Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Bersama Teman yang Tepat, Kita Bisa Melakukan Apapun dan Menjadi Siapapun

11 Juli 2015   03:43 Diperbarui: 11 Juli 2015   03:43 1021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Artikel ini diposting sebagai bentuk rasa syukur terhadap sosok-sosok yang pernah menjadi teman terbaik saya, seaneh apapun gaya mereka. Juga perasaan bahagia karena dini hari ini, Kompasiana ‘sedang malas’ lemot hingga saya bisa banyak ber-silaturahim ke Kompasianers lengkap dengan jejak vote serta komen di rumah maya mereka. Thank’s sahabat, thank’s Kompasiana, dan tak lupa juga, tararengkiyu buat Pak Erte –yang sebetulnya tak terlalu saya kenali orangnya tapi saya pahami tanda-tangannya hahahay...-. Semoga bermanfaat bagi sobat maya semuanya…^_).

***

Komunitas yang aneh. Seringkali saya tak sadar bahwa ternyata telah begitu banyak ‘negara’ yang tercipta dalam hidup saya. Lengkap dengan struktur jabatan dan aturan mainnya sendiri-sendiri, yang walaupun terbentuk tanpa aklamasi atau melalui proses pemilihan sama sekali, namun tetap diamini sebagai sebuah kesepakatan yang alami.

Dan berbeda dengan struktur keluarga di mana saya tetap dan terus menjadi ‘anak kecil abadi’ bagi orang tua, yang selalu diwanti-wanti saat sedang apa atau di mana tanpa peduli sudah berapa banyak usia dan ‘jam terbang’ saya, dalam negara ini saya bisa dan bebas untuk menjadi apa saja. Kadang menjadi tameng dan pucuk, walau tak jarang cuma jadi buntut atau mungkin sekedar isi perut. Benar-benar negara yang aneh... yang seringkali lebih saya kenal sebagai genk teman main, kelompok sobat sekolah, sohib kampus, atau yang lebih serius seperti jaringan rekan kerja dan mitra bisnis.

Dalam kelompok pertemanan itulah saya menemukan jawaban yang lain tentang kenapa saya bisa memiliki kehidupan yang tak biasa: Teman tim yang tepat.

Tahukah kau apa watak terkeras dari sejarah? Selalu berulang-ulang! Sebuah jawaban yang cukup aneh, terutama bila mengingat betapa kehidupan seringkali terlihat begitu dinamis dengan berbagai macam peradabannya yang gemar membuat kita tercengang dan ternganga-nganga.

Tapi memang watak itulah yang kerap saya temui dalam hampir semua kelompok pertemanan saya. Selalu saja ada teman yang entah mengapa kemudian menjadi sosok yang paling diandalkan, atau menjadi yang paling ‘dituakan’, yang paling disayang dan dimaklumi segala tindakannya karena mungkin dia yang paling muda atau yang paling lemah, yang spesialis didaulat untuk selalu jadi badut dengan segala banyolan dan tingkah lucunya, dan... tentu saja yang paling membuat sebal karena sikap noraks, konyol dan katroksnya!

Dengan segala keajaiban serta ketidak sepahaman di dalamnya itulah saya menghabiskan begitu banyak waktu bersama mereka, bermasalah dan menyelesaikannya, berkeinginan dan menjadikannya, juga saling memberi dan berbagi: Dalam sebuah kelompok tim yang solid. Bahkan juga terhadap teman yang biang kerok dan brengsek tersebut!

Bersama teman tim yang tepat itu saya kemudian berkembang, serta memiliki kepercayaan diri yang begitu tinggi. Bersama mereka saya tahu bahwa saya mampu untuk melakukan apapun atau menjadi siapapun, dan menghilangkan semua ‘batasan’ yang ada dalam diri saya.

Saya tahu harus bertemu siapa ketika ingin ide saya didengar, ketika saya butuh modal, butuh orang, butuh tempat, butuh kendaraan, atau sekedar butuh seseorang yang tak sungkan untuk mencaci-maki saya sebagai bentuk lain dari introspeksi diri.

Saya juga tahu harus menghubungi siapa saat saya hanya ingin kumpul bareng, sekedar jalan atau ‘tereak-tereak’ dengan suara fals sambil gitaran di pinggir jalan, konvoi motor sampai pagi dan pulangnya terpental karena ban belakang bocor di jalan menurun saat kecepatan nyaris 100 km/jam, hang out di villa, atau ngopi di pinggir laut sambil curhat dan berbicara tentang banyak mimpi yang mendunia.

Tapi mempunyai teman tim yang tepat saja tidak lantas membuat saya bisa memiliki kehidupan yang luar biasa. Apalagi jika ternyata saya hanya menjadi orang yang ‘daripada enggak ada’ dalam kelompok pertemanan tersebut. Ada begitu banyak prasyarat yang dibutuhkan, yang awalnya saya juga tidak paham hingga beberapa kejadian menyadarkan saya tentang semua.

Saya tidak pernah tahu kenapa begitu sering menjadi ‘yang lebih dulu dicari’ saat teman sedang ingin jalan, membuat rencana kegiatan, atau saat mereka tengah bermasalah dengan teman, tetangga, sekolah, kampus, guru, dosen, senior, tempat kerja, bahkan juga keluarga dan mantan pacar! Dan bukannya menghubungi Si Tb yang jago taekwondo, atau si Mn  yang dompetnya 2 jengkal, si Kp yang kalem-alim, Si Id yang pintar, atau Si Ck yang ahli ngocol nomor wahid. Dan anehnya lagi, saya memang seringkali mampu menyelesaikan masalah mereka.

Saat ada yang bilang, “Bay, Si Mimi di-palak topinya tadi pagi, tapi enggak kena...” Langsung siangnya saya temani cewek mungil itu menyatroni Kawasan Pecinan-Glodok, dengan mata saya yang seperti tukang copet karena terus melirik kanan dan kiri mencari siapa ‘tukang palak’ yang telah membuat Mimi tidak pede pulang sendiri. Juga di Kalibata, Otista, dan nyaris di Darmaga-Bogor, seakan-akan tampang saya yang sengak cukup ‘menjual’ untuk dijadikan spesialis pelindung wanita.

Atau di waktu yang lain ada yang kembali minta tolong karena diancam akan dihancurkan hidupnya oleh sang mantan pacar, saya tak melakukan apapun untuk menolongnya, selain mengajaknya agar ‘terlihat dari jauh’ tengah bersama saya di depan mantan tersebut –yang posturnya mungkin dua kali lebih berisi dari tubuh lidi saya- sambil tak lupa saya beri dia mantra yang menenangkan, “Bilang aja ke dia, Bay ada di belakang lo...”.

Saya bukan si hebat, atau orang yang jago silat. Tapi tak perlu sejenius Einstein untuk tahu berapa banyak begundal yang sungkan untuk cari penyakit dan berpeluang besar ‘kalah dengan sangat malu’ dari seorang anak sekolah. Terutama anak sekolah yang jika keok, akan datang lagi bersama puluhan teman sekolah yang lain untuk memberi ‘pelajaran dan etika’ kepadanya, juga mungkin kepada gerombolannya, atau bahkan kepada ‘Mbah Moyangnya’ sekalian! Dan dengan logika yang mirip pula agaknya mantan pacar teman saya itu tak meneruskan niatnya. Bisa jadi memang dia merasa agak enggan terhadap saya. Terutama terhadap ramai dan solidnya ‘ikatan’ yang ada pada jaringan pertemanan yang saya punya, tanpa saya perlu bersusah-payah memamerkannya.

Pun ketika ada teman yang mencari, saat hendak membuat kegiatan, misalnya. Apa susahnya? Tinggal menghubungi Si Gl atau Ve yang gemar menggemirincingkan otak maka bereslah semua ide tadi menjelma konsep. Lengkap dengan proposal dan selebaran yang dibutuhkan! Dan selanjutnya bilang saja Rx dan Ok, dijamin hanya dalam hitungan menit telah terkumpul ‘genk motor’ yang siap mengantar ke mana-mana. Ditambah dengan Im dan L yang dari ‘blok rumpi dan pesolek’, akan langsung menjadikan informasi kegiatan tersebut mem-viral kemana-mana. Serta tak ketinggalan pula Si Tege, yang walaupun terkesan hanya menyukai keramaian, namun seringkali mampu untuk lebih memeriahkan suasana. Selesailah semua. Apa susahnya? Begitu juga untuk urusan-urusan yang lainnya.

Jauh waktu setelah itu saya baru tahu bahwa ternyata tak semua orang memiliki penerimaan yang sama. Entah itu di komunitas yang berbeda, bahkan juga pada blok teman yang sama. Terlalu sering saya mendengar ucapan, “Lo aja yang ngomong, Bay...” yang hampir selalu dilanjutkan dengan kata-kata, ”Gue enggak enak ama dia,” atau ”Gue enggak begitu akrab.”

Bahkan ada juga yang sambil berbisik menjelaskan, ”Gue udah bilang, Bay... Tapi enggak ngaruh...!” dan banyak lagi kalimat sejenis lainnya, yang kadang menghasut saya untuk berpikir bahwa saya tentulah orang yang memiliki kepribadian magnetik, atau setidaknya memiliki tempat yang khusus di hati teman-teman saya.

Tentu banyak yang tidak sepaham dengan kesimpulan saya ini, yang dengan sedikit mengecam atau meringis sinis akan langsung berkata, ”Ah... Lo cuma ge-er doank kali, Bay...” atau dengan gagahnya langsung menuduh lebay juga narsis. Sebuah kecaman dan tuduhan yang seringkali membuat saya merasa lucu sendiri karena setelahnya justru mereka yang paling ribut dan bersemangat untuk berkata saat ada hal apapun, “Bay ikut, enggak...?” atau ”Panggil Si Bay...” atau ”Engga enak kalo engga ada Si Bay...” serta ’ada Bay-ada Bay’ yang lainnya. Dan semakin terasa lucu dan aneh jika mengingat bahwa saya jelas-jelas bukan teman yang paling asyik dan paling disukai!

Tetap saja saya tidak pernah paham, kenapa bisa hingga begitu bebas bersikap terhadap mereka, mengunyah makanan mereka, menyeruput kopi mereka, menghisap rokok mereka, bahkan hingga tidur di kasur dan mandi di kamar mandi atau kegiatan lainnya di area paling pribadi teman wanita saya tanpa mereka perlu untuk merasa risih apalagi terganggu. Serta banyak lagi hal yang lainnya hingga kadang membuat saya bertanya-tanya sendiri sebenarnya mereka itu teman atau keluarga?

Dan ketidak pahaman itu nyaris menjadi abadi, hingga suatu saat ada dari mereka yang berkata, “Gue ngerasa nyaman aja kalo ama lo, Bay... Enggak tau kenapa...” Sementara pada kesempatan yang lain ada lagi yang bicara, ”Gue tau kalo lo janji mau dateng, lo pasti datang, Bay... Enggak peduli lo janji abis isya tapi datangnya pas dah mo subuh...”

Rasa nyaman dan kepercayaan. Alangkah hebatnya pengaruh dari dua kata sederhana itu! Yang dengan segala keterbatasan yang saya punya, tetap mampu untuk menjadikan saya seakan-akan memiliki begitu banyak keluarga, dan pada suatu titik merasa betapa dunia telah berada di dalam genggam tangan saya bersama mereka. Dua kata yang terlalu sering menjelma tiket emas dalam hidup dan bisnis saya di masa mendatang. Dua kata yang kadang-kadang menjadi begitu sulit untuk saya jaga, terutama saat hidup benar-benar terasa berat dan menekan, yang membuat saya harus berjumpalitan mati-matian untuk mempertahankannya. Walau seringkali saya merasa begitu tergoda untuk mengabaikannya serta menggadaikannya. Dua kata, yang selalu membuat saya mampu untuk hidup lagi... setelah kematian yang berkali-kali menghampiri…!!!

Dengan dua kata itu pulalah saya bangun semua bisnis saya kemudian, tanpa uang dan teknologi yang rumit dan berbelit-belit sama sekali, melainkan benar-benar hanya bermodalkan kertas dan pulpen saja.

Pada titik itulah untuk pertama kalinya saya merasa sudah tidak lagi menjadi teman bagi mereka. Tak ada sikap saling menghargai apalagi saling memahami. Saya benar-benar bebas untuk berlaku dan bersikap apa saja yang saya mau terhadap mereka, tanpa perlu direpoti dengan segala macam adat-istiadat yang terkesan amat kaku dan menjemukan.

Lantas berakhirkah hubungan pertemanan saya? Justru sebaliknya. Sebab saling pengertian yang terjalin telah membuat mereka melakukan hal yang sama pula terhadap saya!

Dari teman tim yang baik tersebut saya banyak belajar. Tentang kehidupan, juga tentang cara memaknai hidup itu sendiri. Walau saya tahu banyak dari pelajaran tersebut yang tak saya selesaikan dengan sempurna.

Dari mereka pula saya terus banyak belajar, bahkan setelah sekian waktu lamanya kami sudah tidak lagi bersama. Tentang ketulusan. Juga tentang cinta, yang tentu saja dalam perspektif yang amat berbeda.

Masih terasa segar dalam ingatan saya tentang Si Aris yang gemar menggedor kamar dan mengganggu tidur saya, cuma demi mengajak makan enak bareng. Walau dia juga tidak pernah mengembalikan kaset Dewa 19 milik saya yang merupakan hadiah sakral dari seseorang.

Atau tentang Jati yang berkali-kali ‘terlibat secara kebetulan’ dalam momen-momen penting hidup saya. Membantu meminjami biaya kursus agar lulus SBMPTN dan menemani saya ‘naik taksi itu’.

Tege dan juga Gimbal yang walaupun acapkali menjadi teman yang sangat abnormal, namun jelas pernah membuat hidup saya amat berwarna.

Chia sempat memegang rekor sebagai teman terhebat yang saya kenal, juga Selvi yang pernah memberi ‘pertolongan kecil tak terlupakan’ kepada saya, yang kabarnya kini tengah sibuk pasca didapuk menjadi Bu Dosen di Universitas Pelita Harapan. Sementara Dian sering membuat saya menghindar karena memiliki jenis mata yang mampu membaca –atau mungkin juga cuma menduga- orang hanya dengan melihat, dengan capcai lezatnya yang saya cicipi waktu OSPEK UI.

Tari yang entah kenapa memberi sepatu buat saya, yang jelas lebih saya hargai karena tulusnya dan bukan mereknya.

Dijey yang begitu repot membantu mencetak buku puisi pertama saya dengan sumringah, dan membuat saya cengar-cengir menikmati juga sayur asem di rumahnya, walau saya jelas tidak pernah suka jenis sayur kecut tersebut.

Bintang yang dengan entengnya langsung membeli buku tersebut, yang setelahnya saya sering berpikir bahwa dia membelinya hanya karena menghargai saya, walau sebuah foto kecil di sudut facebooknya sempat membuat saya bingung yang mana wajah si pramugari Singapore Airlines itu dan yang mana muka kucingnya. Berbeda dengan Oenk yang berkali-kali membeli untuk dijadikan kado ulang tahun teman-temannya, atau Mulan yang justru menangisinya saat masih menjadi draft, dan beberapa cewek sastra yang berebut minta buku tersebut ditanda tangani saya di stasiun UI, seakan-akan saya adalah penjelmaan absurd dari Sutardji Calzoem Bahri!

Effa-Mama Ella-Rudi-Ulfa dan keluarga yang menyambut dengan sangat ‘hingar’ kabar tentang penerimaan saya di UI jauh melebihi keluarga saya sendiri, seakan-akan saya adalah salah satu bagian terpenting dari keluarga mereka. Juga Ivan yang tak pernah memperlihatkan kecemburuannya atas keamat dekatan saya dengan Effa -yang juga sering saya jadikan parameter dan sparing partner dalam bisnis saya tanpa sepengetahuannya- yang saya amat berterima kasih kepadanya karena terus membuat saya percaya bahwa Effa mampu dia jadikan amanah.

Barry yang tanpa berpikir panjang sontak bersedia menyisihkan rupiahnya untuk saya hingga mencapai digit juta tertentu, yang tentu saja langsung saya tolak karena memang saya hanya ingin mengetahui ketulusan dia dan bukan ketulusan uangnya.

Sementara Oenk dan Firman jelas bukan teman bagi saya. Mungkin sedikit mirip dewa, yang tentu saja bukan Dewa Babi!

Semua ketulusan itulah yang membuat mereka tetap hidup dan berkelebat-kelebat dalam hati saya, yang kerap membuat saya tersenyum sendiri selama menjalani ritual insomnia abadi.

Dan untuk merekalah saya tulis puisi ‘Hidupmukah Hidupku’  yang saya posting sebelum tulisan ini, dengan begitu banyak kata-kata ‘hidup’ yang membuat lidah saya terpelintir-pelintir serta ‘korsleting kecil’ akan makna kata tersebut pada saat proses kreatifnya. Walau seringkali diri saya yang lain juga berkata bahwa puisi itu sebenarnya cuma buat Mulan.

Tak pernah saya kikir untuk berpikir, nikmat Tuhan manakah yang bisa untuk saya dustakan? Hidup yang lebih baik, kuliah di kampus yang 'lumayan' punya nama, serta begitu banyak ‘Teman Tim yang Tepat’ yang saya miliki, ditambah lagi dengan streetsmart yang saya dapat dari Mulan, yang seringkali mampu membuat saya bergerak lebih cepat dan lebih luas dari yang lain, tentu tak sulit buat saya untuk memilih masa depan yang paling keren kelak yang saya inginkan.

Semua terlihat begitu sempurna. Hanya saja sayangnya ada cacat kecil yang menjadikan segalanya tak berjalan dengan semestinya. Dan cacat kecil tersebut adalah: Saya tak menginginkannya...!!!

Mungkin banyak yang mengira saya dungu, neurotik atau sekedar orang yang senang membuat sensasi saat memutuskan untuk meninggalkan semua yang telah saya peroleh dengan susah payah itu. Mengapa tidak? Bahkan diri saya sendiripun seringkali menghardik dan menyudutkan saya dengan segala macam falsafah dan dogma. Bahwa belajar adalah ibadah. Dan bahwa dengan menyia-nyiakan yang saya punya berarti saya telah mengkhianati seseorang yang ‘kursinya’ telah saya ambil, karena bila saya tak mendudukinya, tentu orang lain itulah yang menempati posisi saya ini, dan sebagainya-dan sebagainya yang tetap saja tak mampu untuk merubah sedikitpun pendirian saya.

Tapi saya memang benar-benar tak pernah menginginkan semuanya! Tak pernah berminat untuk menjadi orang yang lebih ‘terhormat’, atau barangkali menjadi seseorang yang memiliki nilai dan harga lebih dengan gelar akademik di belakang nama, serta pekerjaan dan status sosial yang mewah dan mentereng lainnya. Dan semua yang telah saya upayakan dengan begitu njelimet dan payah-payah itu, memang cuma karena Mulan. Cuma untuk Mulan. Dan cuma demi Mulan. Karena buat Mulan, apa sih yang tidak saya beri dan lakukan? Bahkan jika Mulan meminta hidup saya sekalipun, tentu tak perlu hitungan detik buat saya menyerahkannya... dengan bahagia! Karena cinta memang seringkali tak pernah bisa untuk punya logika, bahkan untuk orang-orang yang ‘sekaliber’ saya sekalipun, yang katanya memiliki pemahaman dan pengalaman yang jauh melebihi usia.

Beberapa saat setelah saya masuk UI, saya beri Mulan ‘Kado Ulang Tahun Terindah’ yang dia pinta. Beberapa semester setelahnya, saya tinggalkan UI, dan mengakhiri metamorfosa saya dari sampah menjelma emas, untuk kembali menyerupa debu yang tak berharga.

Saya cuma ingin Mulan.

 

cinta adalah ilusi

yang terus saja kembali

datang dan datang lagi...

(Cinta adalah Ilusidalam Di Bawah Kibaran Dosa Kumpulan puisi yang terus saja teronggok lusuh di sudut leptop}.

 

p.s: Tolong jangan tiru ‘ending sementara’ seperti yang ada dalam tulisan ini, karena bagaimanapun juga, hidup akan terus berlanjut, dengan atau tanpa ‘Mulan-Mulan’ pribadi masing-masing pembaca. So… Let’s move on!

Sebagai penutup dari tulisan ini, saya kutif adagium pribadi yang pernah saya produksi waktu masa sekolah dulu, yang biasanya cukup tokcer sebagai penawar saat merasa terjebak di waktu dan tempat yang dirasa kurang sesuai dengan selera pribadi.

"Intinya bukanlah di mana kita berada, melainkan di mana kita mampu melakukan yang terbaik yang kita bisa."

Salam hangat persahabatan, salam dunia maya…^_

 

Secangkir Kopi Indahnya Persahabatan, Kompasiana-15.

("Dunia Aneh Si Bayangan" bagian yang ke-3, sebuah naskah Personal Literasi (Perlit) yang entah diterbitkan entah tidak...^_).

 

Fragmen sebelumnya (Silahkan klik tautan di bawah ini):

 

Fragmen selanjutnya:

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun