Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Utopia, Ethiopia, Indonesia

4 Juli 2015   20:46 Diperbarui: 4 Juli 2015   20:46 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sensasional…!” Indra menatapku tajam. Wajah batu itu, begitulah teman-teman memberinya julukan, kembali mengeras. Bibirnya membentuk sebuah senyuman yang amat melecehkan. Sinis.

“Kuakui bahwa kau adalah orang yang paling jenius yang pernah kutemui, nilai yang selalu bagus, pemikiran-pemikiran yang inovatif, juga pengalamanmu yang segudang akan organisasi dan kemasyarakatan. Tapi yang ini berbeda! BER-BE-DA…!!!” suaranya kembali terdengar. Wajahnya yang keras berubah keruh. Ada sinar keputus asaan yang membayang di sana.

“Apanya yang berbeda?” aku bertanya pelan, hati-hati.

“Ah, pura-pura bodoh kau! Kita ini cuma orang keciiil…! Bagaimana mungkin mampu merubah negeri yang penuh masalah ini…?!” suara Indra terdengar begitu aneh. Berapi-api, tetapi dengan makna yang begitu apatis dan melemahkan.

Sepulangnya Indra aku terdiam. Merenung. Apa sebenarnya yang aku cari? Terlalu tinggikah keinginanku?

Sementara di luar sana waktu terus melaju, menciptakan prajurit-prajurit kegelapan yang terus berderap dengan gagah.

***

Ruang berukuran tiga kali tiga ini begitu sederhana. Tak ada lemari. Tak ada tempat tidur. Juga, tak ada kasur. Satu-satunya benda yang memberi tanda bahwa ruangan ini adalah kamar tidur… sebuah bantal! Bahkan benda itupun sudah terlalu usang untuk mendapat gelar ‘pesawat mimpi’.

Kamar impian, begitulah aku biasa menyebutnya. Dua puluh tahun lebih aku tinggal di dalamnya, dengan berbagai kenangan yang sempat dirangkai hidup untukku. Dengan berbagai rasa dan situasi yang mencumbui, yang… tak pernah ingin kuberi nama.

Dinding kamar ini begitu penuh. Hampir tak ada lagi ruang kosong yang tersisa. Hanya saja, bukan karya seni yang menempel di sana, melainkan goresan jiwa. Goresan-goresan pena yang jumlahnya ribuan, yang kutulis pada tiap-tiap malam yang kulalui, buah renunganku terhadap hidup.

Pada salah satu sudut dinding yang penuh itu tertulis rangkaian sejarah.

 

Majapahit kiri, beberapa abad yang lalu.

Hari ini Ken Arok menggugat para pemuka Hindu

yang selalu berteriak-teriak menolak kedzaliman

sang raja,

namun bersembunyi pada lubang-lubang semut

yang mereka temui ketika raja itu,

balik menggugat dengan senjata!

 

Sementara pada sudut yang lain tertulis sebuah asa.

 

Negeri yang terluka.

Bilakah negeri ini bermetamorfosa?

Menjadi negeri mercusuar bagi cahaya Ilahi,

menjadi cahaya di Timur,

tempat kami semua… berpijar.

 

Kutatapi lagi satu demi satu ‘prasasti dinding’ yang tak beraturan itu. Alangkah banyaknya jubah yang tergantung di sana! Jubah yang terangkai dari benang-benang hidup yang sarat dengan emosi. Jubah yang penuh dengan warna; kesedihan, asa, kejujuran dan warna-warna lainnya yang belum sempat diberi nama oleh manusia. Alangkah ramainya hidup! Berapa kamar lagikah yang kubutuhkan untuk menulisi sisa hidupku? Bahkan hari inipun aku telah menyiapkan lagi sebuah goresan baru: Duka.

Jika saja emosi dan benda tak perlu diberi nama, tentulah aku tak akan bersusah-susah lagi membuat daftar baru untuk mereka. Daftar baru untuk bocah-bocah belasan tahun yang –dengan terpaksa- merelakan tubuhnya, hanya demi sesuap nasi. Daftar baru untuk mereka yang terdampar nasib di kolong jembatan, di emper-emper swalayan yang gemerlap, atau untuk mereka yang tak tahu lagi harus berbuat apa hingga malam-malam yang mengalir, hanya dipenuhi dengan gambar-gambar tentang rumah… yang akan mereka curi! Tapi, benarkah sebuah daftar cukup berarti buat mereka?

***

Hari ini aku merasa begitu letih. Jiwaku kembali terdampar.

Hari ini, kenyataan kembali memberiku nama: Pemakluman. Begitu populernya kata-kata itu hingga aku dapat dengan mudah menemuinya di manapun. Di dusun, di kota, di tempat sampah, di selokan-selokan, bahkan dalam saku-saku mewah jas para pemimpin negeri ini.

 

Setiap orang berbuat kesalahan, kata-kata itu yang selalu menetes dari mulut- mulut yang kutemui ketika kuceritakan lagi realitas tentang negeri yang tertidur ini. Itu mungkin jawaban yang paling tepat. Atau setidaknya, jawaban itulah yang paling jujur dari mereka. Hanya saja aku tak menemukan jiwa-jiwa penyelesaian di dalamnya. Tapi adakah jawaban yang paling benar untuk semua masalah? Sementara kehidupanpun kini telah menjadi begitu relatif.

Saat aku kecil, guru ngajiku pernah mengatakan bahwa dunia, laksana penjara bagi orang-orang yang beriman. Saat itu aku hanya terdiam, dalam ketidak mengertian yang kental. Tapi hari ini semuanya terulang lagi, ketidak mengertian itu. Hari ini masih kulihat negeri yang katanya ‘gemah ripah loh jinawi’ ini, berevolusi menjadi sebuah pabrik seni. Parade tentang seni di gelar di mana-mana, di perempatan jalan, di kereta, di bus kota, dan di tempat-tempat lainnya yang kusam dan semrawut. Bahkan banyak dari insan seni itu, yang usianya masih terlalu belia, begitu fasih mempersembahkan pentas air mata, hanya dengan bermodalkan kantung-kantung bekas pembungkus permen… mengemis!

Inikah penjara itu? Jika benar, alangkah besar dan meratanya iman yang dimiliki oleh orang-orang di negeri ini. tapi kenyataan akan sedikitnya shaf yang terbentuk dalam masjid yang kusinggahi ketika shalat, memaksaku untuk berpikir lagi sebelum menyetujuinya.

Hari ini aku kembali menangis, lirih. Menangisi segala ketidak berdayaanku atas mereka. Jika saja ada sesuatu yang bisa dijadikan kambing hitam, maka sesuatu yang paling tepat itu pastilah takdir. Bukankah kata-kata itu yang paling digemari oleh manusia ketika semuanya telah menjadi begitu gelap dan menyakitkan? Lalu syair-syair tentang kedhaifan terdengar begitu merdu: Hidup terlalu keras sementara kami begitu lemah…

***

Dosa kolektif, sebuah kata baru lagi. Entah sejak kapan kata-kata itu lahir. Tapi setidaknya pernyataan itulah yang paling mampu untuk mengurangi beban moral bagi setumpuk ketidak adilan yang sempat terjadi. Bukankah semuanya adalah proses? Bahkan bungapun harus rela untuk layu dan kehilangan pesonanya agar sang buah… menjelma.

Orang-orang pintar memang sangat banyak di negeri ini. Juga para dermawan, tak terhitung! Hanya saja terlalu banyak persoalan yang harus diselesaikan. Sementara daftar kemiskinan yang ada, terus membengkak. Membentuk mata rantai yang saling berkait dan menyebar.

“Tidak!” aku mendesah kuat-kuat.

“Aku tak boleh menyerah!” lanjutku mantap. Keras kepala.

Aku mungkin bisa saja hanya merutuki semuanya lalu melanjutkan hidup, apa adanya. Tapi, itukah yang kucari? Atau dapatkah aku melakukannya dengan berpura-pura tenang dan menutup mata, setelah semua yang kulihat dan kualami?

“Tidak!” lagi-lagi batinku menolaknya.

“Sudah saatnya untuk bergerak.” Kali ini jiwaku yang berbicara, seakan-akan ingin memberikan sebuah semangat untukku memacu diri.

Malam ini aku kembali sibuk. Tapi bukan cuma merenung seperti yang selama ini menjadi pola hidupku.

Kuambil kertas dan pena. Lalu jari-jari tanganku tak pernah lagi berhenti. Sibuk. Coret sana dan sini. Menciptakan tarian gerak pada pena. Lalu tinta-tinta yang terperangkap di dalamnya mengalir, membentuk rangkaian huruf dan kata yang berderet-deret. Rapi. Terpola. Sementara pada dinding kamarku telah tergores lagi setangkai senyum.

***

Kompleks pendidikan itu tampak begitu ganjil dan mencolok. Tak ada bangunan megah dengan ruang ber-AC. Tak ada kursi dan meja seperti layaknya sebuah ruang kelas. Semuanya berbentuk pendopo. Hanya terdiri dari lantai, pilar-pilar penyangga, dan… atap!

Lantai pendopo itu di lapisi dengan karpet yang agak tebal. Di atasnya, meja-meja berkaki rendah tertata secara apik dan simetris. Pada salah satu dindingnya terletak sebuah OHP dan white board yang cukup besar.

Jumlah pendopo yang ada pada kompleks itu sebanyak empat belas buah, dengan ukuran masing-masing tak kurang dari dua ratus meter persegi.

Dari kiri ke kanan, terlihat deretan pendopo dengan warna yang berbeda. Dua berwarna biru, enam kuning, tiga ungu, dan sisanya berwarna hijau. Warna-warna yang sangat indah dan menyejukkan, yang sekaligus juga berfungsi sebagai penanda bagi jenjang pendidikan yang ada, dari TK hingga SMU. Pada tiap-tiap pendopo yang berwarna sejenis dibatasi oleh rerimbunan pohon mawar, sedangkan pendopo yang berbeda warna terpisahkan oleh sebuah kolam kecil yang memanjang. Mengelilingi seluruh pendopo dan berakhir pada sebuah kolam besar di bagian depan kompleks.

“Agaknya penjara sudah mulai diruntuhkan…” aku bergumam sendiri. Namun desah angin yang membelai tubuhku seakan ingin mengatakan bahwa ia juga mendengar gumamku.

Kutatapi kompleks pendidikan di depanku dengan perasaan haru. Alangkah banyak mimpi yang menjadi fondasinya! Anganku kembali melayang kepada masa lima tahun yang silam, saat semuanya masih berbentuk sketsa khayal.

Saat itu, ketika kedukaan begitu menyelimutiku, ketika kenyataan-kenyataan yang tersaji di hadapanku begitu kejam dan menguras air mata. Dan ketika aku hanya mampu memindahkan semuanya kedalam goresan-goresan jiwa pada dinding kamar. Saat itulah aku mulai bangkit. Bergerak. Kuundang teman-temanku untuk berdiskusi, membuat sketsa dan rencana bagi pembentukan sebuah ‘rumah besar’. Sebuah tempat yang dapat membuat manusia mampu untuk mengikis semua kebodohan dan kebutaan akan ilmu dan finansial. Sebuah tempat yang mampu untuk mengajarkan sesuatu, tentang cara-cara mengangkat beban yang ada, tanpa harus terbebani lagi dengan beban baru berlabel biaya ini dan itu.

Enam bulan lebih kami bekerja keras. Membuat paket dan modul, lobi sana-sini dan usaha-usaha lainnya yang sangat menguras waktu dan pikiran.

Saat itu kami tak punya uang sepeserpun. Hanya semangat yang kami punya. Semangat untuk berkarya. Semangat untuk bisa memberikan sesuatu yang berharga bagi kehidupan.  Walau kami sadar bahwa niat dan semangat saja tidaklah cukup. Tapi kami tetap berusaha, tetap berjuang dengan sekuat tenaga. Bukankah hanya itu kewajiban manusia? Sementara hasil akhir, biarlah itu menjadi urusan pemilik manusia.

Tapi kota Roma memang tidak di bangun dalam satu hari!

Tekad kami diuji. Kendala mulai menghadang, berdatangan dari segala penjuru dan mulai memasung kami. Lobi-lobi tak berhasil. Tak ada sponsor yang tertarik untuk membiayai. Juga tak ada tempat.

Waktu terus berlalu meninggalkan satu demi satu kelopaknya yang berguguran. Bergulir dengan sangat lambat, tertatih-tatih seperti seorang kakek tua renta yang berjalan dengan tongkat. Hingga suatu saat, kami menemukan sebuah tempat. Agaknya bekas sebuah surau yang tak lagi dipakai, di bantaran kali yang padat penghuni.

Semangat kami bangkit lagi. Buku dan paket kami perbaiki, kami sederhanakan lagi. Lalu brosur kami sebar. Tak banyak, sesuai dengan recehan yang ada di kantung kami. Sementara pada bagian depan kami tempeli sebuah karton, dengan tulisan tangan di atasnya: TK Cahaya.

Hari-hari kembali berlalu, seperti seorang hakim yang angkuh dan gemar menebar cemas. Satu minggu, dua minggu, tak ada satupun siswa yang mendaftar. Gagal lagikah?

Baru pada minggu ketiga mulai terlihat perubahan. Murid-murid mulai berdatangan. Satu orang, dua orang, hingga akhirnya ruangan kecil itu terisi penuh.

Pada awalnya kami merasa rikuh ketika para orang tua murid itu menanyakan fasilitas yang ada.

Fasilitas apa? Bahkan bangkupun tak ada! Yang ada hanyalah sebuah triplek bekas yang diberi cat hitam, kapur tulis, lekar dan alas lantai yang tipis.

Juga ketika mereka bertanya tentang iuran dan pendaftaran. Semua jawab kami membeku, dalam senyum yang bingung.

Kompleks pendidikan itu begitu luas dan rapi. Bersahaja. Tak ada yang menyangka bahwa pendopo-pendopo itu, dibangun tanpa memungut sepeserpun uang gedung dari siswa. Bahkan biaya pendidikannyapun, walau tidak gratis, hanya sekedarnya. Sekedar pengganti buku dan paket yang digunakan. Tapi bukan berarti kesejahteraan guru dan pengurusnya menjadi sangat minim. Sulapkah? Ternyata bukan. Kepercayaanlah jawabnya. Juga keajaiban dunia virtual.

Matahari bersinar semakin terik, seakan-akan ingin mencurahkan semua pijar yang ia miliki. Sayup-sayup terdengar suara pengajar dari pendopo hijau, menerangkan tentang bazaar dan pembentukan kios majalah sebagai wahana memperoleh informasi secara gratis. Sementara pada pendopo kuning terlihat banyak sekali kesibukan. Ada yang membuat layang-layang, kartu bergambar, pigura, juga makanan ringan dan ‘es kebo’. Beberapa siswa terlihat menyerahkan kaligrafi dan ‘lukisan’ abstrak di atas kaos oblong kepada pengajar.

Kulangkahkan kaki menuju pendopo biru. Hari ini salah satu pengajar tidak masuk.

Setelah berdoa bersama, kunyalakan OHP dan sebuah transparansi kuletakkan di atasnya.

“Ini namanya huruf alif, anak-anak. Bentuknya lurus, seperti menara masjid, seperti tiang listrik…”

Dan tunas-tunas muda itu terlihat begitu antusias, mendengarkan penjelasan tentang bentuk-bentuk dasar kecakapan manusia. Senyum dan tawa sesekali keluar dari mulut-mulut kecil mereka. Sementara tangan-tangan mungil mereka terlihat begitu sibuk, mencorat-coret sesuatu pada buku. Sibuk merangkai cahaya…

 

Thorn Village-02

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun