Ketidakhadiran komunikasi yang lebih mendalam dan penuh empati membuat banyak orang hanya fokus pada kemenangan argumen, bukannya mencari pemahaman. Perdebatan di media sosial sering kali tidak didasarkan pada dialog yang sehat dan saling memahami, tetapi justru menjadi ajang untuk mempertahankan pandangan pribadi dan menolak melihat dari sudut pandang orang lain.
Polarisasi ini menciptakan jurang yang semakin lebar antara kelompok-kelompok yang berbeda pandangan, menjadikan diskusi yang sehat dan konstruktif semakin sulit dicapai.
 Masyarakat menjadi lebih terpecah karena adanya kecenderungan untuk memandang pihak yang berbeda sebagai lawan atau musuh, bukan sebagai individu dengan pandangan yang sah. Ini juga menghambat perkembangan pemahaman kolektif dan solusi yang lebih inklusif dalam menangani berbagai isu sosial dan politik.
b. Lunturnya Nilai-nilai Kemanusiaan
Dalam era digital, media sosial memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk menjadi "populer" dengan cepat, melalui jumlah likes, followers, dan interaksi yang dihasilkan dari konten mereka.
 Sayangnya, dalam upaya untuk mendapatkan perhatian dan pengakuan, sering kali nilai-nilai moral dan etika terabaikan. Banyak orang terdorong untuk membuat konten yang kontroversial, sensasional, atau bahkan tidak benar, hanya untuk mendapatkan engagement lebih banyak. Akibatnya, berita hoaks, ujaran kebencian, dan cyberbullying menjadi masalah yang semakin mengkhawatirkan.
Berita hoaks (palsu) adalah salah satu dampak serius dari fenomena ini. Dalam mengejar popularitas, individu atau kelompok sering menyebarkan informasi yang tidak benar atau menyesatkan demi menarik perhatian banyak orang.
 Informasi ini biasanya dirancang untuk memicu emosi, seperti kemarahan atau ketakutan, sehingga lebih mudah viral. Penyebaran hoaks tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap informasi yang sahih, tetapi juga memperkeruh situasi sosial dan politik dengan menciptakan kebingungan dan memecah belah masyarakat.
Ujaran kebencian juga sering kali muncul di media sosial sebagai cara untuk mendapatkan respons cepat. Orang-orang yang ingin mendapatkan perhatian lebih mungkin memanfaatkan isu-isu sensitif, seperti ras, agama, atau politik, untuk memprovokasi emosi dan menciptakan polarisasi. Ujaran kebencian ini tidak hanya menimbulkan ketegangan sosial, tetapi juga melanggar nilai-nilai dasar tentang hormat dan martabat manusia.Â
Kebebasan berpendapat sering kali disalahartikan sebagai kebebasan untuk menghina atau menyerang kelompok lain secara verbal, tanpa memikirkan dampak jangka panjangnya pada masyarakat.
Selain itu, cyberbullying atau perundungan daring menjadi salah satu fenomena paling merusak di dunia digital. Pengguna yang ingin menonjolkan diri kadang-kadang menggunakan tindakan intimidasi, penghinaan, atau pelecehan terhadap orang lain.Â