Ditutupnya layar laptop dengan gundah. Napasnya sedikit memburu, dengan embun dingin yang entah kenapa kian akrab menghiasi kening dan tengkuknya itu.
Selalu begitu. Selalu ketika tengah menyelesaikan posting bersambung yang ia buat dalam ‘A Time to be Killed’ melalui dunia virtual, ia terus dihinggapi oleh rasa gelisah.
Diteguknya chia –sejenis minuman khas india campuran teh dan susu- kuat-kuat. Dan setelahnya, ia bangkit, menuju istri tercintanya yang tengah bercengkerama dengan sang putra kesayangan.
“What happened, Rei...?” lembut istrinya bertanya.
“Nothing, Earl... Maybe both of us need to relax sometime,” dengan penuh kelembutan Rei merengkuh pundak istrinya. Sementara Dre sang jagoan cilik yang baru berusia tiga tahun itu memandangnya dengan penuh senyum.
“Of course, Rei, why not...” Earl tersenyum mahfum.
“But i think that Indonesian setting isn’t good enough for you, Sweetheart...” kembali sang istri berkata. Dan kembali Rei tersenyum.
“It just a story, Earl my lovely, just a tale... Eventhough i really hate Jakarta too much, but sometime i miss that ‘black hole’ too...” ucap Rei sambil bergurau tentang Jakarta.
“Thentuw shaje... Khita ken ohreng Jakharta jughe, Kak...” ucap Early Morning Dew dengan amat lucu dan nyaris membuat tawa Rei meledak. Ah, ada-ada aja nih Si Putri Solo. Yah... beginilah jadinya kalau orang terlalu lama berlompatan keliling dunia. Bahkan dengan bahasa aslinya saja dia menjadi agak punya jarak.
Sepertinya sudah tiba saat untuk kembali ke jakarta. Lagipula sudah terlalu lama Rei tidak bertemu dengan orang kaku itu, batin Rei sambil tersenyum-senyum sendiri dengan candanya terhadap sang mertua di North Jakarta itu.
Dan tentu saja rencana tersebut mendapat enthusiasm dari Earl dan Dre. Juga rencana Rei untuk tinggal dengan sedikit lebih lama di sana.