“Tidak!” lagi-lagi batinku menolaknya.
“Sudah saatnya untuk bergerak.” Kali ini jiwaku yang berbicara, seakan-akan ingin memberikan sebuah semangat untukku memacu diri.
Malam ini aku kembali sibuk. Tapi bukan cuma merenung seperti yang selama ini menjadi pola hidupku.
Kuambil kertas dan pena. Lalu jari-jari tanganku tak pernah lagi berhenti. Sibuk. Coret sana dan sini. Menciptakan tarian gerak pada pena. Lalu tinta-tinta yang terperangkap di dalamnya mengalir, membentuk rangkaian huruf dan kata yang berderet-deret. Rapi. Terpola. Sementara pada dinding kamarku telah tergores lagi setangkai senyum.
***
Kompleks pendidikan itu tampak begitu ganjil dan mencolok. Tak ada bangunan megah dengan ruang ber-AC. Tak ada kursi dan meja seperti layaknya sebuah ruang kelas. Semuanya berbentuk pendopo. Hanya terdiri dari lantai, pilar-pilar penyangga, dan… atap!
Lantai pendopo itu di lapisi dengan karpet yang agak tebal. Di atasnya, meja-meja berkaki rendah tertata secara apik dan simetris. Pada salah satu dindingnya terletak sebuah OHP dan white board yang cukup besar.
Jumlah pendopo yang ada pada kompleks itu sebanyak empat belas buah, dengan ukuran masing-masing tak kurang dari dua ratus meter persegi.
Dari kiri ke kanan, terlihat deretan pendopo dengan warna yang berbeda. Dua berwarna biru, enam kuning, tiga ungu, dan sisanya berwarna hijau. Warna-warna yang sangat indah dan menyejukkan, yang sekaligus juga berfungsi sebagai penanda bagi jenjang pendidikan yang ada, dari TK hingga SMU. Pada tiap-tiap pendopo yang berwarna sejenis dibatasi oleh rerimbunan pohon mawar, sedangkan pendopo yang berbeda warna terpisahkan oleh sebuah kolam kecil yang memanjang. Mengelilingi seluruh pendopo dan berakhir pada sebuah kolam besar di bagian depan kompleks.
“Agaknya penjara sudah mulai diruntuhkan…” aku bergumam sendiri. Namun desah angin yang membelai tubuhku seakan ingin mengatakan bahwa ia juga mendengar gumamku.
Kutatapi kompleks pendidikan di depanku dengan perasaan haru. Alangkah banyak mimpi yang menjadi fondasinya! Anganku kembali melayang kepada masa lima tahun yang silam, saat semuanya masih berbentuk sketsa khayal.