“Pedas sekali, Paman, bagi air mineralnya, dong,” tanpa menunggu persetujuan Dayat langsung menyaut botol dan meneguknya. “Tapi betewe, nama Paman siapa, dan mengapa saya Paman culik?”
“Panggil aku Paman Bay saja, Day” jawab Bay kembali menyodorkan piti bakpia ke Dayat. “Pilih yang rasa orek tempe saja, dijamin tidak pedas.”
Habis separuh piti, barulah Bay memulai pembicaraan serius bersama Dayat.
“Sebelum Paman menjawab pertanyaanmu, Day, Paman ingin bertanya terlebih dahulu... Kau pernah mendengar kisah tentang Sunan Kalijaga?”
Dayat menggeleng malu. Sebab di kehidupannya yang serba modern ini dia memang tak terlalu dekat dengan segala yang berbau agama.
Paman Bay menghela napas.
"Paman tak menyalahkanmu, Day. Di masa yang serba cepat dan instan ini, pada akhirnya memang cukup banyak hal yang dipaksa untuk menghilang. Kata mereka: Demi kemajuan zaman, walau seringkali Paman berpikir bahwa yang hilang itulah justru yang mampu membuat kita terus memajukan serta menjaga zaman."
Dayat terdiam, mencoba meresapi ulang pendekatan pemikiran yang baru sekali itu didengarnya, sebelum akhirnya Paman Bay kembali melanjutkan pembicaraan.
“Dalam Babad Jaka Tingkir, pernah terekam kasus unik para petinggi negeri saat itu, yaitu ketika pembangunan Masjid Demak sebagai masjid tertua di Jawa, didirikan tanpa menentukan arah kiblat terlebih dahulu. Seketika kejadian itu menimbulkan perdebatan yang cukup pelik di antara delapan Wali. Tapi, tahukah kau bagaimana akhirnya kasus tersebut tersebut diselesaikan, Day?”
“Mungkin mereka menentukannya melalui voting, Paman Bay, atau bisa saja melalui adu kesaktian.” suara Dayat mulai terdengar penuh hasrat. Tertarik.
Paman Bay terkekeh.