Dan semua pengetahuan tentang wanita itu memang telah saya miliki, bahkan jauh-jauh waktu sebelum saya duduk di bangku kuliah. Jika sudah begitu, tentu saja saya tak bisa menyalahkan mereka yang telah menganggap saya telah menikah di usia muda, walau seringkali diri saya yang lain tak sabar untuk berteriak: “Gue masih single, woiii...!!!”
Tapi bahkan dengan semua pengertian tentang wanita yang saya punya, tetap saja tak pernah bisa menjadikan saya sebagai sosok yang memahami wanita. Karena mengerti jelas amat berbeda dengan memahami. Dan Mulan cuma pernah mengajarkan saya tentang membaca tanda yang ada dalam diri wanita, tanpa pernah mengajari saya sedikitpun tentang wanita itu sendiri. Bagaimana mungkin kulit dapat menggantikan isi...?!
Dari Mulan pula saya tahu bahwa kearifan lokal dan global yang terdapat dalam kata-kata No Pain No Gain, Jer Basuki Mowo Beo, atau No Money No Doing, yang seringkali saya jadikan pembenaran atas segala ketidak mampuan saya, menjadi tidak sakral lagi. Dengan entengnya Mulan ganti kata-kata itu dengan sederet kalimat sederhana namun cukup terbukti keampuhannya.
“Imposible is Nothing,” ucap Mulan, yang dilanjutkan dengan kalimat pinjaman yang pernah saya ucapkan ke dia, “Yang terpenting kan bukan di mana kita berada, Bay... melainkan di mana kita mampu untuk melakukan apapun yang terbaik yang kita bisa.“
Sejak saat itu saya ditarik oleh Mulan untuk memasuki ‘dunia’ di mana uang bukanlah prasyarat utama, saat kita mampu untuk memanfaatkan hal-hal terbaik –dan juga terburuk- yang kita punya: Secara cerdas!
Informasi dan data jadi begitu penting buat kami saat itu. Juga cara mengemukakan fakta-fakta kepada pihak yang ‘kebetulan’ terkait dengan keinginan dan tujuan. Dan kuliah gratis plus mendapat ‘gaji’ dari UI adalah prestasi terbaik yang berhasil saya peroleh saat remaja, yang masih berlanjut dengan segala macam ‘pengalaman tak biasa’ seperti yang tertera dalam tulisan saya bagian yang pertama.
Lama setelahnya baru saya sadari bahwa Mulan saat itu tengah mengajari saya tentang apa-apa yang kelak lebih dikenal sebagai streetsmart. Mulan ajarkan kepada saya harus ‘menjadi apa dan menuju ke mana’, lengkap dengan ‘bagaimana menjadikannya’. Mengenal lebih dalam setiap garis, bentuk dan warna yang saya temui pada Manusia-Manusia Kunci yang Mulan kenalkan kepada saya.
Ada satu kalimat Mulan yang selalu saya ingat, yang dia ucapkan pada suatu hari saat tengah berada dalam dekapan saya, “Gue enggak mo terima lo yang apa-adanya, Bay... Gue bener-bener pengin lo bisa jadi tempat gue bernaung kelak dari badai dunia...”
Sebuah ucapan yang seringkali jadi sesuatu yang menguatkan saya saat benar-benar terkapar dihantam beribu badai dalam hidup. Dan ucapan itu pula yang kemudian memacu saya untuk mampu menjadi apapun atau siapapun yang Mulan butuhkan.
Dengan logika terbalik saya kembangkan sendiri streetsmart dan Manusia-Manusia Kunci yang pernah Mulan beri. Merubah ‘we must to...’ menjadi ’what if’ dan ’how to...’ hingga saya dapat menjadi seperti yang sekarang ini, yang tahu begitu banyak nyaris tentang apapun dan di manapun.
Saya tahu bagaimana caranya membuat bocah 4 tahun mampu membaca koran di teras rumah, hanya dengan belajar 1 jam sehari.