Penyerap Karbon Dioksida akan Berkurang di Masa Depan
Penyerap karbon alami seperti pohon di darat dan fitoplankton di laut memainkan peran penting dalam mengurangi jumlah karbon dioksida (CO) di atmosfer. Namun, ada kabar buruk: mengukur secara akurat seberapa banyak karbon yang diserap oleh pohon dan fitoplankton sangat rumit dan sulit. Kedua ekosistem ini bekerja dalam cara yang dinamis dan dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan yang saling terkait, seperti suhu, kelembapan, kadar nutrisi, dan intensitas cahaya.
Di darat, misalnya, kemampuan pohon untuk menyerap karbon melalui fotosintesis bergantung pada kondisi cuaca dan suhu. Dalam kondisi normal, pohon menyerap CO dari atmosfer dan menyimpannya sebagai biomassa. Namun, dengan meningkatnya suhu akibat perubahan iklim, proses ini terganggu. Pohon yang mengalami stres karena suhu yang lebih panas atau kekurangan air mungkin tidak dapat menyerap karbon dengan efisien, atau bahkan melepaskan lebih banyak karbon melalui proses respirasi. Demikian pula, di laut, fitoplankton yang biasanya menyerap CO untuk fotosintesis bisa terpengaruh oleh perubahan suhu laut, tingkat keasaman, dan penurunan nutrisi, yang semuanya dapat mengurangi kemampuan mereka untuk menyerap karbon.
Model ilmiah yang memprediksi masa depan menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: baik penyerap karbon di darat maupun di lautan diperkirakan akan terus menurun sebagai akibat langsung dari perubahan iklim. Pemanasan global, cuaca ekstrem, pengasaman laut, dan deforestasi akan mengganggu keseimbangan alami ini, membuat kemampuan planet untuk menyerap karbon berkurang secara signifikan di masa depan. Ketika penyerap karbon alami ini kehilangan kemampuannya, emisi karbon yang dihasilkan oleh aktivitas manusia akan tetap lebih lama di atmosfer, mempercepat pemanasan global dan memperburuk dampak perubahan iklim secara keseluruhan.
Andrew Watson, Kepala kelompok sains kelautan dan atmosfer di Exeter University, Inggris, mengungkapkan bahwa meskipun banyak model ilmiah menunjukkan penurunan kemampuan penyerap karbon alami seperti hutan dan lautan, ada ketidakpastian tentang seberapa cepat proses ini akan terjadi. Menurutnya, sebagian besar model memperkirakan bahwa penurunan ini akan terjadi perlahan dalam kurun waktu 100 tahun atau lebih. Namun, Watson juga menekankan bahwa banyak dari model-model ini tidak memasukkan beberapa faktor penting yang dapat mempercepat keruntuhan penyerap karbon, seperti kebakaran hutan yang semakin sering terjadi dan penggundulan hutan yang terus berlangsung.
Kebakaran hutan dan deforestasi tidak hanya mengurangi jumlah pohon yang menyerap karbon, tetapi juga melepaskan karbon yang sebelumnya tersimpan di dalam hutan ke atmosfer, sehingga memperburuk pemanasan global. Watson menunjukkan bahwa ini adalah ancaman yang sangat serius, terutama karena politik dan kebijakan pemerintah sering kali tidak memperhitungkan penurunan kemampuan penyerap karbon alami dalam strategi perubahan iklim mereka. Banyak pemerintah masih mengandalkan asumsi bahwa hutan dan lautan akan terus berfungsi sebagai penyangga yang efektif untuk menyerap sebagian besar emisi karbon di masa depan.
Namun, pertanyaan yang diajukan Watson sangat mendalam:Â
"Apa yang akan terjadi jika penyerap karbon alami berhenti berfungsi karena perubahan iklim?"
Jika itu terjadi, kita akan menghadapi situasi di mana emisi karbon yang dihasilkan manusia akan tetap berada di atmosfer lebih lama, mempercepat pemanasan global dan memicu lebih banyak bencana iklim. Ini adalah peringatan serius bahwa kita tidak bisa terus bergantung pada kemampuan alam untuk menyerap karbon tanpa memperhitungkan dampak perubahan iklim yang mempercepat kerusakan alam tersebut.
Temuan ini menggambarkan betapa mendesaknya perlunya tindakan lebih kuat untuk melindungi penyerap karbon alami, mengurangi emisi secara signifikan, dan menghadapi perubahan iklim dengan lebih serius di tingkat politik dan pemerintahan. Jika tidak, kita mungkin akan melihat keruntuhan alam yang semakin cepat, dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi lingkungan dan kehidupan di Bumi.