Negeri yang terluka.
Bilakah negeri ini bermetamorfosa?
Menjadi negeri mercusuar bagi cahaya Ilahi,
menjadi cahaya di Timur,
tempat kami semua… berpijar.
Â
Kutatapi lagi satu demi satu ‘prasasti dinding’ yang tak beraturan itu. Alangkah banyaknya jubah yang tergantung di sana! Jubah yang terangkai dari benang-benang hidup yang sarat dengan emosi. Jubah yang penuh dengan warna; kesedihan, asa, kejujuran dan warna-warna lainnya yang belum sempat diberi nama oleh manusia. Alangkah ramainya hidup! Berapa kamar lagikah yang kubutuhkan untuk menulisi sisa hidupku? Bahkan hari inipun aku telah menyiapkan lagi sebuah goresan baru: Duka.
Jika saja emosi dan benda tak perlu diberi nama, tentulah aku tak akan bersusah-susah lagi membuat daftar baru untuk mereka. Daftar baru untuk bocah-bocah belasan tahun yang –dengan terpaksa- merelakan tubuhnya, hanya demi sesuap nasi. Daftar baru untuk mereka yang terdampar nasib di kolong jembatan, di emper-emper swalayan yang gemerlap, atau untuk mereka yang tak tahu lagi harus berbuat apa hingga malam-malam yang mengalir, hanya dipenuhi dengan gambar-gambar tentang rumah… yang akan mereka curi! Tapi, benarkah sebuah daftar cukup berarti buat mereka?
***
Hari ini aku merasa begitu letih. Jiwaku kembali terdampar.
Hari ini, kenyataan kembali memberiku nama: Pemakluman. Begitu populernya kata-kata itu hingga aku dapat dengan mudah menemuinya di manapun. Di dusun, di kota, di tempat sampah, di selokan-selokan, bahkan dalam saku-saku mewah jas para pemimpin negeri ini.