“Uhuk… Ja… jangan dikejar…Uhuk…Orang itu adalah dia… Uhuk…” cegah Adhieyasa kepada Rindy yang kembali bersiap mengeluarkan Ajian Gerbong Peluru andalannya tersebut.
“Kau tidak apa-apa, Dhie?” tanya Jekey dengan khawatir. Dipapahnya tubuh Adhieyasa untuk dipindahkan ke bagian pelabuhan yang terang untuk diperiksa.
“Luka dalamnya cukup berat,” ucap Febri setelah memeriksa nadi dan pernapasan Adhieyasa. “Mungkin untuk enam bulan lamanya kau tak boleh beraktivitas apapun…” lanjutnya.
“Ah, bagaimana jika kita obati dengan Diksi Penghisap Iblis, barangkali cukup dengan mendeklamasi satu-dua paragraf Rima Penuh Noda dapat langsung mengembalikan separuh kekuatannya?” tawar Desol langsung berancang-ancang mendeklamasikan Ratapan Kerinduan Yang Menohok yang memang merupakan keahlian pamungkasnya.
“JANGAANNN…!!!” teriak Adhieyasa, Rindy, Febri dan Jekey berbarengan, dengan mimik wajah yang jauh lebih memelas dibandingkan wajah anak kos tanggal 20-an.
Sontak rambut Desol njegrig. Tersinggung. Tapi sebelum dia mengumbar emosi, dengan mata yang penuh permohonan Febri menatapnya, membuat rambut yang sekaku lidi itu kembali melemas.
“Biar kuantar Adhieyasa ke Padepokan Sawit miliknya,” ucap Rindy, yang langsung dengan amat sigap membantu Jekey memapah Adhieyasa. “Tapi sebelum itu, kita hubungi Konsorsium Empat Datuk Hantu untuk bersama merencakan ulang semua pergerakan. Dan kalian berdua bertugas menghubungi Datuk Perkebunan. Bilang padanya rencana ini akan menambal operasional perguruannya yang terus merugi secara abadi itu.”
Sebelum Desol dan Febri protes, Rindy dan Jekey langsung melesat, meninggalkan keduanya yang penuh dirundung ketidak puasan. Yang tersisa hanya kata-kata “Kita bertemu di Istana pada purnama yang kedua…!” sebelum semuanya kembali senyap.
“Benar-benar sok kuasa, dia,” umpat Febri dengan amat sengit. “Dikiranya enak apa, berhubungan dengan Datuk Perkebunan yang sok priyayi itu… Kita jadi seperti dipaksa makan kotoran,” gerutunya lagi.
“Menurutmu, Feb, mana yang lebih menyebalkan? Makan kotoran atau orang yang memaksa kita untuk makan kotoran?” tohok Desol tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan aneh yang penuh dengan aroma ketidak warasan itu, Febri hanya mampu mendelik layaknya orang yang kelolodan tumis kangkung tapi tak bisa ditelan maupun ditarik keluar. Tetap menyangkut ditenggorokan dan membebani jakun hingga naik-turun dan bergetar tak karuan.