Abstrak
Khmer Merah merupakan sebutan untuk rezim yang berkuasa di Kamboja pada 1975-1949. Menurut Kamus Merriam Webster, kata Khmer berarti etnis asli Kamboja. Sementara itu, kata Merah dalam hal ini menggambarkan ideologi komunis yang diadopsi oleh rezim yang berkuasa selama empat tahun ini. Dengan membawa paham radikal dan kebijakan yang represif, Rezim Khmer Merah menjadi dalang utama dibalik krisis kemanusiaan dan genosida yang menewaskan jutaan orang di Kamboja. Konflik ini beramplifikasi dan memantik ketegangan di kawasan, terkhusus dengan Vietnam dan Thailand. Invasi Vietnam ke Kamboja pada 1979 menandai berakhirnya Rezim Khmer Merah yang justru hal ini memperkeruh situasi regional dan memicu keterlibatan kekuatan global seperti Uni Soviet, Amerika Serikat, dan China dalam dimensi Perang Dingin di Kawasan.
Tulisan ini merupakan hasil daripada penelitian singkat mengenai dampak kekuasaan Khmer Merah terhadap stabilitas politik di Asia Tenggara. Pembahasan akan berorientasi pada ketegangan antar negara, krisis kemanusiaan, dan juga sikap ASEAN terhadap krisis tersebut. Selain itu, tulisan ini juga menjabarkan terkait transisi politik yang terjadi pasca-Khmer Merah. Melalui analisis singkat, tulisan ini berupaya untuk menunjukkan bagaimana pengalaman historis ini membentuk pendekatan kawasan Asia Tenggara dalam penanganan isu pertahanan, keamanan, dan juga stabilitas politik di kancah regional ataupun internasional.
Kata kunci: Khmer Merah, Kamboja, Asia Tenggara, ASEAN, Perang Dingin
1. Pendahuluan
1.1 Kemunculan Khmer Merah
Khmer Merah adalah nama yang disematkan untuk suatu rezim yang berlandaskan paham komunisme di Kamboja. Rezim ini berkuasa pada tahun 1975 sampai 1979 dan dipimpin oleh seorang diktator bernama Pol Pot. Rezim ini memiliki “misi” untuk membuat suatu bentuk masyarakat agraris tanpa sedikitpun menerima pengaruh luar (otonom). Pada awalnya rezim ini mendapatkan banyak dukungan terkhusus kelompok petani yang merasa tertindas oleh rezim sebelumnya. Selain itu, Khmer Merah juga “mudah” diterima masyarakat karena memanfaatkan sentimen anti kolonial yang melekat di Kamboja setelah Perang Indocina.
Kemunculan Paham Komunis Khmer Merah tidak terlepas dari pengaruh orang-orang China dan Vietnam pada tahun 1920-an. Mereka pada saat itu bekerja di suatu perkebunan karet yang dikelola oleh pemerintah kolonial Prancis yang saat itu memegang kekuasaan di Indocina (Kiernan, 1981). Memang selepas Perang Dunia II, Kawasan Asia Tenggara menjadi medan pertarungan ideologi antara dua kekuatan besar saat itu, yaitu Uni Soviet yang membawa paham komunisme dan Negeri Paman Sam yang mengusung paham liberalisme. Kamboja yang terhimpit diantara Thailand yang pro-barat dan Vietnam dengan komunisnya, mau tidak mau harus terlibat dalam dinamika geopolitik kompleks tersebut.
Corak Ideologi Komunis Khmer Merah terinspirasi dari pemikiran kiri ala Mao Zedong (Maoisme) yang termasuk salah satu varian dari komunisme (Galway, 2010). Paham ekstrim tersebut tentunya juga menuai kebijakan-kebijakan yang ekstrim pula. Beberapa kebijakan ekstrimnya antara lain, penghapusan sistem kepemilikan pribadi seperti kepemilikan tanah, menjadikan swasembada pertanian sebagai fondasi utama ekonomi negara, sistem pendidikan dan agama dilenyapkan. Tercatat pada rentang empat tahun tersebut (1975-1979) Kamboja yang dikuasai Khmer Merah menjadi salah satu pemerintahan paling berdarah dalam sejarah kawasan.
1.2 Kekuasaan Khmer Merah
Kamboja (saat itu masih bernama Republik Khmer) secara resmi menjadi negara berdaulat pada 9 November 1953 setelah kepergian Prancis dari kawasan Indocina. Saat itu Kamboja melewati berbagai konflik internal hingga pada puncaknya pada 1968 meletuslah Perang Sipil Kamboja. Perang ini melibatkan Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot melawan Pemerintah Kerajaan Kamboja yang awalnya dipimpin oleh Norodom Sihanouk, kemudian dipimpin oleh Jenderal Lon Nol pada 1970. (Kiernan, 1981). Perang Sipil Kamboja berakhir pada 1975 yang ditandai dengan kemenangan Khmer Merah yang saat itu menguasai Phnom Penh.
Hal tersebut menjadikan beberapa orang Khmer Merah menjadi bagian dari rezim baru ini, terkhusus pemimpin Khmer Merah, Pol Pot yang saat itu memegang peran sebagai Perdana Menteri (Short, 2004). Dengan kekuasaan ini, Pol Pot mengendalikan penuh kebijakan negara dan menerapkan ideologi komunisnya untuk membentuk masyarakat agraris yang otonom. Langkah pertama Pol Pot setelah berkuasa adalah mengubah nama Republik Khmer menjadi Kampuchea yang sesuai dengan nama Partai Komunis Kamboja. Perubahan nama ini merupakan bagian daripada rencana Pol Pot untuk melenyapkan pengaruh luar seperti imperialisme dan kapitalisme.
Reformasi ala Pol Pot ini membuat Kamboja menjadi lemah dari segi ekonomi, militer dan sosial. Hal ini memicu Vietnam untuk mulai menginvasi Kamboja pada 1978. Tidak berselang lama, Vietnam berhasil menguasai Phnom Penh pada 1979 (Kiernan, 1981). Penggulingan Rezim Khmer Merah oleh Vietnam tidak hanya menandai berakhirnya kekuasaan Pol Pot di Kamboja, tetapi juga menimbulkan perpecahan di internal Khmer Merah. Perpecahan ini berakhir dengan keputusan untuk mengadili Pol Pot oleh organisasinya sendiri, Khmer Merah. Pol Pot dijadikan sebagai tahanan rumah dibawah pengawasan Khmer Merah. Hingga pada tahun 1994, Pol Pot dilaporkan meninggal dunia sebab serangan jantung.
2. Pembahasan
Khmer Merah memberikan pengaruh besar terhadap stabilitas politik di Asia Tenggara. Salah satu pengaruh terbesarnya adalah ketidakstabilan hubungan bilateral antara Kamboja dengan negara-negara kawasan terkhusus Thailand, Vietnam, dan juga Laos. Invasi Vietnam terhadap Kamboja pada 1979 yang berakhir dengan kudeta Pol Pot menjadi titik balik Kamboja setelah krisis selama empat tahun.
Meskipun Khmer Merah dan Vietnam sama-sama menggunakan ideologi komunis, keduanya memiliki perbedaan dari segi pendekatan kebijakan regional. Khmer Merah pimpinan Pol Pot kurang setuju dengan Vietnam yang dianggap terlalu berorientasi internasional dan cenderung mendukung kepentingan Soviet saat itu. Hal ini menyebabkan ketegangan antara keduanya memuncak, terlebih ketika Khmer Merah melakukan serangan ke perbatasan Vietnam pada 1978 yang menewaskan ribuan warga sipil (Kiernan, 1981). Secara sistematis, Vietnam melakukan serangan balasan yaitu dengan melakukan invasi penuh terhadap Kamboja pada 1979 yang juga menggulingkan Khmer Merah-nya Pol Pot dan membentuk pemerintahan baru yang Pro-Hanoi
Selain daripada itu, krisis pengungsi yang terjadi akibat kekejaman Khmer Merah menimbulkan tekanan besar pada negara-negara tetangga, terutama Thailand. Ratusan ribu warga Kamboja melarikan diri dari pemerintahan Khmer Merah, mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsi di sepanjang perbatasan Thailand (Frey, 2009). Kamp pengungsi ini, selain menjadi beban ekonomi, juga menimbulkan masalah keamanan karena digunakan oleh Khmer Merah yang masih aktif untuk merekrut kembali pendukungnya. Keberadaan kamp-kamp ini memperburuk ketegangan di kawasan, terutama antara Thailand dan Vietnam, karena Vietnam menganggap Thailand mendukung sisa-sisa pasukan Khmer Merah yang berlindung di wilayah perbatasannya .
Dari perspektif regional, ASEAN, yang pada saat itu masih dalam tahap awal pembentukannya sebagai organisasi regional, menghadapi tantangan besar dalam merespons krisis Kamboja (Acharya, 2009). ASEAN pada dasarnya mengadopsi kebijakan non-intervensi, yang menghindarkan anggotanya dari keterlibatan langsing dalam konflik internal negara-negara tetangganya. Namun, invasi Vietnam ke Kamboja dipandang sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas kawasan dan prinsip non-intervensi, terutama karena keterlibatan kekuatan besar seperti Uni Soviet dan China yang memperburuk situasi regional. Sebagai jawaban, ASEAN menawarkan pendekatan diplomasi multilateral dengan mendukung upaya internasional, termasuk di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi damai dan mengakhiri pendudukan Vietnam di Kamboja.
3. Simpulan
Kekuasaan Khmer Merah di Kamboja yang berlangsung selama empat tahun (1975 - 1979) membawa pengaruh yang tidak hanya dialami oleh Kamboja itu sendiri, tetapi juga terhadap stabilitas politik kawasan Asia Tenggara. Rezim yang dipimpin oleh diktator bernama Pol Pot ini membawa bencana kemanusiaan melalui genosida, kebijakan represif, dan kehancuran ekonomi di Kamboja, namun pengaruhnya meluas ke negara-negara tetangga di kawasan dan menimbulkan krisis regional yang cukup parah.
Khmer Merah berimplikasi langsung terhadap hubungan bilateral antara Kamboja dan Vietnam. Ketegangan pertama kali muncul akibat invasi Vietnam terhadap Kamboja pada 1979. Invasi ini tidak hanya menghentikan kekuasaan Khmer Merah, tetapi juga memperburuk ketidakstabilan regional. Vietnam melihat intervensinya sebagai langkah untuk mengakhiri kekejaman Pol Pot dan menstabilkan kawasan, sementara negara-negara ASEAN lainnya seperti Thailand, melihatnya sebagai ancaman terhadap kedaulayan regional dan stabilitas kawasan. Dengan demikian, invasi ini memicu peningkatan ketegangan antarnegara di Asia Tenggara dan memperparah fragmentasi politik yang sudah ada.
Selain daripada itu, krisis pengungsi yang dipicu oleh kebijakan Khmer Merah memperburuk masalah kemanusiaan di Asia Tenggara. Thailand, sebagai negara yang paling terpengaruh, menjadi tempat pelarian bagi ratusan ribu pengungsi Kamboja. Meskipun negara-negara ASEAN, termasuk Thailand, berusaha menanggulangi masalah ini, pengungsi juga menjadi titik konflik karena Khmer Merah masih aktif merekrut pendukung dari kamp-kamp pengungsi tersebut. Hal ini menciptakan ketegangan antara Thailand dan Vietnam, yang pada akhirnya mengganggu upaya regional untuk membangun stabilitas politik yang lebih luas .
Konklusinya, Khmer Merah merupakan salah satu contoh paling tragis tentang bagaimana ideologi radikal dan konflik internal dapat memiliki dampak meluas terhadap keamanan dan stabilitas regional. Periode kekuasaan Khmer Merah memperparah ketegangan di antara negara-negara Asia Tenggara dan “menguji“ kemampuan ASEAN dalam menjaga perdamaian di kawasan yang dipengaruhi oleh intervensi kekuatan seperti Khmer Merah. Isu seperti ini membuat ASEAN memperkuat hubungan antar negara di kawasan demi mencegah munculnya “Khmer Merah” lain di kemudian hari.
Referensi:
Acharya, A. (2009). Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order. Routledge.
Galway, Matt. (2010). From the claws of the tiger to the jaws of the crocodile: Pol Pot, Maoism, and ultra-nationalist genocide in Cambodia, 1975-1979. University of Ottawa. Retrieved from uOttawa Theses.
Frey, R. J. (2009). Genocide and international justice. Facts On File.
Kiernan, Ben. "Origins of Khmer Communism", Southeast Asian Affairs 1981.
Short, Philip. (2004). Pol Pot: The history of a nightmare. John Murray.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H