“Tapi Ci telah terlanjur mencintaimu, Ben...” segaris sedih mengalir di pipi yang memucat itu. Napasnya satu-satu.
“Ingatkah Ci pada ucapan sendiri, bahwa cinta tak mesti saling memiliki, dan bahwa cinta yang berdasarkan perasaan, hanya akan berakhir dengan kesedihan...” kembali Ben berkata. Lembut juga getas. Walau dengan sorot mata yang bahkan orang butapun tahu bahwa itu adalah cinta yang teramat besar.
“Mengapa tak kita paksakan saja, Ben...? Bukankah Ben pernah berjanji untuk menemani Ci meniti jalan menuju cahaya...? Dan bersama kita menjadi manusia... yang terus hidup di jalan –Nya... dan selalu menghidupkan jalan –Nya...?” masih dengan terisak Ci berkata. Ada harap di sana. Juga cinta.
Ben tersenyum lagi. Napasnya keras. Berat. Juga memburu dan sedikit sesak.
“Bukankah dengan kehidupan Ci yang saat ini, kita bisa bersama merenda bahagia, walau mungkin dengan penghidupan yang amat sederhana...?” kembali Ci penuh harap, dan kembali Ben tersenyum lembut dan getas.
“Dan setelahnya, bersama kita praktekan yang 70% itu, Ben... Dan bukankah Ben pernah berkata, bahwa dengan kemampuan gabungan kita kelak, hanya butuh hitungan dua tahun untuk kita kembali memiliki segalanya...?”
“Atau kita bisa melegalkannya tanpa sepengetahuan siapapun... Tanpa catatan sipil...! Sambil menunggu segalanya kemudian menjadi ‘sesuai’ syarat dan ketentuan...”
“Atau kita... Atau kita...” dan segala ‘atau kita’ yang terus saja mengalir dari bibir Ci, mengingatkan Ben pada keadaan Mulan saat situasi yang sama dulu terjadi.
Ben kembali tersenyum. Lembut juga hangat. Walau masih saja terasa amat getas.
“Ci bukan Mulan, Ben...! Ci bukan mahasiswa, Ci PNS! Dan kaupun bukanlah Ajo sebab kemampuanmu kini telah jauh lebih besar dari sepuluh atau mungkin sejuta Ajo...! Ben... bicaralah... jangan hanya tersenyum...!”
Ci pejamkan mata, berharap dengannya semua gelap langsung lindap dan terserap lenyap. Namun justru bayang yang lain kembali menyergap.