekti… Mohon Kokoh menerima kembali jabatan Cianbunjin tunggal Partai FC,” jawab Kelvin sambil kembali bertabik.

“Tidak… tidak… aku masih tak paham tentang apapun…”

Kembali Kelvin dan Sri Subekti bertabik, untuk kemudian menceritakan kejadian menghilangnya salah satu leluhur partai setelah ontran-ontran yang amat menggemparkan itu.

“Demikianlah Kokoh, setelah Kokoh berkelana dengan ci-hu Febri dan menggegerkan Rt persilatan dengan jurus Belati Hawa Nafsu, sejak itulah tak ada lagi angkatan kami yang mampu melatih ilmu tersebut. Bahkan kiamhoat jurus Sajak Sikil Papat pun tak pernah berhasil kami selami karena maknanya yang terlalu dalam…” terang Kelvin seraya langsung melantunkan kiamhoat berbentuk tembang tersebut dengan amat lantang dan berirama.

 

Bapak pucung…

Sikil papaaat… nganggo kuukuuuu…

Buuntuuuut nglewer doowooo

Gaweaneee tungguuu pariii

Tikus tekooo… ditubruk mati sekolooo…

 

“Dan kiamhoat lanjutannya semakin membuat kami bingung memaknainya, Kokoh,” lanjut Kelvin, yang lalu kembali menembang.

 

Bapak pucung…

Dudu baluuung… bisa ngacuuuung…

Manggone nang jero saruuung…

Duweke bapak laaan… biyuuung…

……………….

 

“Bagian terakhir yang paling penting itu justru hilang, Kokoh, membuat kami tak pernah mampu mencapai puncak iwekang yang paling tinggi dari aliran sejati partai kita. Untunglah ada Mahaguru Jati yang kebetulan mampir ngombe setelah berjalan kaki jauh sekali akibat kecopetan di Pasar Klewer. Agak aneh juga jika mengingat kemampuan beliau jauh lebih mumpuni tapi tetap menjadi korban (haha… ^_). Dari beliaulah kemudian mendapat tambahan kiamhoat walau memang hanya beberapa patah kata yang amat sulit serta luas pemaknaannya, Kokoh. Dan beliau juga berpesan wanti-wanti agar jangan keliru melatihnya dari urutan yang paling dasar, sebab jika tersesat dapat menyebabkan tingginya libido hingga akan berubah menjadi Pendekar Habul.”

 

sangkan paraning dumadi

manungso urip ono ing donya iku prasasat mung mampir ngombe

ngundhuh wohing panggawe

jalma pinilih

memayu hayuning bawono

Neng mbok menawi Kere ajeg

sugih ruang tamu meniko kanggeh nggambaraken

tiyang gesang

sanadyan mlarat

nanging kathah paseduluranipun

 

Diam-diam Desol mengulang kiamhoat tersebut dalam hati. Tangannya bergerak-gerak mengikuti arahan yang terkandung di dalamnya.

sangkan paraning dumadi

Asal mula dan tujuan akhir dari segala yang ada di dunia. Dari mana semua yang fana berasal? Benarkah dari ketiadaan? Atau justru bersumber dari Dia Sang Causa Prima?

Gerak tangan Desol semakin liar dan cepat seiring gejolak perenungan di dalam batuk kepalanya.

Lantas kemana semua mengakhir? Kembalikah kepada ketiadaan? Atau justru lagi-lagi memuara ke hadirat-Nya?

Kembali gerak tangan Desol kian liar dan semakin kilat, hingga suatu titik Desol merasa ada hawa murni yang besar meluap-luap di tengah pusarnya, memberontak ke nadi kim dan meh yang selama ini belum pernah dapat dia tembus hingga mengakibatkan iwekangnya sukar berkembang.

Tes! Ser…!

Keringat dingin membasah di sekujur tubuh Desol, hingga suatu titik dia tak tahan lagi dan mengikuti dorongan dari dalam tubuh untuk berteriak sambil melompat ke udara

MIAAAAAAAAAAAAAWWWWWWWW…!!!

Brush…!!!

Atap kuil jebol tertabrak tubuh Desol yang penuh hawa sakti tersebut, membuat gempar seluruh yang ada di kuil. Sontak mereka berlari keluar kuil memburu Desol, khawatir terjadi apa-apa pada Kokoh mereka, yang sebenarnya secara usia lebih pantas disebut popo itu.

“Di mana Beliau…?! Di mana…?!” teriak semua orang dengan amat hiruk-pikuk.

Sebuah bayangan meluncur amat pesat dan jatuh berdebum di halaman kuil.

BUMMM…!!!

Debu dan bongkahan tanah berhamburan menutupi pandangan, hingga beberapa saat kemudian mulai terlihat cekungan besar di tanah, dan… Desol berdiri angker di tengah lingkaran dengan mata yang gemeredep.

Kesunyian mewabah, sebelum akhirnya pecah menjadi hiruk yang lebih pikuk dari sebelumnya.

“Hiyooo…!!!”

“Hore…!!!”

“Eurekaaa…!!!”

Terburu-buru Kelvin dan Sri Subekti bertabik ke hadapan Desol.

“Bangunlah… Dan mulai hari ini, kalian berhak atas hadiah hari ini… sebagai wujud dari bangkitnya Partai FC yang kalian pimpin bersama Cianbunjin yang lainnya.”

Kembali Kelvin dan Sri Subekti. Hati mereka gembira luar biasa.

“Kamsiah, Kokoh…”

“Xie xie, Kokoh”

(Beberapa adegan Partai RTC dengan sangat menyesal tak jadi di posting ke cersil ini karena alasan pribadi, mohon pemaklumannya).

 

Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia Babad yang ke-3, Thornvillage-Kompasiana, 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun