Mohon tunggu...
Ahmad Aunullah
Ahmad Aunullah Mohon Tunggu... Konsultan - Pelaku Wisata

Pelaku wisata yang tidak suka berada indoor terlalu lama. Berkantor di Lombok, bertempat tinggal kebanyakaan di laut.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Overtourism Itu adalah Review

23 November 2019   15:56 Diperbarui: 24 November 2019   16:11 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa waktu terakhir ini ada sebuah rekomendasi tentang destinasi yang tidak direkomendasikan pada tahun 2020 yang ditulis oleh Fodor sebuah website yang didirikan oleh Eugene Fodor yang juga seorang traveler. Dalam artikel nya berjudul  "Thirteen places to reconsider in the year ahead" atau 13 Destinasi untuk dipertimbangkan untuk tahun mendatang dan khusus untuk tahun 2020 mereka berkata bahwa daftar destinasinya semakin banyak dari sebelumnya dimana Bali dan Labuan Bajo masuk didalam daftar tersebut.

Fodor juga menjelaskan latar belakang dari masuknya destinasi-destinasi tersebut dimana Bali disebutkan karena sudah mengalami 'overtourism' dan untuk Labuan Bajo karena adanya wacana untuk menerapkan biaya yang terlalu tinggi.

Rekomendasi ini bukanlah sensasi atau malah hoaks menurut saya karena Fodor adalah sebuah Perusahaan yang memang mengkhususkan untuk membahas tentang wisata, sama dengan website lainnya seperti lonely planet, tripadvisor dan lainnya.

Rekomendasi ini kalau kita mau lihat lebih jernih lagi adalah merupakan sebuah 'review' namun mungkin karena kita selalu berfokus dan terlena kepada review yang positif sehingga review yang negative dianggap sebagai sensasi padahal dalam dunia layanan sebuah review baik itu positf maupun negative adalah sebuah masukkan berharga untuk selalu memperbaiki, apabila review itu salah, kita lihat apa yang salah dan benahi dan apabila review itu keliru dan tidak sesuai dengan realitas maka kita harus meluruskannya, bukan dianggap sebagai sensasi belaka.

Overtourism

Kata 'overtourism' kedengarannya mungkin sedikit subyektif saat menerangkan sebuah keadaan dimana jumlah turis disebuah destinasi sudah terlalu banyak, tidak ada tolak ukurnya dan definisi dari kata terlalu banyak itu beda dengan kelebihan produksi sebuah barang yang dapat diketahui.

Kalau melihat dari segi jumlah mungkin dapat terlihat dari laporan WTO pada tahun 2017 yang menyebutkan bahwa Perancis telah melayani 87 juta wisatawan dimana angka ini 20 juta lebih banyak dari jumlah penduduk negara Perancis.

Akan tetapi bukankah setiap negara selalu mentargetkan jumlah wisatawan yang datang dalam jumlah besar untuk mendongkrak devisanya?

Setelah membaca artikel di beberapa media di internet saya bisa lebih memahami dimana overtourism bukanlah mengenai jumlah wisatawan yang terlalu banyak akan tetapi lebih kepada dampak yang dialami tidak hanya kepada masyarakat lokalnya akan tetapi juga kepada wisatawan itu sendiri.

WTO atau The World Tourism Organization mendefinisikan overtourism sebagai dampak dari pariwisata di sebuah destinasi yang mempengaruhi taraf kehidupan masyarakat lokalnya dan atau dampak negatif kepada pengalaman wisatawan itu sendiri dalam berlibur.

Beberapa kejadian beberapa waktu terakhir ini di Bali dimana turis-turis sering membuat ulah adalah beberapa indikasi akan keadaan ini dan juga menurut saya belum sadarnya semua turis akan Kode Etik seorang turis itu apa.

Turis yang selalu kembali berkunjung ke sebuah destinasi biasanya menggunakan dasar karena sudah menganggap destinasi tersebut adalah rumah kedua bagi mereka dan mereka sangat menyukai destinasi tersebut, mereka tidak menyadari bahwa meskipun mereka menyebut sebagai rumah kedua mereka, hal tersebut tidak merubah fakta bahwa mereka berada di rumah orang yang memiliki tradisi dan kebiasaan serta rambu-rambu dan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh wisatawan dan juga penduduk lokal dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam setiap panduan wisata ke sebuah destinasi pasti ada daftar 'DOs and DON'Ts' ini sebenarnya sudah harus menjadi panduan pertama bagi turis sebelum mereka tiba di destinasi tersebut untuk bersikap dan menghargai kehidupan disana.

Salah satu poin dari Kode Etik Turis yang dirumuskan oleh The Center for Responsible Tourism (icrtourism.org) menyebutkan "Realize that often the people in the country you visit have time concepts and thought patterns different from your own, this does not make them inferior, only different." atau Harap menyadari bahwa masyarakat di sebuah negara yang akan kita kunjungi akan memiliki perbedaan konsep dan pandangan dengan kita namun tidak menjadikan masyarakat disana lebih rendah, hanya berbeda.

Turis terkadang juga melupakan bahwa wisata adalah sebuah tempat pertukaran ilmu dan pengalaman diantara wisatawan dan tuan rumah dimana wisatawan mungkin dapat membawa ilmu atau kemajuan teknologi dari negara asalnya untuk membantu masyarakat lokal dalam mempermudah kehidupannya dan disisi lain tuan rumah dapat memberikan sebuah pengalaman berupa keaslian dan ciri khas dari daerahnya dimana hal ini mungkin tidak dimiliki oleh negara asalnya.

Dikutip dari Wikipedia bahwa penyebab dari overtourism ini adalah low-cost airlines, Cruises, Website yang menawarkan akomodasi murah serta social media.

Low-cost airlines membawa dampak positif dalam memberikan kemudahan wisatawan dalam mengunjungi destinasi yang diinginkan. Cruises yang merupakan mass tourism yang dapat membawa banyak wisatawan dalam sekali trip, website yang menawarkan akomodasi murah kepada wisatawan yang membuat lebih banyak turis yang mampu untuk berlibur serta dampak positif yang diberikan oleh social media yang selalu mengekspos keindahan alam sekitar.

Keempat penyebab tersebut sebenarnya merupakan dampak positf baik bagi destinasi, pelaku wisata dan penduduk lokal sehingga yang dulunya orang sulit untuk mencapai daerahnya, kini dengan adanya keempat hal tersebut dapat terwujud, namun biasanya dampak negative yang cenderung terlewatkan karena biasanya datangnya diakhir bukan diawal.

Undertourism

Keadaan ini justru kebalikkan dari overtourism dimana sebuah destinasi dengan potensi yang dimiliki justru menjadi destinasi yang kurang dikunjungi oleh wisatawan. Hal ini justru menjadikan ajang promosi dari destinasi yang undertourism dengan mengatakan 'berkunjunglah kesini, anda tidak perlu antri untuk selfie dan posting di Instagram anda" dan lainnya.

Inteprid sebuah perusahaan travel di Melbourne, Australia mengeluarkan daftar 10 negara yang undertourism yaitu Papua New Guinea, Kenya, Tajikistan, Indonesia, Iran, Uzbekistan, Mesir, Kolumbia, Zimbabwe dan Mongolia.

Daftar ini berdasarkan Rasio Kepadatan Wisata atau Tourism Density Ratio yang mereka rumuskan dalam menentukan sebuah destinasi masuk dalam kategori overtourism ataun undertourism.

Menariknya disini Indonesia masuk dalam daftar tersebut, sedangkan Bali masuk dalam destinasi yang sudah overtourism. Pada artikel mereka disebutkan bahwa ' Bali is not Indonesia ' Bali bukan Indonesia, ini karena distribusi wisatawan di Indonesia yang tidak merata, mereka mengatakan bahwa kalau kita makan malam di Kuta Bali dengan makan malam di destinasi lain seperti di Sulawesi dan lainnya maka kita dapat memahami definisi dari overtourism itu sendiri.

Mereka mengatakan Indonesia memiliki Rasio Kepadatan Wisata sebesar  hanya 5.32% berdasarkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia pada tahun 2018 sebanyak 14 juta dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia 263 juta jiwa.

Pada Akhirnya

Pariwisata adalah sebuah industri dan wisatawan adalah sebuah komunitas dengan jumlah anggota yang luar biasa banyak dan meningkat dari tahun ke tahun.

Sebagai industri seperti industry lainnya, pariwisata juga harus memilik regulasi dan manajemen ('regulated and managed') oleh pembuat kebijakan, sebuah proteksi tidak selamanya bedampak negatif selama hal tersebut untuk memperlancar dan menyimbangkan kehidupan masyrakat dalam menghadapi dampak dari sebuah perkembangan industri.

Sebuah destinasi yang tadinya mungkin undertourism dan tidak ada di tata dan kelola dengan segala aturan yang berlaku akan menjadi sebuah destinasi overtourism yang baru di tahun-tahun mendatang karena pada dasarnya sebuah destinasi akan selalu membutuhkan jumlah kunjungan yang membawa dampak positif terutama dalam perekonomian.

Dilain pihak wisatawan sebagai komunitas yang luar biasa dalam hal jumlah mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi perkembangan pariwisata di sebuah destinasi akan tetapi mereka sering melupakan adanya kode etik wisatawan dan melupakan bahwa destinasi bukanlah rumah dan pekarangan mereka, ada peraturan yang harus ditaati selama keberadaaan mereka didestinasi tersebut.

Segmentasi pasar dalam wisata memang penting namun harus didukung oleh tata kelola yang baik pula. Peningkatan mutu layanan dalam wisata tidak akan berdampak langsung dan menyentuh tanpa adanya aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh wisatawan serta juga kesadaran mereka sebagai tamu pada destinasi yang mereka kunjungi dalam bentuk Kode Etik Wisatawan.

Beberapa perusahaan wisata berbasis online bahkan sudah lebih dulu menetapkan aturan mereka dalam mengantar tamu-tamu mereka dengan melihat beberapa faktor seperti dampak lingkungan dan bahkan melihat bagaimana sebuah destinasi memperlakukan dan melindungi satwa dalam penerapannya di pariwisata.

Sehingga baik kuantitas maupun kualitas dalam pariwisata sebaiknya diperkuat oleh aturan-aturan untuk menimalkan dampat negatif dari pariwisata tidak terhadap kehidupan ekonomi masyarakat saja melainkan juga lingkungan yang menjadi salah satu daya Tarik wisata serta kehidupan sosialnya sendiri.

Sebuah deklarasi di Cape Town pada tahun 2002 yaitu 'Responsible Tourism' salah satunya memfokuskan hal tersebut. Deklarasi ini sudah diterima dan diterapkan oleh banyak pihak.
Saya kurang mendapatkan informasi apakah Indonesia sudah mengadaptasi Deklarasi Cape Town ini namun saya melihat hal ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara perkembangan jaman dan teknologi serta perkembangan pariwisata dunia dengan kelokalan sebuah destinasi yang merupakan ciri khas dan akar rumput dari pariwisata itu sendiri.

Rekomendasi dari sebuah pihak adalah sebuah review yang seharusnya menjadi alarm bagi sebuah destinasi bukan dianggap sebagai sensasi belaka dan bahkan hoaks karena bagaimanapun juga sebuah review yang dikeluarkan itu berdasarkan penilaian dari wisatawan sebagai komunitas yang berjumlah sangat banyak dan selalu meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun sehingga dasarnya adalah tidak saja apa yang dilihat tapi juga sudah dialami.

Sebuah pemikiran untuk kita bersama dalam membangun pariwisata di negara yang kita cintai ini yang tidak akan pernah kehabisan stok destinasi wisata dan tidak akan pernah impor.

Mudah-mudah berguna. Salam Pariwisata

Sumber dan Referensi :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun