Nomor 26: Ahmad Maulana S.
(Sambungan dari kisah sebelumnya di link judul yang ini: Geger di Tanjung Priuk: Siapa Penjahat yang Sebenarnya? Bagi kompasianer yang namanya dipakai sebagai tokoh pendekar, mohon pemaklumannya karena postingan tersebut murni hanya sebagai hiburan...^_)
Tersuruk-suruk Dayat mengikuti langkah sakti sosok sengak berhidung gondrong yang kini menggandengnya. Matanya perih, hidung berair, dengan tamparan angin yang luar biasa keras efek gerak mereka berdua yang supersonic.
“Tarik nafasmu pelan-pelan, putar sejenak di rongga antara perut dan diafragma, endapkan sejenak, lalu hembus kembali secara zig-zag,” bisik sosok sengak yang menggandengnya itu.
Dayat mengikuti instruksi itu dengan cepat. Satu kali. Dua kali. Tetap tak ada perubahan yang berarti. Baru pada kali yang ke sembilan belas cara tersebut mulai membuahkan hasil. Ada hawa hangat yang menggumpal dalam perutnya, melonjak-lonjak dan perlahan menjalar adil ke seluruh tubuh.
Seperti tiba-tiba saja Dayat tak lagi merasakan siksaan kecepatan. Matanya dapat terbuka secara normal. Begitu juga semua pori di wajahnya, tak lagi sakit seperti sebelumnya. Hanya saja ia masih merasa ngeri melihat pohon dan bangunan yang melaju amat cepat di kiri kanan jalan yang mereka lalui.
“Sudah merasa lebih baik?” tanya sosok di sebelahnya.
Dayat mengangguk, berbalas senyum tipis dari sosok yang menggandengnya.
Entah berapa lama Dayat menjalankan olah pernapasan seperti yang diajarkan tadi, ketika tiba-tiba ia merasa ada guncangan keras menerpa tubuhnya. Ulu hatinya terasa agak nyeri, dengan beberapa rasa kebas yang mendampar di bahu sebelah kiri.
“Tahan sebentar, ada serangan susulan dari arah jam 10,” bisik sosok sengak sambil melambung tinggi ke sudut Timur Laut.
Wutt…!
Tak urung jari kaki Dayat agak linu terserempet entah apa. Kuku jempolnya pecah berlumur darah.
“Kau tunggu di sini sebentar.”
Belum lagi Dayat sempat menjawab, ketika beberapa jerit yang penuh kengerian merobek keheningan di beberapa tempat sekaligus.
Cepat sekali gerakan Sang Pemimpin ini, pikir Dayat.
“Sniper,” bisik sosok sengak berhidung gondrong itu, sebelum akhirnya mereka kembali melesat bersama menembus malam.
***
Malioboro, waktu Indonesia bagian entah.
“Coba yang ini, Day, bakpia rasa gado-gado. Kabarnya limited edition” tawar sosok sengak berhidung gondrong.
Dayat mencomot sebuah dan langsung menggigitnya dengan amat lahap. semalaman mereka berlari tanpa sempat berhenti makan di warteg manapun.
Tapi baru dua kunyahan, mendadak Dayat melepehkan bakpia di mulutnya sambil ber "hah-hah" tak karuan.
“Pedas sekali, Paman, bagi air mineralnya, dong,” tanpa menunggu persetujuan Dayat langsung menyaut botol dan meneguknya. “Tapi betewe, nama Paman siapa, dan mengapa saya Paman culik?”
“Panggil aku Paman Bay saja, Day” jawab Bay kembali menyodorkan piti bakpia ke Dayat. “Pilih yang rasa orek tempe saja, dijamin tidak pedas.”
Habis separuh piti, barulah Bay memulai pembicaraan serius bersama Dayat.
“Sebelum Paman menjawab pertanyaanmu, Day, Paman ingin bertanya terlebih dahulu... Kau pernah mendengar kisah tentang Sunan Kalijaga?”
Dayat menggeleng malu. Sebab di kehidupannya yang serba modern ini dia memang tak terlalu dekat dengan segala yang berbau agama.
Paman Bay menghela napas.
"Paman tak menyalahkanmu, Day. Di masa yang serba cepat dan instan ini, pada akhirnya memang cukup banyak hal yang dipaksa untuk menghilang. Kata mereka: Demi kemajuan zaman, walau seringkali Paman berpikir bahwa yang hilang itulah justru yang mampu membuat kita terus memajukan serta menjaga zaman."
Dayat terdiam, mencoba meresapi ulang pendekatan pemikiran yang baru sekali itu didengarnya, sebelum akhirnya Paman Bay kembali melanjutkan pembicaraan.
“Dalam Babad Jaka Tingkir, pernah terekam kasus unik para petinggi negeri saat itu, yaitu ketika pembangunan Masjid Demak sebagai masjid tertua di Jawa, didirikan tanpa menentukan arah kiblat terlebih dahulu. Seketika kejadian itu menimbulkan perdebatan yang cukup pelik di antara delapan Wali. Tapi, tahukah kau bagaimana akhirnya kasus tersebut tersebut diselesaikan, Day?”
“Mungkin mereka menentukannya melalui voting, Paman Bay, atau bisa saja melalui adu kesaktian.” suara Dayat mulai terdengar penuh hasrat. Tertarik.
Paman Bay terkekeh.
“Kau terlalu banyak menonton fiksi politik dan film kungfu murahan, Day.” Ucap Paman Bay seraya melanjutkan kembali kisah nyata yang kerap tersaji amat mistik itu.
Akhirnya wali kesembilanlah yang berhasil menyelesaikannya. Setelah bertafakur sejenak, dengan tangan kanannya Sunan Kalijaga menjangkau Ka’bah di Mekah, dan tangan kirinya merengkuh pucuk (sirah gada) Masjid Demak. Ditariklah keduanya hingga akhirnya bertemu, sewujud, bertaut:
"Payok Kakbah lawan sirah gada masjid
Dèn-nyataken sawujud
Cèples kenceng datan mènggok"
Maka Islam yang “universal” (Ka’bah) bertaut dengan Islam yang “partikular” (Masjid Demak).
Yang satu tak menghilangkan yang lain, tentu saja selamanya ada latar sejarah setempat dalam tafsir.
Tapi ortodoksi mencoba menampik unsur sejarah setempat itu, yang gerakan awalnya bermula setelah Nabi tak ada lagi.
Dalam memperebutkan pengganti Nabi, tiap kubu menghadapi persoalan yang sama, yaitu bagaimana Nabi terasa hadir secara asli? Dan untuk mendapatkan yang dirasa “asli” itulah kemudian agama dibersihkan dari jejak sejarah dan lokalitas. Yang dekat dihilangkan, yang jauh jadi idaman, sebagai sesuatu yang tegar dan wajib tunggal.
“Dari sanalah semua bermula, Day, hingga puncaknya pada pemilu presiden yang lalu, yang membuat begitu banyak elemen bangsa ini terpecah-belah.”
“Tak dapatkah semuanya diubah seperti masa sebelumnya, Paman?”
“Agak sulit, Day, karena ketika agama telah menjadi 'tujuan' dan bukannya sekedar ‘jalan’ menuju Sang Maha Segalanya, saat itulah agama tak lebih bermakna dari sekedar stempel pelegalan hawa nafsu. Agama yang satu menjatuhkan agama yang lain. Bahkan agama yang sama begitu gemar melempar caci menebar maki, menyembunyikan Allah di lapis kepentingan yang entah keberapa, yang sejatinya mesti menjadi yang paling utama dari yang utama.”
"Dari Masjid Demak kita seharusnya banyak belajar, Day. Bahwa alih-alih membuat tiang dari batu, bata, balok maupun bahan masif yang lainnya, Sunan Kalijaga justru membuatnya dari bahan tatal: Sisa kayu yang mengeriting dan terbuang ketika permukaan papan diratakan dengan ketam. Sebagai simbol bahwa Masjid juga Negara, sejatinya didukung oleh mereka yang terbuang, yang remeh serta yang tak bisa disusun sama rata dan sama rasa. Karena Masjid dan Negara tak akan pernah bisa terlahir dari fondasi yang lurus dan tegak dalam kekakuan, juga bukan dengan lembing dan takhta, yang terlahir dari kekerasan dan kekuasaan..."
Agak pusing juga Dayat mencerna semua pembicaraan Paman Bay, hingga akhirnya ia hanya mampu terdiam, dengan begitu banyak ide dan pemahaman tentang nasionalisme yang jauh berbeda dari yang pernah dikenalnya dulu. Nasionalisme yang benar-benar menyatu tanpa perlu memaksa harus bersumber dari hanya satu. Seperti kebenaran, yang memang tak pernah mewujud dalam bentuk yang serupa di tempat dan kejadian yang berbeda...
Secangkir Kopi Legenda Silat Indonesia, Babad yang Kedua, Thornvillage, Kompasiana, DARemaja, 10 september 2015.
Karya Ini Orisinil dan Belum Pernah Dipublikasikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H