Itulah kehebatan sosok-sosok yang katanya religius. Mengandalkan Allah semata, tanpa peduli dengan segala macam upaya yang harusnya sekuat tekad direka-reka sebelumnya.
Benar-benar sebuah ide yang amat hebat tentang agama, tentang tawakal, juga tentang perubahan suatu kaum atau cuma diri sendiri.
Toh, setelahnya, jika memang hasil akhirnya kurang, tinggal bilang saja, "Allah belum merestui…"
Hebat...!!! ^_
Thread Started (TS) ini saya buat masih di Bulan Ramadhan yang penuh rahmat, yang cukup banyak mengundang pro serta penyebaran link tautannya, walau tentu saja tak sedikit yang mengapresiasikannya secara amat berseberangan. Bukankah perbedaan adalah sebuah keniscayaan, yang tak perlu kita sikapi dengan amat berlebihan sebagai sebuah permasalahan…?
***
Dalam Dunia Bayangan saya yang seringkali teramat penuh dengan warna buram serta abu ini, segalanya terlalu kerap mengotomatis, dengan hitang-hitung yang memang bersifat matematis.
Walau jelas hitungan matematis bukanlah Tuhan. Tapi saya yakin Tuhanpun ingin kita bermatematika selalu: Dalam seluruh sendi hidup –yang memang multidimensi ini, dan bukannya melulu sekedar meng-hisab dosa atau pahala seakan tak ada lagi hal lain yang lebih penting dari itu.
Bukankah setiap khutbah Jum’at umumnya dibuka dengan kalimat, “Wabihi nasyta'in li 'umurid dunya wal akhiroh,” memohon pertolongan-Nya untuk urusan dunia terlebih dahulu, baru kemudian akhirat? Dan bukannya sebaliknya? Karena kita di sini, untuk kembali ke sana. Dan bukan sebaliknya. Dan bukannya terus memikirkan sana tanpa mengindahkan sini. Dan bukannya terus menyepelekan sini seakan-akan sana adalah sesuatu yang amat terpisah dan berbeda dari sini, yang tak ada kait dan rantai sedikitpun antara sana dengan sini.
Faidza azzamta fatawakkal 'alallah, innallaha yuhibbul mutawakkilin. Kalimat super sakti yang harusnya tak difungsi sebagai sterilisasi. Kalimat langit yang harusnya lebih memacu diri untuk bertindak melebihi militansi para aktivis juga pebisnis. Gemar berhitung data. Terbiasa menggunakan segala indikator juga parameter. Tak sungkan meraba peluang lengkap dengan pembedahan di setiap kurang dan lebih yang terselip di dalamnya. Hingga akhirnya, ketika siap untuk diluncurkan serta dilaksanakan, benar-benar sebuah kegiatan menuju keberhasilan, dan bukannya sekedar untung-untungan atau merencanakan kegagalan, yang jelas-jelas telah lebih dahulu gagal mutlak sejak masih rencana.
Tak perlu kita mempertahankan kekeliruan dengan terus berkata, "Allah bersama kita...!" jika masih tetap kukuh berpegang dengan amat teguh mental budak yang pernah kita warisi, yang selalu mengkondisikan diri untuk harus atas ‘persetujuan’ seseorang atau sesuatu atas setiap tindakan.
Bukankah berbuat tanpa perhitungan –apalagi persiapan- dengan tetap berharap hasil terbaik sebagai akhir yang diterima, adalah suatu tindakan yang jauh lebih tahayul dari klenik yang paling mistik sekalipun?
Masihkah bola liar yang terus selalu kita gulirkan? Yang bahkan kita sendiripun tak pernah bisa memprediksi kemana melambungnya, dimana akan bermuara, atau dengan siapa menyinggasana? Dan masihkan perlu kita terus sok suci berharap mati-matian dengan sejuta kata bernada sama: Semoga Allah memudahkan…?
Dikiranya Allah buta, apa? Disangkanya Allah PKI-kah, yang ber-Irodat dalam ketetapan-Nya yang sama rasa dan sama rata untuk setiap usaha makhluk-Nya yang berbeda-beda?
Dengan sifat Rahman dan Rahim-Nya, jelas tak ada yang mustahil bagi Dia yang memang Maha Segalanya. Namun ada baiknya kita mulai menyingkirkan klenik agama, yang selalu berharap tentang keajaiban, mukjijat dan sebagainya sebagai unsur utama penentu keberhasilan. Sebab mukjijat telah lenyap dari bumi kita ini sejak lebih dari 14 abad yang lalu. Sebab ada baiknya kita sering-sering berkaca diri juga kualitas keimanan, sebelum mengigau habis-habisan ingin mendapat ma'unat-Nya.
Yang tersisa tinggal istidroj. Jika kau suka, silakan minta kepada Tuhan. Dan Tuhan jelas Maha Pemberi. Tinggal siapkan dirimu untuk belajar membakar diri, sebagai persiapan masuk ke api terpanas yang ada di tingkat neraka-Nya, kelak.
***
TS yang saya posting di fesbuk tersebut langsung saja beroleh tanggapan yang cukup ramai. Dan itu amatlah mengherankan jika mengingat fesbuk adalah salah satu media pertemanan dan bukannya keilmuan.
Tapi tentu saja hal itu terjadi pada zaman dahulu kala, sebelum waktu menyulap warga mayanya menjadi ahli curhat tingkat tinggi yang merasa cukup untuk sekedar memposting foto wajah menyang-menyong atau daily activity lainnya yang penuh uap kegalauan.
Ada beberapa tanggapan menarik yang saya peroleh, dari teman yang bahkan saya sendiripun tak paham seperti apa dia dan bagaimana kesehariannya. Tapi yang jelas, saya sangat berterima kasih kepadanya, karena telah menambah lagi beberapa setrip pemahaman keberagamaan saya. Alangkah indahnya persahabatan…!
Inilah tanggapan yang syedap dan penuh gizi tersebut, yang kembali saya bagi kepada teman-teman Kompasianers yang berminat menyantapnya. Monggo…^_
#
"Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri". (QS Ar Ra'd [13]:11).
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa seorang pencuri yang diajukan kepada Umar bin Khattab ra, mengatakan bahwa dirinya melakukan pencurian karena sudah ditakdirkan Allah. Lalu dengan tangkas Umar bin Khattab menjawab bahwa bila tangannya dipotong, juga merupakan takdir Allah.
Allah Azza wa Jalla tidak boleh dipersamakan dengan pembuat arloji. Setelah arloji itu dibuat dan dilempar ke pasar maka ia tak tahu lagi bagaimana nasib arloji tersebut, apakah masih berputar atau sudah mati dan berakhir sebagai barang afkir. Allah SWT senantiasa memonitor dan mengontrol makhluk-Nya.
#
Hmmm.......membaca note ini begitu menyentil dengan kalimat-kalimat yang mengundang deja vu. Apabila kita melakukan sesuatu, janganlah berharap akan datangnya mukjizat, karena itu sama saja dengan membenamkan sebelah kaki ke dalam lumpur. Terima kasih sdh diingatkan, Brader Bayangan.
#
Apakah yang dimaksud dengan "Mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri"
Tataplah sosok seorang Mush’ab bin Umair ra yang hidup pada masa Rasulullah SAW. Ia putera seorang konglomerat Makkah. Namanya menjadi buah bibir masyarakat, terutama kaum mudanya. Sebelum masuk Islam ia dikenal dalam lingkaran pergaulan jet set. Namun, suatu hari mereka tak lagi melihat sosoknya. Mereka kaget ketika mendengarnya sudah menjadi pribadi lain.
Benar, ia sudah bersentuhan dengan dakwah Rasulullah SAW dan hidup dalam kemanisan iman dan kedamaian risalahnya. Sehingga cobaan beratpun ia terima dengan penuh senyum dan kesabaran. Kehidupan glamour ia lepaskan. Bahkan dialah yang terpilih sebagai juru dakwah kepada penduduk Madinah.
#
Terima kasih karena telah men-tag diri sendiri, mudah-mudahan ada manfaat yang sama-sama bisa kita temukan di dalamnya, aamiin..^_
#
Disisi lain , tengoklah pribadi Musailamah Al-Khadzdzab. Setelah mengikuti kafilah dakwah Rasulullah SAW, jiwa negatifnya masih menonjol, ketamakan akan kedudukan dan kehormatan membawanya pada pengakuan diri sebagai nabi palsu. Akhirnya ia mati terbunuh dalam kondisi tak beriman di tangan Wahsyi dalam suatu peperangan.
Manusia tentu saja memiliki harapan agar jiwa positifnya bisa menguasai dan membimbing dirinya. Sehingga ia bisa berjalan pada garis-garis yang benar dan haq. Akan tetapi seringkali harapan ini tak kunjung tercapai, bahkan bisa jadi justru kondisi sebaliknya yang muncul. Ia terperosok ke dalam kubangan kebatilan.
Disinilah peranan besar lingkungan yang mengelilingi diri manusia baik keluarga, kawan, tetangga, guru, kerabat kerja, bacaan, penglihatan, pendengaran, makanan, minuman, ataupun yang lainnya. Semua itu memberikan andil dan pengaruh dalam mewarnai jiwa manusia.
#
Yang terbaik dari seorang teman yang baik dan selalu ingin baik bersama dengan teman yang lainnya adalah, dia selalu berusaha untuk melengkapi kekurangan yang ada, selalu berusaha untuk meluaskan kesempitan yang terasa, juga selalu berbagi untuk segala yang terbaik yang memang amat baik untuk dibagi.
#
Islam sebagai agama yang haq, memberikan tuntunan kepada manusia agar ia menggunakan potensi ikhtiar-nya untuk memilih dan menciptakan lingkungan yang positif sebagai salah satu upaya pengarahan, pemeliharaan, pembersihan jiwa dan sebagai tindakan preventif dari hal-hal yang bisa mengotori jiwanya.
Disamping itu, diperlukan pendalaman terhadap tuntunan dan ajaran Islam serta peningkatan pengalamannya. Evaluasi diri dan introspeksi harian terhadap perjalanan hidupnya, tak kalah pentingnya dalam tazkiyah an- nafs. Manakala jalan ini ditempuh dan jiwanya menjadi bersih dan suci, maka ia termasuk orang yang beruntung dalam pandangan Allah SWT.
Sebaliknya, apabila jiwanya terkotori oeh berbagai polusi haram dan kebatilan, maka ia termasuk orang yang merugi menurut kriteria Allah Subhanahu wa Ta'ala.
#
Kebijakan adalah perbuatan orang-orang terkasih...
Ketika kita melihat percikan cahaya, jangan dulu menyikapi nama dari cahaya itu… tapi telusurilah dari mana cahaya itu…
Syukron, sahabat…
Hari ini saya bertambah pengetahuan. Terima kasih atas uraianya, Mas Bayangan…
#
Dua suasana jiwa yang berbeda akan tampak refleksi-nya masing-masing perilaku keseharian manusia, baik dalam hibungannya dengan Allah, lingkungan maupun diri dan sesamanya.
Jiwa yang suci akan memancarkan perilaku yang suci pula, mencintai Alah dan Rasul-Nya dan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya. Sedangkan jiwa yang kotor akan melahirkan kemungkaran dan kerusakan.
Adalah benar bahwa Allah tidak melihat penampilan lahir seseorang, tetapi yang dilihat adalah hatinya, sebagaimana disebutkan dalam satu hadits. Tetapi ini dimaksudkan sebagai penekanan akan pentingnya peranan niat bagi sebuah amal, bukan untuk menafikan amal lahiriah.
Sebuah amal ibadah akan diterima Allah manakala ada kesejajaran antara perilau lahiriah dan batiniah, disamping sesuai dengan tuntunan agama.
Lebih dari itu, secara lahiriah, manusia bisa saja tampak beribadah kepada Allah. Dengan khusyu’ ia melakukan ruku’ dan sujud kepada-Nya. Namun jiwanya belum tunduk ruku dan sujud kepada Allah Yang Maha Besar dan Perkasa, kepada tuntunan dan ajaran-Nya.
#
Sebagai wong bodo mah aku cuma mau tanya pada Pak Ustadz. Kenapa ya, PANGKAT TERTINGGI BAGI UMAT MUSLIM itu adalah menjadi SI BUDAK..????.
Muhammadun Abduhu Warosuluhu.
Puncak dari mukmin adalah saat beliau (Muhammad SAW) merasa jadi ‘abid (budak-Red), bahkan Baginda Nabipun gelar yang paling dibangakannya adalah Muhammad Sang Abid (Muhamad Al ‘Abid ).
#
Tazkiyah jiwa merupakan suatu pekerjaan yang sungguh berat dan tidak gampang. Ia memerlukan kesungguhan, ketabahan dan kontinuitas. Sebagaimana amal baik lainnya, tazkiyah adalah bagai membangun sebuah gedung, disana banyak hal yang harus dikerahkan dan dikorbakan. Sedangkan pengotoran jiwa, seperti amal buruk lainnya, adalah semisal merobohkan bangunan, ia lebih mudah dan gampang serta tak banyak menguras tenaga.
#
Terimakasih kiriman bermanfaatnya, Sob. Salam.
#
“Jalan menuju surga dirintangi dengan berbagai kesulitan. Sedangkan jalan menuju neraka ditaburi dengan rangsangan hawa nafsu,” demikian sabda Rasulullah SAW. Pensucian jiwa ini menjadi lebih berat lagi ketika manusia hidup dalam Era Informatika dan globalisasi, di mana kreasi manusia begitu canggih dan signifikan. Manusia seakan tak berdaya mengikuti irama dan gelombangnya.
#
Hanya bisa bengong… Setelah saya membaca, kehidupan selama ini yang saya jalankan, mungkn hanya sebuah langkah kebodohan… yang selalu menanti sebuah keajaiban dan keajaiban dan keajaiban…
#
Sebenarnya Islam memiliki sikap yang akrab dan tidak menolak sains dan tekhnologi, sementara sains dan tekhnologi tersebut tidak bertentangan dan merusak lima hal prinsip: Agama, jiwa manusia, harta, generasi dan kehormatan. Sehingga tidak ada paradoksal antara jiwa positif dan bersih serta nilai-nilai kebaikan dengan perkembangan dan kemajuan zaman.
Pengalaman tuntunan dan akhlak Islami, meski tanpa pemerkosaan dalam penafsirannya, tidak pernah bertentangan dengan alam sekitar. Lantaran keduanya lahir dari satu sumber, Allah SWT, Pencipta alam semesta dan segala isinya.
Salah faham terhadap konsep ini akan mengakibatkan kerancuan pada langgam kehidupan manusia. Maka yang tampak adalah bukit hingar bingar dan menonjolnya sarana pengotoran jiwa manusia. Akhirnya, nilai nilai positif dan kebenaran seringkali tampak transparan dan terdengar sayup-sayup.
#
Benarlah apa yang menjadi prediksi junjungan kita, Nabi Muhammad SAW.
“Orang yang sabar dalam berpegang dengan agamanya semisal orang yang memegang bara api”.
Mereka acapkali mengalami banyak kesulitan dalam mengamalkan agamanya hingga merasa asing dalam keramaian. Namun demikian, tidaklah berarti mereka boleh bersikap pesimis dalam hidup. Bahkan sebaliknya, mereka harus merasa optimis. Sebab dalam situasi seperti ini, merekalah sebenarnya orang yang meraih kemenangan dalam pandangan Islam.
“Islam mulai datang dalam keterasingan dan akan kembali dalam keterasingan pula sebagaimana mulanya. Maka berbahagialah orang – orang yang terasing”. (Al Hadist).
#
Dalam fenomena seperti ini, tak tahu entah dimana posisi kita. Yang jelas, manusia senantiasa dianjurkan oleh Allah agar meningkatkan kualitas dan posisi dirinya di hadapan Nya. Dan Allah tak pernah menolak setiap hamba yang benar-benar ingin kembali kepada jalan-Nya.
Bahkan lebih dari itu, manakala hamba Nya datang dengan berjalan, maka Ia akan menjemputnya dengan berlari. Sungguh Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Pengampun. Kita berharap, semoga kita termasuk orang-orang yang mau mendengar panggilan-Nya yang memiliki jiwa muthmainnah, jiwa yang tenang. Sehingga kita akhirnya berhak meraih panggilan kasih sayang –Nya.
“Hai jiwa yang tenang . Kembalilah kepada Rabb-mu dengan hati yang puas dan diridhoi-Nya. Maka masuklah ke dalam jamaah hamba-hambaKu dan masuklah ke dalam surga-Ku”.(QS.Al Fajr [89] : 27-30).
***
Semoga kelak kita tak akan pernah lagi mendengar ucapan dari Sayyidina Ali ra, yang mengatakan bahwa kebaikan yang tidak terorganisasi, akan kalah oleh kejahatan yang tersketsa dengan amat menawan.
Pahala itu memang lebih susah dari dosa, bahkan sampai sekarang masih saja tetap seperti itu, ucap saya pada diri dan kebebalan sendiri, yang entah mengapa sepertinya masih juga enggan meng-afkir...
Selamat menyambut kemenangan yang sesungguhnya di sepertiga terakhir ramadhan terbaik ini, aamiin…^_
Fragmen ke-2 dari 'Cara Terbaik Menipu Tuhan', Kompasiana-01215.
(Tulisan ini hanya pendapat pribadi, dengan tidak bermaksud mendiskreditkan seseorang, badan hokum, ormas, kelompok atau agama tertentu).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H