Mohon tunggu...
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH
AHMAD WILDAN SYARIFULLAH Mohon Tunggu... Aktor - Mahasiswa S-1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Mahasiswa pegiat kajian filsafat dan isu keuangan -a Stoic

Selanjutnya

Tutup

Politik

Khmer Merah dan Implikasinya terhadap Stabilitas Politik di Asia Tenggara

7 Oktober 2024   17:19 Diperbarui: 7 Oktober 2024   17:25 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera Khmer Merah. Sumber: https://upload.wikimedia.org

1.2 Kekuasaan Khmer Merah

Kamboja (saat itu masih bernama Republik Khmer) secara resmi menjadi negara berdaulat pada 9 November 1953 setelah kepergian Prancis dari kawasan Indocina. Saat itu Kamboja melewati berbagai konflik internal hingga pada puncaknya pada 1968 meletuslah Perang Sipil Kamboja. Perang ini melibatkan Khmer Merah yang dipimpin oleh Pol Pot melawan Pemerintah Kerajaan Kamboja yang awalnya dipimpin oleh Norodom Sihanouk, kemudian dipimpin oleh Jenderal Lon Nol pada 1970. (Kiernan, 1981). Perang Sipil Kamboja berakhir pada 1975 yang ditandai dengan kemenangan Khmer Merah yang saat itu menguasai Phnom Penh.

Hal tersebut menjadikan beberapa orang Khmer Merah menjadi bagian dari rezim baru ini, terkhusus pemimpin Khmer Merah, Pol Pot yang saat itu memegang peran sebagai Perdana Menteri (Short, 2004). Dengan kekuasaan ini, Pol Pot mengendalikan penuh kebijakan negara dan menerapkan ideologi komunisnya untuk membentuk masyarakat agraris yang otonom. Langkah pertama Pol Pot setelah berkuasa adalah mengubah nama Republik Khmer menjadi Kampuchea yang sesuai dengan nama Partai Komunis Kamboja. Perubahan nama ini merupakan bagian daripada rencana Pol Pot untuk melenyapkan pengaruh luar seperti imperialisme dan kapitalisme.

Reformasi ala Pol Pot ini membuat Kamboja menjadi lemah dari segi ekonomi, militer dan sosial. Hal ini memicu Vietnam untuk mulai menginvasi Kamboja pada 1978. Tidak berselang lama, Vietnam berhasil menguasai Phnom Penh pada 1979 (Kiernan, 1981). Penggulingan Rezim Khmer Merah oleh Vietnam tidak hanya menandai berakhirnya kekuasaan Pol Pot di Kamboja, tetapi juga menimbulkan perpecahan di internal Khmer Merah. Perpecahan ini berakhir dengan keputusan untuk mengadili Pol Pot oleh organisasinya sendiri, Khmer Merah. Pol Pot dijadikan sebagai tahanan rumah dibawah pengawasan Khmer Merah. Hingga pada tahun 1994, Pol Pot dilaporkan meninggal dunia sebab serangan jantung.

2. Pembahasan

Khmer Merah memberikan pengaruh besar terhadap stabilitas politik di Asia Tenggara. Salah satu pengaruh terbesarnya adalah ketidakstabilan hubungan bilateral antara Kamboja dengan negara-negara kawasan terkhusus Thailand, Vietnam, dan juga Laos. Invasi Vietnam terhadap Kamboja pada 1979 yang berakhir dengan kudeta Pol Pot menjadi titik balik Kamboja setelah krisis selama empat tahun.

Meskipun Khmer Merah dan Vietnam sama-sama menggunakan ideologi komunis, keduanya memiliki perbedaan dari segi pendekatan kebijakan regional. Khmer Merah pimpinan Pol Pot kurang setuju dengan Vietnam yang dianggap terlalu berorientasi internasional dan cenderung mendukung kepentingan Soviet saat itu. Hal ini menyebabkan ketegangan antara keduanya memuncak, terlebih ketika Khmer Merah melakukan serangan ke perbatasan Vietnam pada 1978 yang menewaskan ribuan warga sipil (Kiernan, 1981). Secara sistematis, Vietnam melakukan serangan balasan yaitu dengan melakukan invasi penuh terhadap Kamboja pada 1979 yang juga menggulingkan Khmer Merah-nya Pol Pot dan membentuk pemerintahan baru yang Pro-Hanoi

Selain daripada itu, krisis pengungsi yang terjadi akibat kekejaman Khmer Merah menimbulkan tekanan besar pada negara-negara tetangga, terutama Thailand. Ratusan ribu warga Kamboja melarikan diri dari pemerintahan Khmer Merah, mencari perlindungan di kamp-kamp pengungsi di sepanjang perbatasan Thailand (Frey, 2009). Kamp pengungsi ini, selain menjadi beban ekonomi, juga menimbulkan masalah keamanan karena digunakan oleh Khmer Merah yang masih aktif untuk merekrut kembali pendukungnya. Keberadaan kamp-kamp ini memperburuk ketegangan di kawasan, terutama antara Thailand dan Vietnam, karena Vietnam menganggap Thailand mendukung sisa-sisa pasukan Khmer Merah yang berlindung di wilayah perbatasannya .

Dari perspektif regional, ASEAN, yang pada saat itu masih dalam tahap awal pembentukannya sebagai organisasi regional, menghadapi tantangan besar dalam merespons krisis Kamboja (Acharya, 2009). ASEAN pada dasarnya mengadopsi kebijakan non-intervensi, yang menghindarkan anggotanya dari keterlibatan langsing dalam konflik internal negara-negara tetangganya. Namun, invasi Vietnam ke Kamboja dipandang sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas kawasan dan prinsip non-intervensi, terutama karena keterlibatan kekuatan besar seperti Uni Soviet dan China yang memperburuk situasi regional. Sebagai jawaban, ASEAN menawarkan pendekatan diplomasi multilateral dengan mendukung upaya internasional, termasuk di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyelesaikan konflik melalui negosiasi damai dan mengakhiri pendudukan Vietnam di Kamboja.

3. Simpulan

Kekuasaan Khmer Merah di Kamboja yang berlangsung selama empat tahun (1975 - 1979) membawa pengaruh yang tidak hanya dialami oleh Kamboja itu sendiri, tetapi juga terhadap stabilitas politik kawasan Asia Tenggara. Rezim yang dipimpin oleh diktator bernama Pol Pot ini membawa bencana kemanusiaan melalui genosida, kebijakan represif, dan kehancuran ekonomi di Kamboja, namun pengaruhnya meluas ke negara-negara tetangga di kawasan dan menimbulkan krisis regional yang cukup parah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun